Senin, 13 Februari 2012

Tradisi Perkawinan dan Perubahan Sosial


Tradisi Perkawinan dan Perubahan Sosial

A.                     Pendahuluan
Keragaman adat, senibudaya dan tradisi telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan berbagai bentuk ekspresi budaya dan pengetahuan tradisional. Dalam pengertiannya sendiri, Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang di pelajari, serta tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis[1]. Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar[2]. Jadi, kebudayaan mengarah kepada berbagai aspek kehidupan, yang meliputi cara berlaku, kepecayaan dan sikap-sikap, serta hasil dari kegiatan manusia yang khas yang dipelajari untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian warisan sosial dan pada giliran nya bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi berikutnya.[3] Setiap Individu mewujudkan kebudayaan tersebut dengan berbagai cara, baik itu berupa ide atau gagasan, suatu tindakan atau aktivitas interaksi yang terpola, ataupun berupa benda peninggalan seperti artefak atau semacam nya.[4]
Tindakan berinteraksi menurut pola-pola tertentu yang dilakukan oleh manusia secara turun-temurun juga disebut Tradisi. Suatu aktivitas berpola tersebut dalam setiap individu memiliki batasan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh adat masyarakatnya kedalam tingkat-tingkat tertentu (stages along the life-cycle). Dan Suatu peralihan yang sangat penting pada stages along the life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah masa peralihan dari tingkat hidup remaja ketingkat berkeluarga, yaitu perkawinan.[5] Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan merupakan hal yang disakralkan sehingga hampir dalam tiap masyarakat membatasi Jodoh dalam perkawinan.
Namun tradisi perkawinan mengalami perubahan seiring perkembangan era globalisasi yang dimaknai masyarakat secara berbeda, sehingga tradisi perkawinan memiliki pemaknaan yang berbeda disetiap daerah.

B.                      Tradisi Perkawinan
Tradisi merupakan Wujud Kebudayaan yang kedua, yaitu wujud suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, atau sering disebut dengan sistem sosial. Sedangkan perkawinan adalah akad perkawinan yang shahih atau akad yang mengakibatkan halalnya hubungan suami istri. Dan dasar hukum nikah adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma'.[6]
Di beberapa daerah yang ada di Indonesia khususnya, tradisi perkawinan masih membatasi dalam hal perjodohan. pada masyarakat Using Banyuwangi proses pernikahan biasanya hanya terjadi dalam desa nya sendiri atau sesama suku using. Tradisi perjodohanpun dilakukan dengan berbagai cara dan telah menjadi tradisi serta warisan dari nenekmoyangnya. Salah satu tradisi perjodohan di Banyuwangi adalah Gredoan yang merupakan salah satu budaya lokal masyarakat Using tentang mekanisme perjodohan. Gredoan yang terjadi sekarang menjadi peristiwa adat yang berdampingan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pada peringatan Maulud Nabi yang terdapat berbagai macam kegiatan-kegiatan khususnya pada kegiatan karnaval, selalu mengundang banyak perhatian dari banyak orang. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan oleh para lelaki untuk melakukan gredo atau menggoda para gadis pada saat melihat karnaval baik yang ada di teras rumah maupun di jalan-jalan. Namun Tradisi ini hanya dilakukan pada suku Using di Banyuwangi.[7]
Pada masyarakat Batak Karo di Indonesia ada namanya Perjodohan antar impal,[8] Awal sejarah dari perjodohan antar impal sendiri adalah pembagian harta warisan. Di masyarakat Karo tradisional dahulu, seoranng anak dikawinkan dengan impalnya supaya harta keluarganya tidak jatuh ke tangan orang lain. Tradisi perjodohan antar impal ini masih bertahan hingga sekarang. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan perjodohan antar impal itu sudah tidak lagi seputar persoalan harta warisan. Saat ini, tujuan perjodohan antar impal itu sering kali demi menjaga kekerabatan di dalam sebuah keluarga besar. Karena tidak jarang ada kekhawatiran akan longgarnya hubungan kekerabatan di dalam keluarga besar jika anak di dalam keluarga tersebut menikah dengan orang yang tidak dekat dengan keluarganya. Khawatir akan adanya perubahan hubungan kekerabatan di dalam keluarga.[9]
Pada dasarnya dalam tiap masyarakat memiliki dua istilah dalam pembatasan perjodohan, yaitu exogami dan endogami.[10] Masyarakat yang melarang nikah dengan orang yang semarga disebut Exogami marga, sedangkan yang melarang menikah dalam satu desa disebut Exogami desa. Begitu pula sebaliknya, seperti yang terjadi di India. Masyarakat India menganut paham Endogami, sebab disana masyarakat harus menikah dengan batas kastanya sendiri. Maka hal itu disebut dengan Endogami Kasta.[11] Pembatasan Jodoh tersebut terus berjalan seiring keberadaan tradisi perkawinan yang masih eksis ditengah masyarakat yang mempertahankannya.

C.                      Perubahan Sosial
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Wilbert moore mengartikan Perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial.[12] Moore mengartikan perubahan sosial secara luas, perubahan dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, serta setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar perilaku.
Dalam kasus perkawinan, perubahan sosial yang terjadi seiring berkembangnya pemahaman masyarakat sebagai Zoon Politicon. Kebutuhan masyarakat dengan masyarakat lainnya semakin luas seiring perkembangan zaman yang ditandai dengan perkembangan ekonomi untuk mempertahankan kehidupan. Perkembangan pemikiran mengenai pentingnya ekonomi mempengaruhi tradisi perkawinan, perkawinan lebih diukur dari segi materi, sesuai pendapat Karl Marx bahwa segala sesuatu hanya terukur dengan materi dan ekonomi.[13]
Seiring berkembangnya zaman, pelaksanaan perkawinan lebih diukur dari materi dan tidak lagi mengindahkan pembatasan perjodohan yang lebih mengukur suku, agama, ras atau suatu golongan tertentu. Sesuai pendapat william J Goode di tuliskan bahwa pada dasarnya, proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi, sistem ini berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya, bagaimana peraturan pertukarannya, serta penilaian yang relatif mengenai berbagai macam kwalitas. Maksudnya adalah jika pihak keluarga kaya maka akan dinilai dengan harga yang tinggi dan tawar- menawarpun dilakukan dari pihak keluarga yang kaya juga. Sehingga tercipta suatu proses pernikahan. Bagitupun sebaliknya, keluarga yang ekonomi menengah juga terjadi proses seperti itu. [14] Sehingga proses tradisi perkawinan yang lebih mempertahankan kesukuan seperti di Banyuwangi, Batak Sumatera Utara, maupun diluar Indonesia seperti India lama-kelamaan semakin pudar.
D.                     Kesimpulan
Tradisi merupakan Wujud Kebudayaan yang kedua, yaitu wujud suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, atau sering disebut dengan sistem sosial. Sedangkan perkawinan adalah akad perkawinan yang shahih atau akad yang mengakibatkan halalnya hubungan suami istri. Dan dasar hukum nikah adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma'. Pada dasarnya, tradisi perkawinan masih membatasi dalam hal perjodohan. Salah satu tolak ukur perjodohan adalah sistem kekerabatan atau dengan kata lain perkawinan dilakukan sebagai sarana mempertahankan kekerabatan. Namun perkembangan nya, tradisi perkawinan mengalami pergeseran yang ditandai dengan berkembangnya kebutuhan ekonomi masyarakat. Dan sejak itulah perkawinan lebih diukur dari materi atau ekonomi, walaupun ada sebagian masyarakat yang masih mempertahankan tradisi perkawinan lama, baik itu endogami maupun exogami.
Fakta sosial yang menjunjung tinggi materialisme merupakan adopsi salah satu teori Marxisme.

  

Daftar Pustaka

Abidin, Slamet, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999
Goode, Wiliam J,  Sosiologi Keluarga,  Jakarta : Bumi Aksara, 2007
Ihromi, T.O,  pokok-pokok antropologi budaya, Jakarta : PT Gramedia, 1980
Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, Jakarta : Dian Rakyat, 1992
............................Pengantar ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 2009
Lauer, Robert H, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993
Warrington, Marnie Hughes, 50 Tokoh Penting Dalam Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008




[1] T.O Ihromi, pokok-pokok antropologi budaya, (Jakarta : PT Gramedia, 1980) hlm. 18
[2] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009) Hlm. 144

[3] T.O Ihromi, loc. cit.
[4] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, op. cit., hlm. 150.
[5] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 92
[6] Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung : Pustaka Setia, 1999) hlm.  9
[8] Perjodohan antar Impal adalah Perjodohan antar sepupu yang ada pada masyarakat Batak Karo dengan tujuan mempertahankan kekerabatan masyarakat karo.
[10] Exogami adalah suatu larangan menikah pada luar batas suatu lingkungan tertentu. Sedangkan Endogami adalah suatu pembatasan jodoh yang mengharuskan menikah dalam batas lingkungan tertentu.
[11] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, op. cit., hlm 95.
[12] Robert H Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hlm. 4.
[13] Marnie Hughes-Warrington, 50 Tokoh Penting Dalam Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm.413
[14] Wiliam J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007) hlm. 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar