Tradisi Perkawinan dan Perubahan Sosial
A.
Pendahuluan
Keragaman adat, senibudaya dan tradisi telah menjadikan Indonesia sebagai
bangsa yang kaya dengan berbagai bentuk ekspresi budaya dan pengetahuan
tradisional. Dalam pengertiannya sendiri, Kebudayaan adalah seluruh cara
kehidupan dari masyarakat yang di pelajari, serta tidak tergantung dari
transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis[1]. Menurut
ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari
manusia dengan belajar[2].
Jadi, kebudayaan mengarah kepada berbagai aspek kehidupan, yang meliputi cara
berlaku, kepecayaan dan sikap-sikap, serta hasil dari kegiatan manusia yang
khas yang dipelajari untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian warisan sosial dan pada
giliran nya bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan
perubahan-perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi
berikutnya.[3] Setiap
Individu mewujudkan kebudayaan tersebut dengan berbagai cara, baik itu berupa
ide atau gagasan, suatu tindakan atau aktivitas interaksi yang terpola, ataupun
berupa benda peninggalan seperti artefak atau semacam nya.[4]
Tindakan berinteraksi menurut pola-pola tertentu yang dilakukan oleh
manusia secara turun-temurun juga disebut Tradisi. Suatu aktivitas berpola
tersebut dalam setiap individu memiliki batasan aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh adat masyarakatnya kedalam tingkat-tingkat tertentu (stages
along the life-cycle). Dan Suatu peralihan yang sangat penting pada stages
along the life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah masa peralihan
dari tingkat hidup remaja ketingkat berkeluarga, yaitu perkawinan.[5] Perkawinan
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan
merupakan hal yang disakralkan sehingga hampir dalam tiap masyarakat membatasi Jodoh
dalam perkawinan.
Namun tradisi perkawinan mengalami perubahan seiring perkembangan era
globalisasi yang dimaknai masyarakat secara berbeda, sehingga tradisi
perkawinan memiliki pemaknaan yang berbeda disetiap daerah.
B.
Tradisi Perkawinan
Tradisi merupakan Wujud Kebudayaan yang kedua, yaitu wujud suatu kompleks
aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, atau sering
disebut dengan sistem sosial. Sedangkan perkawinan adalah akad perkawinan yang
shahih atau akad yang mengakibatkan halalnya hubungan suami istri. Dan dasar
hukum nikah adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma'.[6]
Di beberapa daerah yang ada di Indonesia khususnya, tradisi perkawinan
masih membatasi dalam hal perjodohan. pada masyarakat Using Banyuwangi proses
pernikahan biasanya hanya terjadi dalam desa nya sendiri atau sesama suku
using. Tradisi perjodohanpun dilakukan dengan berbagai cara dan telah menjadi
tradisi serta warisan dari nenekmoyangnya. Salah satu tradisi perjodohan di
Banyuwangi adalah Gredoan yang merupakan salah satu budaya lokal masyarakat
Using tentang mekanisme perjodohan. Gredoan yang terjadi sekarang menjadi
peristiwa adat yang berdampingan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW.
Pada peringatan Maulud Nabi yang terdapat berbagai macam kegiatan-kegiatan
khususnya pada kegiatan karnaval, selalu mengundang banyak perhatian dari
banyak orang. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan oleh para lelaki untuk
melakukan gredo atau menggoda para gadis pada saat melihat karnaval baik yang
ada di teras rumah maupun di jalan-jalan. Namun Tradisi ini hanya dilakukan
pada suku Using di Banyuwangi.[7]
Pada masyarakat Batak Karo di Indonesia ada namanya Perjodohan antar impal,[8] Awal
sejarah dari perjodohan antar impal sendiri adalah pembagian harta warisan. Di
masyarakat Karo tradisional dahulu, seoranng anak dikawinkan dengan impalnya
supaya harta keluarganya tidak jatuh ke tangan orang lain. Tradisi perjodohan
antar impal ini masih bertahan hingga sekarang. Namun sesuai dengan
perkembangan zaman, tujuan perjodohan antar impal itu sudah tidak lagi seputar
persoalan harta warisan. Saat ini, tujuan perjodohan antar impal itu sering
kali demi menjaga kekerabatan di dalam sebuah keluarga besar. Karena tidak
jarang ada kekhawatiran akan longgarnya hubungan kekerabatan di dalam keluarga
besar jika anak di dalam keluarga tersebut menikah dengan orang yang tidak
dekat dengan keluarganya. Khawatir akan adanya perubahan hubungan kekerabatan
di dalam keluarga.[9]
Pada dasarnya dalam tiap masyarakat memiliki dua istilah dalam pembatasan
perjodohan, yaitu exogami dan endogami.[10]
Masyarakat yang melarang nikah dengan orang yang semarga disebut Exogami marga,
sedangkan yang melarang menikah dalam satu desa disebut Exogami desa. Begitu
pula sebaliknya, seperti yang terjadi di India . Masyarakat India menganut paham Endogami,
sebab disana masyarakat harus menikah dengan batas kastanya sendiri. Maka hal
itu disebut dengan Endogami Kasta.[11] Pembatasan
Jodoh tersebut terus berjalan seiring keberadaan tradisi perkawinan yang masih
eksis ditengah masyarakat yang mempertahankannya.
C.
Perubahan Sosial
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu
masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi
sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat
dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Wilbert moore mengartikan Perubahan sosial sebagai perubahan penting dari
struktur sosial, dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola
perilaku dan interaksi sosial.[12] Moore mengartikan
perubahan sosial secara luas, perubahan dalam setiap aspek proses sosial, pola
sosial, serta setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar
perilaku.
Dalam kasus perkawinan, perubahan sosial yang terjadi seiring
berkembangnya pemahaman masyarakat sebagai Zoon Politicon. Kebutuhan masyarakat
dengan masyarakat lainnya semakin luas seiring perkembangan zaman yang ditandai
dengan perkembangan ekonomi untuk mempertahankan kehidupan. Perkembangan
pemikiran mengenai pentingnya ekonomi mempengaruhi tradisi perkawinan,
perkawinan lebih diukur dari segi materi, sesuai pendapat Karl Marx bahwa
segala sesuatu hanya terukur dengan materi dan ekonomi.[13]
Seiring berkembangnya zaman, pelaksanaan perkawinan lebih diukur dari
materi dan tidak lagi mengindahkan pembatasan perjodohan yang lebih mengukur
suku, agama, ras atau suatu golongan tertentu. Sesuai pendapat william J Goode
di tuliskan bahwa pada dasarnya, proses pemilihan jodoh berlangsung seperti
sistem pasar dalam ekonomi, sistem ini berbeda dari satu masyarakat ke
masyarakat lain, tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya, bagaimana
peraturan pertukarannya, serta penilaian yang relatif mengenai berbagai macam
kwalitas. Maksudnya adalah jika pihak keluarga kaya maka akan dinilai dengan
harga yang tinggi dan tawar- menawarpun dilakukan dari pihak keluarga yang kaya
juga. Sehingga tercipta suatu proses pernikahan. Bagitupun sebaliknya, keluarga
yang ekonomi menengah juga terjadi proses seperti itu. [14]
Sehingga proses tradisi perkawinan yang lebih mempertahankan kesukuan seperti
di Banyuwangi, Batak Sumatera Utara, maupun diluar Indonesia seperti India
lama-kelamaan semakin pudar.
D.
Kesimpulan
Tradisi merupakan Wujud Kebudayaan yang kedua, yaitu wujud suatu kompleks
aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, atau sering
disebut dengan sistem sosial. Sedangkan perkawinan adalah akad perkawinan yang
shahih atau akad yang mengakibatkan halalnya hubungan suami istri. Dan dasar
hukum nikah adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma'. Pada dasarnya, tradisi
perkawinan masih membatasi dalam hal perjodohan. Salah satu tolak ukur
perjodohan adalah sistem kekerabatan atau dengan kata lain perkawinan dilakukan
sebagai sarana mempertahankan kekerabatan. Namun perkembangan nya, tradisi
perkawinan mengalami pergeseran yang ditandai dengan berkembangnya kebutuhan
ekonomi masyarakat. Dan sejak itulah perkawinan lebih diukur dari materi atau
ekonomi, walaupun ada sebagian masyarakat yang masih mempertahankan tradisi
perkawinan lama, baik itu endogami maupun exogami.
Fakta sosial yang menjunjung tinggi materialisme merupakan adopsi salah
satu teori Marxisme.
Daftar Pustaka
Abidin, Slamet, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka
Setia, 1999
Goode, Wiliam
J, Sosiologi
Keluarga, Jakarta : Bumi Aksara,
2007
http://lacapitale.wordpress.com/2008/04/11/perjodohan-antar-impal, di
akses pada tgl 05-12-2011
http://osingkertarajasa.wordpress.com/2011/02/26/gredoan, di akses pada tgl 05-12-2011
Ihromi, T.O, pokok-pokok
antropologi budaya, Jakarta : PT Gramedia, 1980
Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial,
Jakarta : Dian Rakyat, 1992
............................Pengantar ilmu
Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 2009
Lauer, Robert H, Perspektif Tentang Perubahan Sosial,
(Jakarta : Rineka Cipta, 1993
Warrington, Marnie
Hughes, 50 Tokoh Penting Dalam Sejarah,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
[1]
T.O Ihromi, pokok-pokok antropologi
budaya, (Jakarta : PT Gramedia, 1980) hlm. 18
[2] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta,
2009) Hlm. 144
[3]
T.O Ihromi, loc. cit.
[4]
Koentjaraningrat, Pengantar ilmu
Antropologi, op. cit., hlm. 150.
[5]
Koentjaraningrat, Beberapa pokok
antropologi sosial, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 92
[6]
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat,
(Bandung : Pustaka Setia, 1999) hlm. 9
[7] http://osingkertarajasa.wordpress.com/2011/02/26/gredoan
(di akses pada tgl 05-12-2011)
[8]
Perjodohan antar Impal adalah Perjodohan antar sepupu yang ada pada masyarakat
Batak Karo dengan tujuan mempertahankan kekerabatan masyarakat karo.
[9] http://lacapitale.wordpress.com/2008/04/11/perjodohan-antar-impal
(di akses pada tgl 05-12-2011)
[10]
Exogami adalah suatu larangan menikah pada luar batas suatu lingkungan
tertentu. Sedangkan Endogami adalah suatu pembatasan jodoh yang mengharuskan
menikah dalam batas lingkungan tertentu.
[11]
Koentjaraningrat, Beberapa pokok
antropologi sosial, op. cit., hlm 95.
[12] Robert
H Lauer, Perspektif Tentang Perubahan
Sosial, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hlm. 4.
[13] Marnie
Hughes-Warrington, 50 Tokoh Penting Dalam
Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm.413
[14]
Wiliam J. Goode, Sosiologi Keluarga,
(Jakarta : Bumi
Aksara, 2007) hlm. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar