Review Buku
Oleh : Asep Saiful Zulfikar (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Suka)
Oleh : Asep Saiful Zulfikar (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Suka)
MUHAMMAD PROPHET FOR OUR TIME
(Karen Armstrong)
A.
Biografi
Penulis
Karen Armstrong ia dilahirkan 14 November 1944 di Wildmoor, Worcestershire, Inggris) adalah seorang pengarang, feminis dan penulis tentang agama-agama Yudaisme, Kristen, Islam dan Buddhisme. Ia dilahirkan dalam sebuah
keluarga Irlandia yang setelah kelahiran Karen pindah ke Bromsgrove dan kemudian ke Birmingham.
Dari 1962 hingga 1969, Karen
Armstrong menjadi seorang biarawati dari Ordo Society of the Holy Child Jesus. Ini adalah ordo pengajaran, dan
setelah ia melewati masa-masa sebagai postulan dan novisiat hingga mengucapkan
kaulnya sebagai biarawati, ia dikirim ke St Anne's College, Universitas Oxford. Di sana ia belajar sastra
dan sejarah Inggris.
Armstrong meninggalkan ordonya pada waktu studinya. Setelah lulus ia masuk ke
program doktoral (tetap di Oxford) tentang Alfred, Lord Tennyson. Ia melanjutkan studinya ini
sementara kemudian mengajar di Universitas London, tetapi tesisnya ditolak oleh seorang penguji luar.
Akhirnya ia meninggalkan akademia tanpa menyelesaikan studi
doktornya.
Pada masa ini kesehatan Armstrong
memburuk (Armstrong sejak kecil telah menderita epilepsi, namun pada waktu itu belum didiagnosis, seperti
digambarkannya dalam bukunya The Spiral Staircase (2004)) dan setelah
penyesuaian dirinya kembali dengan kehidupan di masyarakat luas. Pada 1976, ia
menjadi guru bahasa Inggris di sekolah perempuan di Dulwich, tetapi epilepsinya membuat ia
terlalu banyak absen, sehingga ia diberhentikan pada 1981.
Armstrong menerbitkan Through the
Narrow Gate pada 1982, yang menggambarkan kehidupan yang dibatasi dan
sempit yang dialaminya di biara (dan menyebabkan ia banyak dimusuhi oleh orang-orang Katolik Britania). Pada 1984 ia diminta menulis dan
menyajikan sebuah dokumenter tentang kehidupan St. Paul. Penelitian untuk dokumenter ini
membuat Armstrong kembali menyelidiki agama, meskipun sebelumnya ia telah
meninggalkan ibadah keagamaan setelah ia keluar dari biara. Sejak itu ia
menjadi penulis yang produktif, banyak dipuji dan dikritik dalam topik-topik
yang menyangkut ketiga agama monoteistik. Pada 1999, Pusat Islam California Selatan menghormati Armstrong, atas
usahanya "mempromosikan saling pengertian antara agama-agama."
Armstrong mengajukan teori tentang fundamentalisme
agama, yang
penting dalam memahami gerakan-gerakan ini yang muncul pada akhir abad ke-15
dan abad ke-20. Yang sentral bagi penafsirannya tentang sejarah adalah
pemahaman bahwa budaya-budaya pra-modern memiliki dua cara berpikir yang saling
melengkapi dan saling membutuhkan, berbicara dan mengetahui: mitos dan logos.
Mitos berkaitan dengan makna; ia "memberikan orang sebuah konteks yang
membuat kehidupan mereka sehari-hari masuk akal (=makes sense). Mitos
mengarahkan perhatian mereka kepada yang kekal dan yang universal." Logos,
sebaliknya, berkaitan dengan masalah-masalah praktis. Ia menempa, menguraikan
pemahaman-pemahaman (=insight) lama, menguasai lingkungan, dan menciptakan
hal-hal yang baru dan segar. Armstrong berpendapat bahwa masyarakat Barat
modern telah kehilangan pemahaman tentang mitos dan menobatkan logos sebagai
dasarnya. Narasi mitis dan ritual serta makna-makna yang terkait kepadanya
telah kehilangan otoritas dibandingkan dengan apa yang rasional, pragmatis dan
ilmiah - tetapi yang tidak mampu mengurangi atau mengangkat penderitaan dan
kedukaan manusia, dan tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang nilai
yang ultima dari kehidupan manusia. Namun, bukannya malah sama sekali menolak
penekanan modern dan menggantinya dengan keseimbangan yang lama, si pengarang
berpendapat, kaum fundamentalis agama tanpa sadar telah mengubah mitos iman
mereka menjadi logos. Fundamentalisme adalah anak dari modernitas, dan kaum
fundamentalis pada dasarnya adalah orang modern.
Armstrong adalah seorang pakar
agama-agama yang telah banyak menghasilkan berbagai tulisan mengenai berbagai
agama. Ia melukiskan keyakinannya dalam sebuah wawancara di C-Span pada 2000:
“Biasanya saya menggambarkan diri
saya, mungkin dengan bercanda, sebagai seorang monoteis freelance (=bebas). Saya menggali sumber keyakiinan saya
dari ketiga-tiga iman Abraham.
Saya tidak dapat melihat salah satu daripadanya memiliki monopoli terhadap
kebenaran, masing-masing daripadanya mempunyai keunggulan dibandingkan yang
lainnya. Masing-masing mempunyai geniusnya sendiri dan masing-masing mempunyai
kelemahan dan tumit Achillesnya sendiri. Tetapi baru-baru ini saya menulis tentang
kehidupan singkat (cerita) dari Sang Buddha, dan saya merasa terpesona oleh apa yang dikatakan beliau
tentang spiritualitas, tentang yang ultima (=yang tertinggi, terpenting),
tentang welas asih dan tentang perlunya membuang ego sebelum kita dapat
berjumpa dengan yang ilahi. Dan, menurut pandangan saya, semua tradisi besar
mengatakan hal yang sama dalam cara yang lebih kurang sama, meskipun dari
permukaan tampak mereka berbeda-beda”.
B.
Isi Buku
Pada dasarnya kalau kita melihat kontens apa yang ditulis oleh
Karen Armstrong pada bukunya “Muhammad Prophet For Our Time” sama saja dengan
tulisan tentang sirah Nabawiyah pada umumnya yang ditulis oleh orang-orang
Islam sendiri. Namun perbedaan yang nampak dalam tulisan Karen Armstrong ini
adalah sebagai berikut:
1.
Ketika ia
menjelaskan tentang kehidupan Arab Pra-Islam, ia menggunakan sebuah teori
tentang kesukuan yang biasa ia sebut dengan istilah kaum nomadik
(berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain). Kehidupan nomadik yang
keras dan suram ini menyebabkan
banyaknya orang yang berebut untuk sesuatu yang sedikit. Karenanya ghazw
(serangan untuk merebut harta) menjadi esensial bagi ekonomi badawah. Dalam
menyikapi hal ini bangsa Arab pada waktu itu tidak ada yang menyalahkan akan
kondisi ini dikarenakan ghazw merupakan fakta yang harus diterima. Makkah
menurut Karen Armstrong merupakan sebuah kota yang makmur dikarenakan merupakan
pusat perdagangan internasional dan para pedagang dan pemodalnya menjadi kaya.
Namun begitu Makkah tidak dapat merubah kehidupan nomadik yang ada di
sekitarnya meskipun masyarakat Makkah telah lama meninggalkannya. Oleh
karenanya kehidupan di Makkah dan sekitarnya yang keras ini dapat menghasilkan
sebuah konsep yang mereka sebut dengan muruwah yang berarti keberanian,
kesabaran, ketahanan dari musuh-musuhnya untuk membalas terhadap pelanggaran
yang dilakukan sebuah kelompok, melindungi anggotanya yang lemah, serta
mempertahankan kehormatan suku.
2.
Makkah dapat menjadi
makmur sehingga dapat membuatnya mampu merubah gaya hidup bermukim dikarenakan
suku Quraisy berhasil mendapatkan monopoli atas perdagangan utara-selatan,
sehingga mereka sajalah yang dibolehkan untuk melayani karavan-karavan asing
dan mampu mengontrol aktivitas perdagangan di dalam Arab yang telah dirangsang
oleh aliran masuk perdagangan internasional. Aktivitas perdagangan ini
menyebabkan suku Quraisy menolak untuk terlibat dalam perang kesukuan dan
mempertahankan posisi netral. Kemudian kemampuan mereka kaum Quraisy dalam
merubah ritus-ritus keaagamaan di Makkah menyebabkannya pengukuhan sentralitas
keagamaan di Arab.
3.
Karir Muhammad
sebagai pedaganglah yang membuatnya dengan akurat meramalkan kegelisahan yang
melanda kaum muda, yang merasa tidak nyaman dalam ekonomi pasar yang agresif
ini.
4.
Di Arab pada
masa itu terjadi kegelisahan spiritual sehingga terjadi perubahan pada
ritus-ritus keagamaan. Oleh karenanya menurut Karen Armstrong Muhammad pergi
melakukan ritual di goa adalah dikarenakan untuk mencari solusi baru. Dan pada
saat sedang menyendiri di Gua Hira Muhammad mengalami visi yang mengejutkan dan
dramatis. Kata-kata yang keluar seakan-akan dari kedalaman wujudnya menjangkau
akar persoalan di Makkah.
5.
Ia berusaha
untuk merasionalisasikan ketika Nabi Muhammad menerima wahyu dengan mengatakan
bahwa ketika di Gua Hira Nabi mengalami visi mengejutkan dan dramatis dan
kata-kata yang keluar seakan-akan dari kedalaman wujudnya, menjangkau akar
persoalan di Makkah. Visi tersebut ialah ayat yang pertama turun yaitu surat
al-‘Alaq ayat 1-5. Selanjutnya ia menceritakan:
“Ketika
tersadar Muhammad begitu masygul memikirkan bahwa setelah semua usaha
spritualnya, beliau ternyata dirasuki oleh jin sehingga tak lagi ingin hidup.
Dalam keputusasaannya, beliau berlari dari gua dan mulai mendaki puncak gunung
untuk melontarkan dirinya hingga mati. Tetapi beliau mendapatkan visi yang
lain. Beliau melihat sosok yang besar yang memenuhi ufuk dan berdiri menatapnya
tak bergerak ke depan maupun ke belakang. Beliau mencoba untuk menjauh, tetapi,
katanya setelah itu, “Kea rah langit mana pun aku memandang, aku melihatnya
seperti sebelumnya.” Itulah ruh wahyu yang belakangan disebut Muhammad sebagai
Jibril. Ini bukanlah malaikat naturalistic yang cantik, melainkan sebuah
kehadiran transenden kategori spasial dan manusiawi biasa.”
6.
Menurut
Armstrong Muhammad pastinya setuju dengan apa yang dikatakan oleh sejarawan
Jerman Rudolf Otto, dengan mendeskripsikan yang kudus sebagai sebuah misteri
yang tremendum dan sekaligus fascinans: menggiriskan, mendesak,
dan menakutkan, namun juga mengisi manusia dengan “kegembiraan, kebahagiaan,
dan rasa harmoni yang meluas dan persentuhan yang intim”.
7.
Ia juga
menjelaskan pendapatnya bahwa penolakan yang terjadi terhadap apa yang
didakwahkan oleh Nabi Muhammad terhadap orang-orang Quraisy dikarenakan gaya hidup jahiliyyah yang ketika itu masih
melekat dalam kalangan orang-orang Quraisy. Jahiliyyah yang ia gambarkan adalah
mengandung makna “sifat lekas marah”: rasa kehormatan dan prestise yang tinggi,
keangkuhan, keberlebihan, dan di atas semua itu, kecendrungan kronis kepada
kekerasan dan pembalasan dendam.
8.
Kemudian ia
menjelaskan bahwa dalam kasus Isra’ Mi’raj al-Quran tidak berpanjang lebar
tentang penampakan ini. Dan Muhammad hanyalah melihat tanda-tanda dan
simbol-simbol Tuhan bukan Tuhan itu sendiri, dan para mistikus belakangan
menekankan paradoks penampakan transeden ini, yakni Muhammad melihat dan
sekaligus tidak melihat esensi ilahi. Selanjutnya, ia juga menjelaskan bahwa
al-Quran mengatakan Muhammad memperoleh penampakan di samping pohon bidara yang
menandai batas terjauh pengetahuan manusia (sidratul muntaha).
9.
Perselisihan
Muhammad dengan orang-orang Yahudi adalah tidak bersifat religious melainkan
ekonomis dan politis. Posisi Yahudi pada saat itu di oasis itu telah memburuk,
dan jika Muhammad berhasil menyatukan suku Aus dan Khazraj, mereka tidak akan
berpeluang untuk meraih kembali supremasi mereka. Oleh karena itu, mereka
berpandangan akan lebih bijak untuk menyokong Ibn Ubay dan para kaum Pagan Arab
di oasis yang tetap menentang Muhammad.
10.
Ia juga
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad pada dasarnya tetap berkeyakinan bahwa
paham-paham yang aneh seperti paham keeksklusifan Yahudi dan Kristen dengan
Tuhan itu ada tiga dan Yesus adalah putara Allah merupakan penyimpangan bid’ah
oleh sekelompok minoritas yang tersesat.
11.
Perang yang
terjadi pada dasarnya adalah merupakan sebuah perasaan kaum Muslim yang merasa
bahwa mereka telah mengalami serangan yang mengerikan; pengusiaran mereka dari
Makkah merupakan tindakan yang tidak memiliki justifikasi. Pengasingan dari
suku merupakan pelanggaran terhadap nilai kesucian yang terdalam di Arab; itu
merupakan serangan terhadap inti identitas kaum Muslim.
12.
Kemudian ketika
ia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mencoba untuk memberi landasan etika bagi ghazw
yang dilancarkannya, namun beliau tak memiliki pengalaman serangan militer
yang panjang, dan bakal mendapat pelajaran bahwa jika sebuah siklus kekerasan
telah dimulai, maka siklus itu akan mencapai momentum tak terduga dan bisa
berkembang secara tragis di luar kendali. Dengan teori ini pada dasarnya ia
ingin menjelaskan bahwa serangan ghazw (serangan harta) dengan kekerasan
yang Nabi lakukan menjadi salah satu dimulainya siklus kekerasan perang yang
terjadi antara Quraisy dan kaum Muslim.
13.
Ia juga masih
menggunakan kisah-kisah ayat setan atau gharaniq yang diriwayatkan dari
at-Thabari dengan menyimpulkan bahwa Muhammad menggunakan kisah gharaniq itu
hanya agar orang-orang Quraisy dapat memandang pesan yang disampaikannya dengan
lebih bersahabat.
14.
Kemudian ia
juga menjelaskan bahwa para sejarawan Islam yang mengatkaan bahwa Abu Jahal lah
yang mempengaruhi kaum Quraisy untuk berperang melawan kaum Muslim, namun
menurutnya bahwa Abu Jahal pun pada dasaarnya tidak ingin berperang karena
tergambar dari kata-kata Abu Jahal bahwa sebenarnya ia sendiri tidak
mengharapkan sebuah pertempuran.
15.
Ia juga
menjelaskan bahwa adanya pengaturan rumah tangga Nabi dengan membawa istrinya
dan para perempuan ke medan perang memberi para istrinya dan perempuan askes baru kepada politik, dan mereka tampak
cukup nyaman di ranah ini. Tidak lama
kemudian, kaum perempuan mulai merasa diberdayakan secara sama dengan
laki-laki, dan musuh-musuh menggunakan pergerakan perempuan ini untuk
mendiskreditkannya.
16.
Kemudian dengan
mengutip surat al-Ahazab ayat 35 ia mengatakan bahwa ada kesetaraan gender yang
sepenuhnya dalam Islam: baik laki-laki maupun perempuan memiliki tugas dan
tanggung jawab yang sama. Ketika para perempuan mendenganr ayat ini, mereka
bertekad untuk mewujudkan visi ini menjadi nyata di dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
17.
Insiden
Quraizhah menandai titik nadir karier Muhammad. Namun, penting dicatat bahwa
suku Quraizhah tidak dibunuh atas dasar landasan agama atau rasial. Tak satu
pun suku Yahudi di Arab yang keberatan atau berupaya turun campur. Mereka jelas
memandang insiden tersebut sebagai masalah yang sepenuhnya bersifat politis dan
kesukuan.
18.
Bahwa tragedi
Qurazhah sebenarnya bukan hal yang merupakan sesuatu keinginan yang diniatkan
Nabi. Karena tujuan awalnya adalah untuk mengakhiri kekerasan Jahiliyyah,
tetapi kini beliau bersikap seperti seorang kepala suku Arab yang biasa. Beliau
terpaksa berperang demi meraih perdamaian akhir, akan tetapi pertempuran telah
membuat serangan demi serangan balasan, pembantaian dan pembalasan dendam. Oleh
karenanya, kemudian beliau menyadarinya sehingga harus menemukan jalan lain
untuk mengakhiri konflik ini dengan meninggalkan perilaku Jahiliyyah yaitu
peperangan.
19.
Ia menjelaskan
bahawa spirit kekritisan adalah dibutuhkan pada masa kini. Ia mengungkapkan
bahwa sebagian pemikir Muslim memandang jihad melawan Makkah sebagai klimaks
dari karier Muhammad dan gagal mencatat bahwa Nabi pada akhirnya mencela
peperangan dan mengambil kebijakan non-kekerasan. Semantara itu para kritikus
Barat berpandangan bahwa Nabi Islam adalah seorang penggemar perang, dan gagal
melihat bahwa sejak dari awal sekali beliau menentang keangkuhan dan egotism
Jahili yang bukan hanya menyalakan agresi pada zamannya, melainkan juga tampak
nyata di dalam beberapa pemimpin, baik Muslim maupun Barat pada zaman sekarang.
Nabi, yang tujuannya adalah perdamaian dan perbuatan baik, menjadi symbol
perjuangan dan perpecahan (sebuah perkembangan yang bukan hanya tragis,
melainkan juga berbahaya bagi stabilitas yang padanya masa depan umat manusia
bergantung).
20.
Karen Armstrong
menyimpulkan bahwa jika kita ingin menghindari kehancuran, dunia Muslim dan
Barat mesti belajar bukan hanya untuk bertoleransi, melainkan juga saling
mengapresiasi. Titik berangkat yang baik adalah dari sosok Muhammad: seorang
manusia kompleks yang menolak kategorisasi dangkal yang didorong oleh ideology
yang terkadang melakukan hal yang sulit atau mustahil untuk kita terima, tetapi
memiliki kegeniusan yang luar biasa dan mendirikan sebuah agama dan tradisi
budaya yang didasarkan bukan pada pedang, melainkan pada “Islam”, berarti
perdamaian dan kerukunan.
C.
Metodologi Buku
Pada bukunya
ini ia menggunakan sebuah metode penulisan sejarah yang bersifat naratif. Ia
menguraikan secara naratif tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW dengan
menggunakan model penulisan sejarah evolusi yang menceritakan dari masa
pra-Islam sampai kepada wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dalam penulisannya ini juga
ia membuat eksplanasi sejarah dengan kerangka teoritis seperti saat ia
menjelaskan tentang suku-suku di Arab pra-Islam dengan teori nomadik.
D.
Kritik Terhadap
Buku
Pada tulisannya
tentang Nabi Muhammad ini dapat dilihat bahwa Karen Armstrong sangat simpatik terhadap
Islam. Biografi Nabi Muhammad ini ia tulis pertama kali sebagai respon terhadap
fatwa Ayatullah Khomeini terhadap Salman Rushdie. Hingga saat itu kebanyakan
dari literartur Barat menggambarakan Muhammad entah sebagai orang suci yang
sempurna atau sebagai penipu ulung. Amstrong memilih bersikap netral
menghadapinya, Muhammad ia gambarkan sebagai seorang yang luar biasa berbakat,
pemberani dan kompleks. Diperlihatkannya pula beberpa karakter dan ide-ide Nabi
demikian kuat untuk mengubah sejarah secara drastic dan menarik jutaan
pengikut. Meskipun dalam menulisnya ia tidak melakukan kritik sumber sehingga
berpengaruh kepada analisa yang ia ungkapkan. Selain itu, latar belakangnya
yang merupakan sastrawan di bidang sastra Inggris dan pengakuannya akan “freelance
monotheist” . berikut beberapa catatan penulis:
1.
Seperti pada
karya-karya umum dari para kalangan orientalisme yang sangat kuat untuk
menanamkan pola imperialisme pemikiran Barat terhadap pemikiran Timur. Begitu
juga dengan karya Karen Armstrong ini, meskipun secara yang tampak dalam
karya-karyanya tentang Islam ia begitu simpatik namun pada dasarnya ia juga
ingin menanamkan pola-pola pemikiran Barat terhadap pola-pola pemiiran Timur
dengan berdiri pada pemikiran yang berdiri atas dasar rasionalisme dan
pluralisme.
2.
Latar belakangnya
sebagai seorang sastrawan Inggris membuat analisanya terutama yang berkaitan
dengan kisah percintaan Nabi menggunakan analisa sastra Inggris. Seperti ketika
ia menceritakan bahwa Ummu Salamah terpikat oleh Nabi dikarenakan senyumnya
yang membuat Ummu Salamah terpikat. Juga ketika ia menceritakan tentang kisah
Nabi dan Zainab yang ia tuturkan dengan gaya percintaan dalam kisah percintaan
Nabi Daud dengan istrinya Uria.
3.
Buku ini ia
tujukkan dan rancang untuk menarik pembaca sasarannya yaitu orang-orang Barat.
Sehingga ia seringkali berusaha merasionalisasikan hal-hal yang bersifat
irasional seperti ketika Nabi menerima wahyu yang ia gambarkan sebagai visi
yang kuat.
4.
Dalam mengambil
sumber data terutama hadits ia tidak melakukan sumber kritik yang memang sudah
seharusnya dilakukan. Seperti ketika ia menceritakan penerimaan wahyu dengan
menggunakan hadits yang dinisbatkan kepada Aisyah dan diriwayatkan oleh Bukhari
padahal hadits ini menurut penulis sendiri memiliki musykil atau masalah pada
sanad dan matannya.
5.
Selanjutnya ia
juga menggunakan kisah ayat setan (gharaniq) yang sudah tidak digunakan
oleh para sejarawan Islam kontemporer dikarenaknan ketidak jelasan sumbernya.
Meskipun
begitu, buku ini juga memiliki kelebihan karena dalam menjelaskan kisah Nabi
Muhammad SAW ia menggunakan kerangka teoritis yang baik dalam menggunakan
penjelasannya sehingga dapat mudah dipahami dengan baik, lain seperti
kebanyakan para penulis sejarawan dari kalangan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar