Review Buku Rudolf Mrazek,
Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah
Koloni.
A.
Biografi
Rudolf Mrazek
Rudolf Mrazek adalah pakar sejarah modern
di Asia Tenggara, khusus nya di Indonesia yang
lahir di Ceko. Mrazek mulai menelisik Indonesia pada
masa-masa akhir penjajahan Belanda.
Berbagai dokumen yang merekam pemikiran dan pengorbanan sejumlah tokoh telah ia
telisik. Mulai dari Mas Marco Martodikromo, jurnalis sekaligus
penulis modern pertama di Indonesia, yang merupakan intelektual muda yang
cemerlang.
Mrazek menghasilkan
karya yang sangat kaya dan kompleks. Mrazek menyumbang banyak kajian berharga
tentang gerakan pembebasan sekaligus pergulatan bangsa-bangsa yang ada di Asia Tenggara
B.
Ulasan Buku
Buku Engineers
of Happy Land : Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di Sebuah Koloni yang ditulis oleh Rudolf Mrazek ini merupakan
buku Sejarah yang menggunakan pendekatan berbeda dari sejarawan biasanya. Kalau
Voltaire pernah berkata bahwa fakta-fakta sejarah yang bersifat mikro dan yang
tidak membawa kepada suatu tujuan, merupakan beban rintangan belaka bagi
sejarah bagaimana barang akut merupakan beban bagi tentara. Namun, pandangan
kini berubah fakta-fakta kecil yang dipandang dari sudut pandang sejarah yang
luas bukanlah hal yang palsu dan kabur justru sejarah kecil ini lebih dekat
dengan kehidupan. Jarak yang tipis itulah membuat sejarah mudah untuk dipahami
dan menjadi bagian dalam kehidupan manusia keseharian. Micro history
menjadi catatan yang penting dalam sejarah. Bahkan hal yang nampak remeh bisa
menjadi catatan sejarah yang sangat berarti. Dari catatan yang kecil-kecil
seperti yang ditulis Rudolf Mrazek ternyata mampu membentuk nasionalisme, dan
memepengaruhi perubahan sosial.
Pada bab pertama MRazek melihat
Pembangunan jalan aspal antara 1808 dan 1818, sebuah proyek raksasa untuk
melawan Inggris. Jalan Raya Pos Daendels menembus dari Barat sampai ke Timur
Jawa digunakan sejak awal abad kesembilan belas. Selain proyek
‘Napoleonik” menggenai pengaspalan baja-baja mulai dirakit dengan skrup-skrup
menjadi jalur-jalur kereta api menembus Jawa. Tidak ada kesulitan dalam proyek
ini, Mrazek melihat dari keterangan majalah Kopiist majalah pertama
yang terbit di Hindia Belanda, keterangan yang didapat bahwa penduduk dapat
melakukan pekerjaan pemindahan tanah dan pemecahan batu untuk pembangunan jalan
tanpa biaya atau dibayar dengan beras dan garam. Untuk membangun jalur rel-rel
utama, Kopiist menghitung menelan biaya hanya 8.704.080 gulden, dan jalur-jalur
samping 3.215.520 gulden, untuk total 11.919.600 gulden, 2 juta gulden untuk
kendaraan dan gudang, satu juta untuk membayar bunga. Yang menarik kala itu
disimpulkan bahwa penduduk bumiputra yang dianggap kelas bawah lebih
berantusias naik kereta api dari pada kelas bangsawan yang lebih suka berdiam
diri di rumah. Menurut catatan disepanjang jalur kereta api inilah
partai-partai komunis berkembang, tentulah kita inggat pada tahun 1923 timbul
pemogokan pekerja kereta api di Semarang, pemogokan terbesar sepanjang sejarah
penjajahan Belanda. Dari kelancaran jalan, makin meningkatlah jumlah kendaraan
dan meningkatkan kemacetan serta kecelakaan. Berawal dari sinilah berkembang
semacam pengenalan diri, kepercayaan diri dan harga diri dengan membentuk
nasionalisme yang bergerak dari jalan-jalan modern dengan lahirnya perserikatan
sopir-sopir dengan angota terbanyak dari orang bumiputra.
Pada Bab II MRazek lebih melihat
perkembangan pemukiman penduduk dimana kepadatan merupakan masalah besar di
Hindia Belanda. Banyaknya bangunan-bangunan megah berdiri ditengah kota dan bangunan ini di
ibaratkan sebagai bangunan yang telah berjangkar dan menetap disuatu tempat,
sehingga kepadatan tidak bisa dibendung lagi. Kesadaran akan perlunya inovasi
baru untuk menanggulangi kepadatan dilakukan oleh penguasa kolonial dengan
melirik sebuah bangunan yang mampu berpindah-pindah. Kemudian terciptalah suatu
rumah diatas roda-roda, termotivasi dengan budaya yang suka berpindah dan
merupakan makna hidup yang luas, sebuah gaya
hidup yang disebut het lelijke tijd
(zaman wagu).
Dari perkembangan arsitektur bangunan
ini, Penduduk pribumi khususnya jawa juga banyak mengikuti bangunan eropa
hindia belanda. Sehingga perkembangannya tercipta kota-kota besar yang lebih
melihat bangunan dari keteraturan dan kesempurnaannya yang melihat perlunya
perairan yang sempurna. Sebab akibat urbanisasi, pemukiman rakyat awalnya tidak
lagi melihat keteraturan, dimana hanya membangun bangunan tempat berdiam dan
tidak ada kamar mandi, toilet (WC) dan kamar keperluan lainnya.
Diabad-abad berikutnya, sewaktu
belanda mulai merasa lebih betah bermukim, maka berkembanglah gaya-gaya
kolonial yang membangun bangunan-bangunan dengan pekarangan luas, pengaturan
air yang teratur deegan cadangan air bertekanan udara yang memungkinkan pemilik
rumah untuk merancang sebuah kamar mandi dan WC dengan cadangan dan tataletak
air yang menakjubkan. Dalam sistem cadangan air bertekanan udara itu, air
bersih dipompa dari sumur dipaksa masuk kepenampungan air dan kemudian
didistribusikan untuk seluruh rumah.
Pada Bab III MRazek melihat perkembangan daerah dari kegelapan menuju kota yang terang
benderang. Bab ini mengulas teknologi yang
membantu kerja indra penglihatan manusia. Teknologi optik dan kaca, juga
fotografi dan daktiloskop, serta perluasan jaringan lampu listerik, semua ini
tak cuma menawarkan keluasan penglihatan, tapi juga kedalaman penyelidikan.
Kegelapan dan kekaburan yang dulunya abadi, mulai terusir bersama datangnya
perspektif dan sudut pandang baru. Keinginan untuk melihat secara lebih tajam
dan terang benderang ini, dibuka dengan kupasan empat buah buku yang terbit di
Hindia Belanda.
Buku pertama adalah karya R.A. van Sandick, In
het Rijk van Vulcaan: de uitbarsting van Krakatau
en hare gevolgen, “Di Kekaisaran Vulkan: Ledakan Krakatau dan
Akibat-akibatnya.” Dari bestseller yang bercerita tentang kegelapan dan bencana
yang menyelimuti Nusantara akibat letusan gunung vuklanik itu, Mrazek masuk ke
bestseller lain karya F. Wiggers, Fatima .
Thriller ini mengisahkan pembunuhan seorang janda kembang, tetapi Mrazek lebih
banyak memumpunkan perhatian pada kehadiran cahaya dalam pencegahan kejahatan
dan pengungkapan kasus pembunuhan tersebut. Dua buku lain yang bukan bestseller
tapi dianggap gema dari jaman yang menjelang tiba, diangkat Mrazek selanjutnya.
Buku-buku itu adalah novel Louis Couperus, De Stille Kracht, “Daya yang
Sembunyi” dan buku Kartini, Door duisternis tot licht, yang lebih terkenal
sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Harapan dan obsesi terhadap cahaya,
memperlihatkan perwujudan yang ganjil dalam masyarakat kulit putih di Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial memang membangun jaringan tenaga listerik. Tetapi karena
ditata menurut standar Eropa yang paling sempurna dan mewah untuk membentengi
kenyamanan kaum kulit putih, dan tidak disesuaikan dengan kondisi demografis
koloni itu, harga tarif listerik di Hindia Belanda menjadi yang paling mahal di
seluruh planit Bumi.
Bukan
hanya cahaya yang memperjelas penglihatan manusia, tapi juga binokuler,
teleskop dan teodolit. Dengan perangkat-perangkat optik ini, orang-orang di
Hindia Belanda melihat dunia dan dirinya, sekaligus mengukur dan memetakannya.
Kadang-kadang mereka memetakan dunia secara surealistik, mendahului kaum
pembaharu di Benua Eropa. Sejumlah orang di Hindia Belanda, karena terpukau
oleh kekuatan teknologi optik, mencoba juga menjangkau kekuatan itu dengan cara
yang lucu. Mereka memasang di parasnya kaca mata palsu yang justeru bisa
merusak mata. Tetapi yang paling layak catat adalah digunakannya teknologi
optik bersama berbagai teknik perekaman untuk tak hanya memperluas penglihatan,
tetapi terutama memperkuat pengawasan. Hindia Belanda pun berubah jadi sebuah
Rumah Kaca, dimana penguasa bahkan bisa menyidik dan mengintip masuk ke palung
sukma kaum pribumi.
Pada Bab IV dengan tema para pesolek Indonesia , MRazek memulai penulisannya
dengan melihat Boneka yang akan dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Bab ini menyajikan kajian segar tentang bagaimana
penduduk Hindia Belanda mendandani dirinya; menyatakan diri sekaligus
membedakan diri dari yang lain. Pernyataan diri itu mula-mula dikaji Mrazek
lewat boneka. Sebuah koleksi yang terdiri dari sekitar 150 boneka orang-orang
pribumi yang dibuat oleh perempuan-perempuan terhormat di Hindia Belanda,
dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Koleksi ini menghadirkan berbagai kelompok
etnik dan lapisan sosial. Mula-mula kaum pribumi, dalam hal ini senimannya,
perlu dibantu dalam merepresentasikan diri dan kaumnya. Seniman pribumi ini
piawai membentuk wayang: boneka berdimensi dua. Tetapi mereka tak terbiasa
membuat boneka realistis berdimensi tiga. Bantuan kaum kolonialis terhadap
representasi kaum pribumi itu berjalan bersamaan dengan miniaturiasai,
inventarisasi dan pengawasan, yang akhirnya diikuti oleh pendisiplinan
Foucauldian kaum pribumi.
Dari realisme boneka, Mrazek bergerak ke
realitas berbusana kaum kulit putih yang selain mempertegas ketidaknyamanan
mereka di koloni ini, juga mempertegas keinginan mereka untuk membedakan diri.
Jika kaum pribumi berpakaian serba longgar dan tampak acak-acakan, bahkan
nyaris telanjang, kaum kolonial berbusana dengan ketat, formal dan serba putih
seakan siap untuk berperang. Mereka selalu tampak siaga atas ancaman, baik dari
wabah, maupun pemberontakan. Busana kaum kulit putih adalah busana yang
menciptakan jarak dan hirarki.
Mode, kesadaran busana yang sangat
sadar-waktu sebagai bentuk pernyataan diri, mungkin memang berkerabat dekat
dengan modernitas. Di Hindia Belanda, kesadaran berbusana itu sangat rapat
dengan bangkitnya nasionalisme, dengan hasrat untuk sejajar dengan kaum kulit
putih sekaligus lepas dari cengkramannya. Busana tokoh awal pergerakan seperti
Mas Marco dan tokoh-tokoh utama angkatan 28 seperti Bung Karno dan Syahrir
menghadirkan semangat itu. Dengan berubahnya dinamika politik kolonial dan naik
turunnya pergerakan kebangsaan, busana dan penampilan para tokoh juga berubah.
Mrazek mengikuti perubahan itu dan menghadirkan banyak cerita tentang tubuh,
aspirasi dan pernyataan diri.
Pada Bab V Mrazek lebih fokus terhadap perkembangan telekomunikasi. Bab berjudul “Mari Jadi Mekanik Radio” ini, bergerak
dari sejumlah hal yang berkait dengan penyebaran suara, masuk ke bentuk-bentuk
teknologi komunikasi kabel dan nirkabel, hingga kerinduan akan hening ketika
udara dibuat sesak dan cemar oleh suara-suara bising. Memang, pada mulanya ada
semacam kebutuhan untuk menjadi saling dekat dengan dunia luar, dengan Eropa.
Hindia Belanda, betapapun memandang dan menyimak Barat sebagai sumber modernitas sekaligus kecemasan
mereka. Sementara itu, Barat, khususnya Belanda, mengawasi dan memerintah
Timur, termasuk pulau-pulau di Nusantara, sebagai penjamin kejayaan sekaligus
sumber rasa tak nyaman mereka.
Kemunculan kolonial tak terelakkan menjadi medan pertarungan aspirasi
kolonial dan aspirasi kebangsaan. Seperti halnya rasa revolusi yang mulai
menggumpal, harapan dan luka dari pergerakan kebangsaan tak hanya
terkonsentrasi pada jalan beraspal dan rel kereta, tapi juga terlantun lewat
jaringan nir kabel. Kemunculan kolonial itu sekaligus juga jadi medan pertarungan antara
kekuatan-kekuatan yang berhadapan di Eropa.
Bab ke-5 ditutup dengan dua kutipan dari dua
jurnal milik kaum pergerakan: Kebudayaan dan Masyarakat, dan Soeloeh Indonesia
Moeda. Kutipan pertama berisi ajakan untuk menjadi ahli mekanik radio agar
bisa, dengan fasih, menyatakan diri ke kancah dunia. Kutipan kedua berisi
ramalan akan datangnya revolusi kemerdekaan dimana imperialis terakhir dibayangkan
“tampak” bukan lagi dalam radio tapi benar-benar terlihat dalam televisi tengah
menggulung kejayaan kolonialnya.
Bab terakhir berjudul “Hanya Si Tuli yang
Bisa Mendengar Jernih.” Bab ini berpusar pada tokoh yang tak jelas riwayatnya
sebagai insinyur tetapi sangat lantang menggemakan modernitas dan nasionalisme.
Tokoh ini membangun kebangsaan Indonesia
bukan dengan perangkat mekanik tapi dengan piranti linguistik: dengan novel,
cerita pendek, telaah dan surat-surat. Pramoedya Ananta Tour jelas bukan
insiyur dalam pengertian akademik. Ia memang pernah bercita-cita jadi insinyur
teknik, tetapi pendidikannya mentok hanya sebagai siswa Sekolah Teknik Radio di
Surabaya.
Dalam riwayat Pram, dan kejadian-kejadian
yang menimpanya di pembuangan, Mrazek menghadirkan contoh hidup pergulatan
sebuah bangsa yang luka parah meraih kemerdekaannya. Kebesaran Pram memang tak
tumbuh dari keadaannya sebagai korban yang inosen, dengan ingatan yang
selektif, kepala yang mengeras dan telinga yang rusak ditumbuk popor. Epilog ini
membawa pembaca “melompat” kemasa kini, kemasa senja Pram yang merenungkan
gerak waktu; dan dengan itu menerawang kembali seluruh bab-sebelumnya, dari
konsolidasi kolonial hingga terbitnya kemerdekaan. Kali ini kemerdekaan
spiritual.
Akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang
paling penting bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka
dan penuh martabat. Teknologi tentu tak bisa langsung merekayasa jiwa manusia,
tetapi ia bisa membantu jiwa yang merdeka itu: menjadi ekstensi dari indra,
otot dan ingatan. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya menelurkan banyak
hal yang menggelikan, juga menyedihkan, cerminan pikiran dan sukma pemakainya.
Rasa tak aman sekaligus tak nyaman sebagian besar orang Eropa di Hindia Belanda
membuahkan banyak arsitektur, tatabusana atau jaringan lampu penembak cahaya
yang terlihat ganjil.
Konservatisme kolonial, seperti halnya
konservatisme politik-kultural sebagian besar mereka yang telah merasakan
kemerdekaan, membuat kemungkinan-kemungkinan teknologis sungguh tak bisa
sepenuhnya memerdekakan manusia. Penjajah Belanda dan Jepang barangkali sudah
hengkang, sudah gulung tikar. Tetapi, ketaknyamanan, kegelisahan dan ilusi penguasa
pribumi, kegagapannya mengelola transformasi dan kekerdilannya mengurus
organisasi besar berskala, mereka menyebutnya “Indonesia Raya”. Sehingga membuat
represi, diskriminasi dan perilaku fasis-otoriter yang dulu dikembangkan
Belanda dan Jepang, kembali tampil di era kemerdekaan.
C.
Analisis
Penulis
Dalam menganalisis buku Engineers of
happy land, penulis lebih melihat perkembangan modernisasi yang dijelaskan oleh
Mrazek. Dalam hal referensi yang digunakan Mrazek, penulis sangat terkesan
dengan kelebihan buku ini, sebab Mrazek tidak hanya menganalisis
perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat pribumi namun buku referensi
yang digunakan merupakan buku-buku pokok yang berbicara tentang nasionalisme di
Indonesia, selain itu Mrazek juga mengutip kejadian-kejadian yang telah
dipublikasikan di surat kabar dan majalah, jadi dapat disimpulkan Referensi
yang digunakan Mrazek sangat kuat dalam
mengungkap nasionalisme dari perkembangan tekhnologi. Selain itu Mrazek juga
tidak melupakan faktor lain dalam berbicara Nasionalisme, surat kabar dan
perkembangan informasi yang juga meningkatkan nasionalisme juga disinggung
dalam buku nya. Tetapi bagaimana cara masyarakat pribumi dalam menanggapi
perkembangan tekhnologi ini hanya dilihat Mrazek sebagai pemicu lahirnya
nasionalisme, padahal ada sisi lain yang tidak dituliskan Mrazek ketika
masyarakat pribumi hanya mengadopsi tekhnologi barat tanpa ada usaha buat
meningkatkan kreatifitas masyarakat pribumi dalam meningkatkan Ilmu pengetahuan
dan tekhnologi.
Secara singkat penulis simpulkan
bahwa tulisan Mrazek ini ingin menunjukan adanya penanda modernisasi dalam
masyarakat Hindia Belanda. Kata-kata teknologi yang digunakan lebih mengacu
pada sekumpulan budaya, identitas dan bangsa. Orang-orang di Hindia Belanda,
baik orang Indonesia maupun
orang Belanda yang ada di Indonesia
merasa canggung dengan teknologi-teknologi baru. Ketika menjumpai
teknologi-teknologi yang tidak seperti biasanya, orang-orang Hindia Belanda
seringkali bergerak, berbicara, dan menulis dengan cara memasuki perilaku dan
bahasa mereka.
Penanda-penanda yang digunakan oleh
Mrazek dalam menangkap modernisasi di Hindia Belanda adalah dengan adanya
penggunaan (pemaksaan masuknya) teknologi baru. Pada bagian pertama diawali
dengan dibukanya jalur-jalur jalan yang menghubungkan daerah penghasil ekonomi
dengan transit-transit barang. Jaringan jalan terutama darat menjadi penanda
penting dimulainya penguasaan wilayah. Kemudian bagian berikutnya dibahas
tentang gedung-gedung dengan fungsinya masing-masing. Secara radikal, ini
merupakan hal yang baru dalam bentuk arsitektur di Hindia Belanda. Pada bagian
ini ingin menunjukkan adanya teknologi baru dalam hal arsitektur, perencanaan kota , tempat tinggal
maupun tempat usaha.
Bagian ketiga memuat tentang
bagaimana teknologi optik menjadi sebuah budaya baru dalam merekam peristiwa.
Foto-foto kemudian menjadi barang yang mulai digemari untuk menjadi bahan
kenangan. Kemudian bagian berikutnya membahas tentang masuknya teknologi pleasure
untuk kenyamanan sehari-hari berupa penggunaan alat-alat elektronik yakni rado,
telepon, dan alat-alat komunikasi lainnya. Sedangkan pada bagian akhir ditutup
dengan epilog dari serangkaian masuknya teknoloogi-teknologi baru tersebut bagi
masyarakat. Sebuah tindakan budaya yang kemudian akan mencerminkan
tindakan-tindakan manusia modern. Pada akhirnya keberadaan teknologi baru ini
akan mebuat semangat baru bagi masyarakat Indonesia . Gagasan dan gerakan
nasionalisme muncul kepermukaan dalam bentuknya sendiri.
Hendra Gunawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar