Rabu, 15 Februari 2012

Bab I penelitian s1


BAB I
PENDAHULUAN
                                                                                    
A.     Latar Belakang
Keragaman adat, senibudaya dan tradisi telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan berbagai bentuk ekspresi budaya dan pengetahuan tradisional, seperti seni rupa, seni pertunjukan, seni media, cerita rakyat, permainan tradisional, tekstil tradisional, pasar tradisional, dan upacara tradisional. Keragaman seni, budaya, dan tradisi yang merupakan hasil karya budaya ini perlu untuk dipelihara, dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Pengembangan seni, budaya, dan tradisi memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan apresiasi masyarakat dari generasi ke generasi terhadap keragaman budaya, yang adaptif terhadap pengaruh budaya global yang positif untuk kemajuan bangsa.
Dalam pengertiannya, Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang di pelajari, serta tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis[1]. Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar[2]. Jadi, kebudayaan mengarah kepada berbagai aspek kehidupan, yang meliputi cara berlaku, kepecayaan dan sikap-sikap, serta hasil dari kegiatan manusia yang khas yang dipelajari untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian warisan sosial dan pada giliran nya bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi berikutnya.[3] Setiap Individu mewujudkan kebudayaan tersebut dengan berbagai cara, baik itu berupa ide atau gagasan, suatu tindakan atau aktivitas interaksi yang terpola, ataupun berupa benda peninggalan seperti artefak atau semacam nya.[4]
Tindakan berinteraksi menurut pola-pola tertentu yang dilakukan oleh manusia secara turun temurun juga disebut Tradisi. Suatu aktivitas berpola tersebut dalam setiap individu memiliki batasan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh adat masyarakatnya kedalam tingkat-tingkat tertentu. Tingkat-tingkat hidup individu (stages along the life-cycle) meliputi masa masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa purbertas, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan sebagainya. Pada saat peralihan, waktu para individu beralih dari satu tingkat hidup ketingkat yang lain, biasanya diadakan upacara yang merayakan saat peralihan itu dan diatur oleh adat masyarakat setempat. Peralihan tingkat hidup manusia menunjukkan bahwa makin luasnya lingkungan sosial yang dia hadapi, oleh sebab itu upacara peralihan (rites de passage) dimaksudkan untuk menolak bahaya gaib yang mengancam individu tersebut. Namun, suatu kebudayaan antara suatu tempat dengan tempat lainnya memiliki perbedaan. Walau upacara pada saat peralihan bersifat universal atau menyeluruh dalam hampir semua kebudayaan di seluruh dunia, hanya saja tidak semua peralihan dianggap sama pentingnya dalam semua kebudayaan.
Suatu peralihan yang sangat penting pada life cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah masa peralihan dari tingkat hidup remaja ketingkat berkeluarga, yaitu perkawinan.[5] Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada di lingkungannya. Dalam Islam perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan[6]. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perkawinan merupakan hal yang disakralkan sehingga hampir dalam tiap masyarakat membatasi jodoh dalam perkawinan.
Di beberapa Negara bagian Amerika Serikat ada larangan untuk menikah dengan saudara sekandung, bahkan undang-undang melarang menikah dengan sepupu tingkat pertama baik dari pihak ayah ataupun ibu, dan dilarang menikah dengan orang yang memiliki darah Afrika atau Negro.[7] Di Indonesia pada masyarakat Using Banyuwangi proses pernikahan biasanya hanya terjadi dalam desa nya sendiri atau sesama suku using. Tradisi perjodohanpun dilakukan dengan berbagai cara dan telah menjadi tradisi serta warisan dari nenekmoyangnya. Salah satu tradisi perjodohan di Banyuwangi adalah Gredoan yang merupakan salah satu budaya lokal masyarakat Using tentang mekanisme perjodohan. Gredoan yang terjadi sekarang menjadi peristiwa adat yang berdampingan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pada peringatan Maulud Nabi yang terdapat berbagai macam kegiatan-kegiatan khususnya pada kegiatan karnaval, selalu mengundang banyak perhatian dari banyak orang. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan oleh para lelaki untuk melakukan gredo atau menggoda para gadis pada saat melihat karnaval baik yang ada di teras rumah maupun di jalan-jalan. Namun Tradisi ini hanya dilakukan pada suku Using di Banyuwangi.[8]
Pada masyarakat Batak Karo di Indonesia ada namanya Perjodohan antar impal,[9] Awal sejarah dari perjodohan antar impal sendiri adalah pembagian harta warisan. Di masyarakat Karo tradisional dahulu, seoranng anak dikawinkan dengan impalnya supaya harta keluarganya tidak jatuh ke tangan orang lain. Tradisi perjodohan antar impal ini masih bertahan hingga sekarang. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan perjodohan antar impal itu sudah tidak lagi seputar persoalan harta warisan. Saat ini, tujuan perjodohan antar impal itu sering kali demi menjaga kekerabatan di dalam sebuah keluarga besar. Karena tidak jarang ada kekhawatiran akan longgarnya hubungan kekerabatan di dalam keluarga besar jika anak di dalam keluarga tersebut menikah dengan orang yang tidak dekat dengan keluarganya. Khawatir akan adanya perubahan hubungan kekerabatan di dalam keluarga.[10]
Pada dasarnya dalam tiap masyarakat memiliki dua istilah dalam pembatasan perjodohan, yaitu exogami dan endogami.[11] Masyarakat yang melarang nikah dengan orang yang semarga disebut Exogami marga, sedangkan yang melarang menikah dalam satu desa disebut Exogami desa. Begitu pula sebaliknya, seperti yang terjadi di India. Masyarakat India menganut paham Endogami, sebab disana masyarakat harus menikah dengan batas kastanya sendiri. Maka hal itu disebut dengan Endogami Kasta.[12] Begitu pula yang terjadi pada masyarakat Kota Jambi di Indonesia, tepatnya di Desa penyengat senaung kecamatan Jambi Luar Kota, biasanya pertemuan muda-mudinya dimulai dari perkenalan diwaktu masa berselang disawah pada saat mereka gotong royong bertanam padi. Atau menyiang padi atau menuai padi. Sambil bekerja membantu mengerjakan sawah keluarganya tetangga sekampung. Muda-mudi diberi kesempatan berkenalan dengan muda-mudi di waktu bekerja sambil membalas pantun. Namun dalam pengawasan orang tua yang sama-sama bekerja disawah tersebut. Dalam perkembangannya sekarang, komunikasi muda-mudi tidak lagi melalui balas pantun melainkan melalui alat komunikasi moderen seperti Hand phone.[13]
Selanjutnya jika telah merasa telah cocok biasanya pihak laki-laki terlebih dahulu untuk melamar kepada orang tua sigadis. Proses pelamaran dijambi sering disebut dengan antar tando, proses ini akan diawali dengan bertandang atau bersilaturahmi kerumah pihak sigadis. Sebelum diadakan acara lamaran, biasanya akan ada utusan dari pihak laki-laki yang akan bertanya ataupun bersilahturahmi ke-keluarga sigadis. Utusan ini akan mencari tau, apakah gadis tersebut sudah ada yang melamar.
Setelah itu, baru akan dilakukan prosesi lamaran. Lamaran ini biasanya dihadiri tuo tengganai dari kedua belah pihak keluarga. Pada saat lamaran, keluarga laki laki akan membawa syarat adat, diantaranya:
·   Cincin pengikat. Cincin ini hanya untuk dipakai wanita, bukan satu pasang. Sebab tukar cincin baru akan dilakukan saat akad nikah nanti.
·   Pakaian sepelulusan. Berupa bahan kebaya untuk akad, dan kain bawahan, bisa berupa batik atau songket. Terkadang juga dilengkapi selop dan dompet.
·   Sirih dan Pinang. Berupa perlengkapan untuk makan sirih, yaitu daun sirih, kapur sirih, tembakau, serta pinang, yang diletakkan di tempat sirih khusus.
Semua persyaratan di bebankan ke pihak laki-laki. Selain persyaratan diatas, pihak laki-laki juga mempersiapkan bahan-bahan dapur, perlengkapan dapur, hingga ke perlengkapan tempat tidur. Bila pihak laki-laki telah menyiapkan bahan-bahan tersebut, maka berlangsunglah acara pelamaran yang dilanjuti dengan pesta perkawinan. Namun jika pihak laki-laki tidak mampu mempersiapkan proses pelamaran, maka acara perkawinan dibatalkan dengan catatan pasangan tersebut tidak ada yang mengganggu hubungannya. [14] Gambaran perkawinan yang terjadi di Desa penyengat senaung kecamatan Jambi Luar Kota ini merupakan contoh perkawinan Endogami Desa, sebab masyarakat hanya mengambil jodoh dari satu Desa yaitu Desa Penyengat senaung.
Pada umumnya, tahapan pernikahan adat Jambi mirip dengan adat-adat melayu pada umumnya. Karena mereka masih serumpun.. Akan tetapi di- Jambipun adat yang berlaku tidak semuanya sama.
Bertolak belakang dari semua kejadian diatas, fenomena sosial yang terjadi saat ini merupakan hasil dari akulturasi budaya, sehingga aktivitas masyarakat tidak lagi terpola dan mengikuti kebiasaan nenek moyang, tidak lagi memandang kesakralan budaya lama khusus nya pada perkawinan, Masyarakat tidak lagi menemukan makna yang terkandung dalam perkawinan sehingga menghasilkan pengertian baru terhadap perkawinan tersebut. Perkembangan zaman yang ditandai dengan majunya tekhnologi khusus nya dibidang komunikasi membuka peluang kepada masyarakat semakin mudah terjadinya hubungan antar sesama manusia, antar suku bangsa dan antar Negara dalam segala aspek kehidupan. Interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku Bangsa dan Negara dalam berbagai bidang akan berpengaruh kepada pola pikir individu itu sendiri. Era-globalisasi[15] dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan menghapuskan batas-batas geografis yang memisahkan antara negara satu dengan lainnya. Tentunya didukung adanya kebebasan mengakses informasi melalui berbagai media informasi dan telekomunikasi, internet khususnya. Di masa kini, internet adalah media interaksi yang dominan. Maka wajar jika banyak interaksi dunia nyata yang berpindah tempat kedunia maya. Teknologi bukan hanya mengubah cara manusia membeli benda-benda, tapi juga mengubah cara manusia mencari jodoh.
Di sini teknologi berperan mendorong evolusi interaksi. Dulu orang menikah lewat perjodohan yang diatur oleh keluarga, tanpa melewati proses psikologis yang kita kenal sebagai “jatuh cinta” lebih dulu. Kini ketika hubungan anak-orang tua dan pria-wanita makin setara, orang yang akan berjodoh memiliki lebih banyak pilihan mandiri. Contoh situs jejaringan sosial yang sangat diminati dalam berinteraksi didunia maya diantaranya Facebook, Friendster, Twitter dan masih banyak lagi. Teori globalisasi menandai dan menguji munculnya suatu sistem budaya global terjadi karena berbagai perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya sistem satelit dunia, penggalian gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola konsumsi dan konsumerisme global, pengakuan tentang terjadinya krisis-krisis lingkungan dunia, berkembangnya problem-problem kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), perluasan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan interaksi rumit antara berbagai agama dunia.[16]
Bahkan lebih dari sekedar proses-proses di atas, globalisasi menyangkut kesadaran bahwa dunia ini adalah satu tempat milik bersama umat manusia. Karena itu, globalisasi yang didefinisikan sebagai kesadaran yang tumbuh pada tingkat global bahwa dunia ini adalah sebuah lingkungan yang terbangun secara berkelanjutan, atau sebagai suatu proses sosial di mana hambatan-hambatan geografis berkaitan dengan pengaturan-pengaturan sosial dan budaya semakin surut.[17] Akibatnya berdampak pada perkembangan kebudayaan tradisional yang semakin lama semakin pudar.
Permasalahan yang muncul seiring perkembangan zaman yang membawa nama globalisasi ini, menyebabkan masyarakat tidak lagi mengindahkan batas-batas perjodohan untuk mencapai suatu perkawinan. Bahkan perkawinan yang terjadi di Negara-negara maju tidak lagi memiliki makna yang sakral, sebab mereka telah melanggar makna Incest. Incest atau yang sering disebut sumbang muncul ketika suatu adat tidak lagi dilaksanakan atau dalam artian telah melanggar adat.[18]
Faktanya diindonesia, banyak yang tidak lagi memandang makna sebuah perkawinan, sehingga tingginya tingkat perceraian yang muncul akibat melencengnya nilai budaya masyarakat yang sudah membuka penghalang atau hijab antara laki-laki dan perempuan.
Untuk membatasi meningkatnya tingkat perceraian, maka pemerintah juga membuat peraturan tentang perkawinan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1994 lembaran negara RI. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian. [19]
Manusia tidak segan-segan lagi melakukan hubungan seks bebas dengan siapapun atau yang lebih dikenal dengan nama Kumpul kebo.[20] Belum lagi banyaknya perkawinan yang tidak lagi mempertimbangkan perbedaan agama atau kepercayaan, padahal dalam Islam telah jelas hadits Nabi berbunyi :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
nikahilah perempuan karena empat perkara,yaitu karna hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya”(H.R Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits ini Nabi Muhammad SAW menganjurkan bahwa hendaklah pertimbangan agama dan akhlak merupakan tujuan utama dalam perkawinan.[21]
Menurut sebuah penelitian yang dialakukan oleh Zakiah Drajat, perilaku manusia 83% dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar, dan 6 % sisanya oleh berbagai stimulus campuran. Dilihat dari perspektif ini, nasihat orang tua yang hanya memiliki efektivitas 11%, dan hanya contoh teladan orang tua saja yang memiliki efektivitas tinggi.[22]
Berangkat dari penelitian Zakiah Drajat tersebut maka bisa dibayangkan, dengan kecanggihan alat komunikasi yang canggih sebagai produk moderen, kebudayaan dari berbagai manca daerah dapat dengan mudah masuk ke dalam aliran darah dan denyut nadi kebudayaan lokal yang tidak jarang akan menggeser nilai-nilai moral dan agama yang telah tertanam di dalamnya. Budaya global akan diserap dengan mudah oleh masyarakat dunia. Budaya dalam suatu masyarakat akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter keluarga. Pengaruh ini meliputi perilaku, gaya hidup dan aspek-aspek lain. Budaya global sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi untuk berekspresi, dan ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat Timur yang masih menjunjung nilai-nilai moral.[23]
Dalam era globalisasi yang mengiming-iming masyarakat akan majunya sistem tekhnologi untuk meninggalkan tradisi lama ternyata tidak mempengaruhi pandangan Masyarakat Desa Tangkit Baru dalam memaknai pembatasan jodoh yang masih dipertahankan disana. Daerah yang terletak di Kota Jambi ini, tepatnya Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi, dalam pemilihan jodoh haruslah sesuai dengan pilihan orang tua baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Biasanya pemuda-pemudi dipertemukan dalam suatu acara keluarga. Dalam acara tersebut, orang tua akan mencari tahu bagaimana latar belakang anak yang akan dijodohkan kepada anaknya. Jika dianggap cocok maka pihak laki-laki biasanya mencari  waktu lain untuk bersilaturahmi kerumah pihak wanita dengan tujuan memperjodohkan anaknya.
Kebiasaan ini dalam masyarakat Tangkit baru disebut tradisi Mattiro. [24] Tradisi yang membatasi masyarakat dengan ketentuan harus menikah dengan satu sukunya ini merupakan Perkawinan Endogami Suku.
Dari fenomena sosial yang terjadi di Desa Tangkit Baru seiring dengan berkembangnya sistem tekhnologi secara global setidak nya menimbulkan tiga permasalahan, yaitu yang pertama, Apa yang dimaksud dengan Tradisi Mattiro di Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi ?
Kedua, Apa makna yang terkandung didalam tradisi mattiro sehingga masyarakat Desa tangkit baru masih mempertahankan Tradisi tersebut. Sedangkan fakta yang terlihat di zaman moderen seperti saat ini mayoritas masyarakat hanya terfokus untuk mencari kesenangan dalam kehidupan perkawinan dari pada berpikir tentang tanggung jawab. Beberapa pasangan menikah apabila mereka sepakat untuk mencari kesenangan dan kenikmatan saja. Jadi apabila kehidupan perkawinan itu tidak dapat lagi memberikan apa yang mereka cari, maka mereka akan memilih jalan mereka sendiri-sendiri. Sehingga perceraian sebagai konsekuensinya menjadi suatu hal yang biasa. Dan kemajuan tekhnologi informasi juga sudah menjamur hingga kepelosok desa termasuk Desa Tangkit Baru. Globalisasi tekhnologi telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi (swastanisasi) pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Distribusi luas produk budaya barat seperti film, literatur, gaya hidup, nilai-nilai baru melalui media elektronik, siaran satelit, internet, koran-koran dan majalah telah mempengaruhi budaya lokal. Bukan hanya itu, dengan tayangan dalam media-media ini juga tidak menutup kemungkinan akan mengubah pola pikir masyarakat desa tangkit baru untuk meninggalkan tradisi peninggalan orang-orang tua nya dahulu.
Ketiga, Bagaimana pandangan Islam terhadap tradisi mattiro di Desa Tangkit Baru ?. Perkembangan pola pikir manusia saat ini lebih mengarah pada kebebasan hak asasi yang dimiliki oleh manusia. Demokrasi yang melahirkan kebebasan secara global tidak memungkinkan seseorang untuk memperjuangkan haknya terutama dalam perjodohan. Oleh sebab itu muncul pertanyaan bagaimana Islam memandang Tradisi Mattiro di Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi ini ditengah kemajuan zaman.
Dari Persoalan-persoalan inilah yang menarik saya sebagai penulis untuk mengangkat tradisi Mattiro ini sebagai karya ilmiah yang diterangkan dalam bentuk tulisan skripsi yang berjudul “Tradisi Mattiro di Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi”.


[1] T.O Ihromi, pokok-pokok antropologi budaya, (Jakarta : PT Gramedia, 1980) hlm. 18
[2] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009) Hlm. 144

[3] T.O Ihromi, loc. cit.
[4] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, op. cit., hlm. 150.
[5] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 92
[6] Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung : Pustaka Setia, 1999) hlm.  9
[7] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, op. cit., hlm. 94
[9] Perjodohan antar Impal adalah Perjodohan antar sepupu yang ada pada masyarakat Batak Karo dengan tujuan mempertahankan kekerabatan masyarakat karo.
[11] Exogami adalah suatu larangan menikah pada luar batas suatu lingkungan tertentu. Sedangkan Endogami adalah suatu pembatasan jodoh yang mengharuskan menikah dalam batas lingkungan tertentu.
[12] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, op. cit., hlm 95.
[13] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pola Pengasuhan Anak Secara Tradisional di Desa Penyengat Senaung Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi, (Jambi Balai Pustaka, 1990) hlm 22
[14] Ibid, Hlm 23
[15] Era globalisasi adalah zaman dimana tidak ada lagi pembatas antar negara yang ditandai dengan majunya tekhnologi disegala bidang. Globalisasi juga diartikan Paham kebijakan nasional yang memperlakukan seluruh dunia sebagai lingkungan yang pantas untuk pengaruh politik.

[16] M. Atho Mudzhar, "Masyarakat Indonesia Baru dalam Perspektif Global" dalam jurnal Mukaddimah, No. 8 Tahun. V 1999. (Yogyakarta: Kopertais. 1999) hlm. 43.
[17] Ibid.
[18] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, loc. cit.
[19]Sudarsono, S.H, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994) hlm 8.
[20] Kumpul kebo adalah suatu aktivitas hubungan seks bebas yang tidak lagi memandang aqidah agama.
[21] Drs. Slamet Abidin, op. cit., hlm 12.
[22] Said Husin al-Munawwar,  Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani. (Jakarta: Pena Madani, 2003). hlm 66.
[23] Muhammad Bahrul Ulum. "Masyakil al-Usrah al-Muslimah fi al-Gharb" dalam jurnal al-Jami’ah al-Islamiyah, Vol 1, No. 2 April-Juni 1994. London: International Collegs of Islamic Science. hlm. 119.
[24] Observasi Penulis di Desa Tangkit baru kecamatan Sungai gelam (17-02-2011). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar