Senin, 13 Februari 2012

MUHAMMAD PROPHET FOR OUR TIME

Review Buku
Oleh : Asep Saiful Zulfikar (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Suka)
MUHAMMAD PROPHET FOR OUR TIME
(Karen Armstrong)
A.  Biografi Penulis
Karen Armstrong ia dilahirkan 14 November 1944 di Wildmoor, Worcestershire, Inggris) adalah seorang pengarang, feminis dan penulis tentang agama-agama Yudaisme, Kristen, Islam dan Buddhisme. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga Irlandia yang setelah kelahiran Karen pindah ke Bromsgrove dan kemudian ke Birmingham.
Dari 1962 hingga 1969, Karen Armstrong menjadi seorang biarawati dari Ordo Society of the Holy Child Jesus. Ini adalah ordo pengajaran, dan setelah ia melewati masa-masa sebagai postulan dan novisiat hingga mengucapkan kaulnya sebagai biarawati, ia dikirim ke St Anne's College, Universitas Oxford. Di sana ia belajar sastra dan sejarah Inggris. Armstrong meninggalkan ordonya pada waktu studinya. Setelah lulus ia masuk ke program doktoral (tetap di Oxford) tentang Alfred, Lord Tennyson. Ia melanjutkan studinya ini sementara kemudian mengajar di Universitas London, tetapi tesisnya ditolak oleh seorang penguji luar. Akhirnya ia meninggalkan akademia tanpa menyelesaikan studi doktornya.
Pada masa ini kesehatan Armstrong memburuk (Armstrong sejak kecil telah menderita epilepsi, namun pada waktu itu belum didiagnosis, seperti digambarkannya dalam bukunya The Spiral Staircase (2004)) dan setelah penyesuaian dirinya kembali dengan kehidupan di masyarakat luas. Pada 1976, ia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah perempuan di Dulwich, tetapi epilepsinya membuat ia terlalu banyak absen, sehingga ia diberhentikan pada 1981.
Armstrong menerbitkan Through the Narrow Gate pada 1982, yang menggambarkan kehidupan yang dibatasi dan sempit yang dialaminya di biara (dan menyebabkan ia banyak dimusuhi oleh orang-orang Katolik Britania). Pada 1984 ia diminta menulis dan menyajikan sebuah dokumenter tentang kehidupan St. Paul. Penelitian untuk dokumenter ini membuat Armstrong kembali menyelidiki agama, meskipun sebelumnya ia telah meninggalkan ibadah keagamaan setelah ia keluar dari biara. Sejak itu ia menjadi penulis yang produktif, banyak dipuji dan dikritik dalam topik-topik yang menyangkut ketiga agama monoteistik. Pada 1999, Pusat Islam California Selatan menghormati Armstrong, atas usahanya "mempromosikan saling pengertian antara agama-agama."
Armstrong mengajukan teori tentang fundamentalisme agama, yang penting dalam memahami gerakan-gerakan ini yang muncul pada akhir abad ke-15 dan abad ke-20. Yang sentral bagi penafsirannya tentang sejarah adalah pemahaman bahwa budaya-budaya pra-modern memiliki dua cara berpikir yang saling melengkapi dan saling membutuhkan, berbicara dan mengetahui: mitos dan logos. Mitos berkaitan dengan makna; ia "memberikan orang sebuah konteks yang membuat kehidupan mereka sehari-hari masuk akal (=makes sense). Mitos mengarahkan perhatian mereka kepada yang kekal dan yang universal." Logos, sebaliknya, berkaitan dengan masalah-masalah praktis. Ia menempa, menguraikan pemahaman-pemahaman (=insight) lama, menguasai lingkungan, dan menciptakan hal-hal yang baru dan segar. Armstrong berpendapat bahwa masyarakat Barat modern telah kehilangan pemahaman tentang mitos dan menobatkan logos sebagai dasarnya. Narasi mitis dan ritual serta makna-makna yang terkait kepadanya telah kehilangan otoritas dibandingkan dengan apa yang rasional, pragmatis dan ilmiah - tetapi yang tidak mampu mengurangi atau mengangkat penderitaan dan kedukaan manusia, dan tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang nilai yang ultima dari kehidupan manusia. Namun, bukannya malah sama sekali menolak penekanan modern dan menggantinya dengan keseimbangan yang lama, si pengarang berpendapat, kaum fundamentalis agama tanpa sadar telah mengubah mitos iman mereka menjadi logos. Fundamentalisme adalah anak dari modernitas, dan kaum fundamentalis pada dasarnya adalah orang modern.
Armstrong adalah seorang pakar agama-agama yang telah banyak menghasilkan berbagai tulisan mengenai berbagai agama. Ia melukiskan keyakinannya dalam sebuah wawancara di C-Span pada 2000:
“Biasanya saya menggambarkan diri saya, mungkin dengan bercanda, sebagai seorang monoteis freelance (=bebas). Saya menggali sumber keyakiinan saya dari ketiga-tiga iman Abraham. Saya tidak dapat melihat salah satu daripadanya memiliki monopoli terhadap kebenaran, masing-masing daripadanya mempunyai keunggulan dibandingkan yang lainnya. Masing-masing mempunyai geniusnya sendiri dan masing-masing mempunyai kelemahan dan tumit Achillesnya sendiri. Tetapi baru-baru ini saya menulis tentang kehidupan singkat (cerita) dari Sang Buddha, dan saya merasa terpesona oleh apa yang dikatakan beliau tentang spiritualitas, tentang yang ultima (=yang tertinggi, terpenting), tentang welas asih dan tentang perlunya membuang ego sebelum kita dapat berjumpa dengan yang ilahi. Dan, menurut pandangan saya, semua tradisi besar mengatakan hal yang sama dalam cara yang lebih kurang sama, meskipun dari permukaan tampak mereka berbeda-beda”.

B.   Isi Buku
Pada dasarnya kalau kita melihat kontens apa yang ditulis oleh Karen Armstrong pada bukunya “Muhammad Prophet For Our Time” sama saja dengan tulisan tentang sirah Nabawiyah pada umumnya yang ditulis oleh orang-orang Islam sendiri. Namun perbedaan yang nampak dalam tulisan Karen Armstrong ini adalah sebagai berikut:
1.    Ketika ia menjelaskan tentang kehidupan Arab Pra-Islam, ia menggunakan sebuah teori tentang kesukuan yang biasa ia sebut dengan istilah kaum nomadik (berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain). Kehidupan nomadik yang keras dan suram ini menyebabkan  banyaknya orang yang berebut untuk sesuatu yang sedikit. Karenanya ghazw (serangan untuk merebut harta) menjadi esensial bagi ekonomi badawah. Dalam menyikapi hal ini bangsa Arab pada waktu itu tidak ada yang menyalahkan akan kondisi ini dikarenakan ghazw merupakan fakta yang harus diterima. Makkah menurut Karen Armstrong merupakan sebuah kota yang makmur dikarenakan merupakan pusat perdagangan internasional dan para pedagang dan pemodalnya menjadi kaya. Namun begitu Makkah tidak dapat merubah kehidupan nomadik yang ada di sekitarnya meskipun masyarakat Makkah telah lama meninggalkannya. Oleh karenanya kehidupan di Makkah dan sekitarnya yang keras ini dapat menghasilkan sebuah konsep yang mereka sebut dengan muruwah yang berarti keberanian, kesabaran, ketahanan dari musuh-musuhnya untuk membalas terhadap pelanggaran yang dilakukan sebuah kelompok, melindungi anggotanya yang lemah, serta mempertahankan kehormatan suku.
2.    Makkah dapat menjadi makmur sehingga dapat membuatnya mampu merubah gaya hidup bermukim dikarenakan suku Quraisy berhasil mendapatkan monopoli atas perdagangan utara-selatan, sehingga mereka sajalah yang dibolehkan untuk melayani karavan-karavan asing dan mampu mengontrol aktivitas perdagangan di dalam Arab yang telah dirangsang oleh aliran masuk perdagangan internasional. Aktivitas perdagangan ini menyebabkan suku Quraisy menolak untuk terlibat dalam perang kesukuan dan mempertahankan posisi netral. Kemudian kemampuan mereka kaum Quraisy dalam merubah ritus-ritus keaagamaan di Makkah menyebabkannya pengukuhan sentralitas keagamaan di Arab.
3.    Karir Muhammad sebagai pedaganglah yang membuatnya dengan akurat meramalkan kegelisahan yang melanda kaum muda, yang merasa tidak nyaman dalam ekonomi pasar yang agresif ini.
4.    Di Arab pada masa itu terjadi kegelisahan spiritual sehingga terjadi perubahan pada ritus-ritus keagamaan. Oleh karenanya menurut Karen Armstrong Muhammad pergi melakukan ritual di goa adalah dikarenakan untuk mencari solusi baru. Dan pada saat sedang menyendiri di Gua Hira Muhammad mengalami visi yang mengejutkan dan dramatis. Kata-kata yang keluar seakan-akan dari kedalaman wujudnya menjangkau akar persoalan di Makkah.
5.    Ia berusaha untuk merasionalisasikan ketika Nabi Muhammad menerima wahyu dengan mengatakan bahwa ketika di Gua Hira Nabi mengalami visi mengejutkan dan dramatis dan kata-kata yang keluar seakan-akan dari kedalaman wujudnya, menjangkau akar persoalan di Makkah. Visi tersebut ialah ayat yang pertama turun yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5. Selanjutnya ia menceritakan:
“Ketika tersadar Muhammad begitu masygul memikirkan bahwa setelah semua usaha spritualnya, beliau ternyata dirasuki oleh jin sehingga tak lagi ingin hidup. Dalam keputusasaannya, beliau berlari dari gua dan mulai mendaki puncak gunung untuk melontarkan dirinya hingga mati. Tetapi beliau mendapatkan visi yang lain. Beliau melihat sosok yang besar yang memenuhi ufuk dan berdiri menatapnya tak bergerak ke depan maupun ke belakang. Beliau mencoba untuk menjauh, tetapi, katanya setelah itu, “Kea rah langit mana pun aku memandang, aku melihatnya seperti sebelumnya.” Itulah ruh wahyu yang belakangan disebut Muhammad sebagai Jibril. Ini bukanlah malaikat naturalistic yang cantik, melainkan sebuah kehadiran transenden kategori spasial dan manusiawi biasa.”

6.    Menurut Armstrong Muhammad pastinya setuju dengan apa yang dikatakan oleh sejarawan Jerman Rudolf Otto, dengan mendeskripsikan yang kudus sebagai sebuah misteri yang tremendum dan sekaligus fascinans: menggiriskan, mendesak, dan menakutkan, namun juga mengisi manusia dengan “kegembiraan, kebahagiaan, dan rasa harmoni yang meluas dan persentuhan yang intim”.
7.    Ia juga menjelaskan pendapatnya bahwa penolakan yang terjadi terhadap apa yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad terhadap orang-orang Quraisy dikarenakan  gaya hidup jahiliyyah yang ketika itu masih melekat dalam kalangan orang-orang Quraisy. Jahiliyyah yang ia gambarkan adalah mengandung makna “sifat lekas marah”: rasa kehormatan dan prestise yang tinggi, keangkuhan, keberlebihan, dan di atas semua itu, kecendrungan kronis kepada kekerasan dan pembalasan dendam.
8.    Kemudian ia menjelaskan bahwa dalam kasus Isra’ Mi’raj al-Quran tidak berpanjang lebar tentang penampakan ini. Dan Muhammad hanyalah melihat tanda-tanda dan simbol-simbol Tuhan bukan Tuhan itu sendiri, dan para mistikus belakangan menekankan paradoks penampakan transeden ini, yakni Muhammad melihat dan sekaligus tidak melihat esensi ilahi. Selanjutnya, ia juga menjelaskan bahwa al-Quran mengatakan Muhammad memperoleh penampakan di samping pohon bidara yang menandai batas terjauh pengetahuan manusia (sidratul muntaha).
9.    Perselisihan Muhammad dengan orang-orang Yahudi adalah tidak bersifat religious melainkan ekonomis dan politis. Posisi Yahudi pada saat itu di oasis itu telah memburuk, dan jika Muhammad berhasil menyatukan suku Aus dan Khazraj, mereka tidak akan berpeluang untuk meraih kembali supremasi mereka. Oleh karena itu, mereka berpandangan akan lebih bijak untuk menyokong Ibn Ubay dan para kaum Pagan Arab di oasis yang tetap menentang Muhammad.
10.                        Ia juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad pada dasarnya tetap berkeyakinan bahwa paham-paham yang aneh seperti paham keeksklusifan Yahudi dan Kristen dengan Tuhan itu ada tiga dan Yesus adalah putara Allah merupakan penyimpangan bid’ah oleh sekelompok minoritas yang tersesat.
11.                        Perang yang terjadi pada dasarnya adalah merupakan sebuah perasaan kaum Muslim yang merasa bahwa mereka telah mengalami serangan yang mengerikan; pengusiaran mereka dari Makkah merupakan tindakan yang tidak memiliki justifikasi. Pengasingan dari suku merupakan pelanggaran terhadap nilai kesucian yang terdalam di Arab; itu merupakan serangan terhadap inti identitas kaum Muslim.
12.                        Kemudian ketika ia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mencoba untuk memberi landasan etika bagi ghazw yang dilancarkannya, namun beliau tak memiliki pengalaman serangan militer yang panjang, dan bakal mendapat pelajaran bahwa jika sebuah siklus kekerasan telah dimulai, maka siklus itu akan mencapai momentum tak terduga dan bisa berkembang secara tragis di luar kendali. Dengan teori ini pada dasarnya ia ingin menjelaskan bahwa serangan ghazw (serangan harta) dengan kekerasan yang Nabi lakukan menjadi salah satu dimulainya siklus kekerasan perang yang terjadi antara Quraisy dan kaum Muslim.
13.                        Ia juga masih menggunakan kisah-kisah ayat setan atau gharaniq yang diriwayatkan dari at-Thabari dengan menyimpulkan bahwa Muhammad menggunakan kisah gharaniq itu hanya agar orang-orang Quraisy dapat memandang pesan yang disampaikannya dengan lebih bersahabat.
14.                        Kemudian ia juga menjelaskan bahwa para sejarawan Islam yang mengatkaan bahwa Abu Jahal lah yang mempengaruhi kaum Quraisy untuk berperang melawan kaum Muslim, namun menurutnya bahwa Abu Jahal pun pada dasaarnya tidak ingin berperang karena tergambar dari kata-kata Abu Jahal bahwa sebenarnya ia sendiri tidak mengharapkan sebuah pertempuran.
15.                        Ia juga menjelaskan bahwa adanya pengaturan rumah tangga Nabi dengan membawa istrinya dan para perempuan ke medan perang memberi para istrinya dan perempuan  askes baru kepada politik, dan mereka tampak cukup nyaman   di ranah ini. Tidak lama kemudian, kaum perempuan mulai merasa diberdayakan secara sama dengan laki-laki, dan musuh-musuh menggunakan pergerakan perempuan ini untuk mendiskreditkannya.
16.                        Kemudian dengan mengutip surat al-Ahazab ayat 35 ia mengatakan bahwa ada kesetaraan gender yang sepenuhnya dalam Islam: baik laki-laki maupun perempuan memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Ketika para perempuan mendenganr ayat ini, mereka bertekad untuk mewujudkan visi ini menjadi nyata di dalam kehidupan mereka sehari-hari.
17.                        Insiden Quraizhah menandai titik nadir karier Muhammad. Namun, penting dicatat bahwa suku Quraizhah tidak dibunuh atas dasar landasan agama atau rasial. Tak satu pun suku Yahudi di Arab yang keberatan atau berupaya turun campur. Mereka jelas memandang insiden tersebut sebagai masalah yang sepenuhnya bersifat politis dan kesukuan.
18.                        Bahwa tragedi Qurazhah sebenarnya bukan hal yang merupakan sesuatu keinginan yang diniatkan Nabi. Karena tujuan awalnya adalah untuk mengakhiri kekerasan Jahiliyyah, tetapi kini beliau bersikap seperti seorang kepala suku Arab yang biasa. Beliau terpaksa berperang demi meraih perdamaian akhir, akan tetapi pertempuran telah membuat serangan demi serangan balasan, pembantaian dan pembalasan dendam. Oleh karenanya, kemudian beliau menyadarinya sehingga harus menemukan jalan lain untuk mengakhiri konflik ini dengan meninggalkan perilaku Jahiliyyah yaitu peperangan.
19.                        Ia menjelaskan bahawa spirit kekritisan adalah dibutuhkan pada masa kini. Ia mengungkapkan bahwa sebagian pemikir Muslim memandang jihad melawan Makkah sebagai klimaks dari karier Muhammad dan gagal mencatat bahwa Nabi pada akhirnya mencela peperangan dan mengambil kebijakan non-kekerasan. Semantara itu para kritikus Barat berpandangan bahwa Nabi Islam adalah seorang penggemar perang, dan gagal melihat bahwa sejak dari awal sekali beliau menentang keangkuhan dan egotism Jahili yang bukan hanya menyalakan agresi pada zamannya, melainkan juga tampak nyata di dalam beberapa pemimpin, baik Muslim maupun Barat pada zaman sekarang. Nabi, yang tujuannya adalah perdamaian dan perbuatan baik, menjadi symbol perjuangan dan perpecahan (sebuah perkembangan yang bukan hanya tragis, melainkan juga berbahaya bagi stabilitas yang padanya masa depan umat manusia bergantung).
20.                        Karen Armstrong menyimpulkan bahwa jika kita ingin menghindari kehancuran, dunia Muslim dan Barat mesti belajar bukan hanya untuk bertoleransi, melainkan juga saling mengapresiasi. Titik berangkat yang baik adalah dari sosok Muhammad: seorang manusia kompleks yang menolak kategorisasi dangkal yang didorong oleh ideology yang terkadang melakukan hal yang sulit atau mustahil untuk kita terima, tetapi memiliki kegeniusan yang luar biasa dan mendirikan sebuah agama dan tradisi budaya yang didasarkan bukan pada pedang, melainkan pada “Islam”, berarti perdamaian dan kerukunan.
C.  Metodologi Buku
Pada bukunya ini ia menggunakan sebuah metode penulisan sejarah yang bersifat naratif. Ia menguraikan secara naratif tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan model penulisan sejarah evolusi yang menceritakan dari masa pra-Islam sampai kepada wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dalam penulisannya ini juga ia membuat eksplanasi sejarah dengan kerangka teoritis seperti saat ia menjelaskan tentang suku-suku di Arab pra-Islam dengan teori nomadik.
D.  Kritik Terhadap Buku
Pada tulisannya tentang Nabi Muhammad ini dapat dilihat bahwa Karen Armstrong sangat simpatik terhadap Islam. Biografi Nabi Muhammad ini ia tulis pertama kali sebagai respon terhadap fatwa Ayatullah Khomeini terhadap Salman Rushdie. Hingga saat itu kebanyakan dari literartur Barat menggambarakan Muhammad entah sebagai orang suci yang sempurna atau sebagai penipu ulung. Amstrong memilih bersikap netral menghadapinya, Muhammad ia gambarkan sebagai seorang yang luar biasa berbakat, pemberani dan kompleks. Diperlihatkannya pula beberpa karakter dan ide-ide Nabi demikian kuat untuk mengubah sejarah secara drastic dan menarik jutaan pengikut. Meskipun dalam menulisnya ia tidak melakukan kritik sumber sehingga berpengaruh kepada analisa yang ia ungkapkan. Selain itu, latar belakangnya yang merupakan sastrawan di bidang sastra Inggris dan pengakuannya akan “freelance monotheist” . berikut beberapa catatan penulis:
1.    Seperti pada karya-karya umum dari para kalangan orientalisme yang sangat kuat untuk menanamkan pola imperialisme pemikiran Barat terhadap pemikiran Timur. Begitu juga dengan karya Karen Armstrong ini, meskipun secara yang tampak dalam karya-karyanya tentang Islam ia begitu simpatik namun pada dasarnya ia juga ingin menanamkan pola-pola pemikiran Barat terhadap pola-pola pemiiran Timur dengan berdiri pada pemikiran yang berdiri atas dasar rasionalisme dan pluralisme.
2.    Latar belakangnya sebagai seorang sastrawan Inggris membuat analisanya terutama yang berkaitan dengan kisah percintaan Nabi menggunakan analisa sastra Inggris. Seperti ketika ia menceritakan bahwa Ummu Salamah terpikat oleh Nabi dikarenakan senyumnya yang membuat Ummu Salamah terpikat. Juga ketika ia menceritakan tentang kisah Nabi dan Zainab yang ia tuturkan dengan gaya percintaan dalam kisah percintaan Nabi Daud dengan istrinya Uria.
3.    Buku ini ia tujukkan dan rancang untuk menarik pembaca sasarannya yaitu orang-orang Barat. Sehingga ia seringkali berusaha merasionalisasikan hal-hal yang bersifat irasional seperti ketika Nabi menerima wahyu yang ia gambarkan sebagai visi yang kuat.
4.    Dalam mengambil sumber data terutama hadits ia tidak melakukan sumber kritik yang memang sudah seharusnya dilakukan. Seperti ketika ia menceritakan penerimaan wahyu dengan menggunakan hadits yang dinisbatkan kepada Aisyah dan diriwayatkan oleh Bukhari padahal hadits ini menurut penulis sendiri memiliki musykil atau masalah pada sanad dan matannya.
5.    Selanjutnya ia juga menggunakan kisah ayat setan (gharaniq) yang sudah tidak digunakan oleh para sejarawan Islam kontemporer dikarenaknan ketidak jelasan sumbernya.
Meskipun begitu, buku ini juga memiliki kelebihan karena dalam menjelaskan kisah Nabi Muhammad SAW ia menggunakan kerangka teoritis yang baik dalam menggunakan penjelasannya sehingga dapat mudah dipahami dengan baik, lain seperti kebanyakan para penulis sejarawan dari kalangan Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar