BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keragaman
adat, senibudaya dan tradisi telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kaya
dengan berbagai bentuk ekspresi budaya dan pengetahuan tradisional, seperti
seni rupa, seni pertunjukan, seni media, cerita rakyat, permainan tradisional,
tekstil tradisional, pasar tradisional, dan upacara tradisional. Keragaman seni,
budaya, dan tradisi yang merupakan hasil karya budaya ini perlu untuk
dipelihara, dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Pengembangan seni, budaya,
dan tradisi memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan apresiasi masyarakat
dari generasi ke generasi terhadap keragaman budaya, yang adaptif terhadap
pengaruh budaya global yang positif untuk kemajuan bangsa.
Dalam pengertiannya, Kebudayaan adalah seluruh cara
kehidupan dari masyarakat yang di pelajari, serta tidak tergantung dari
transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis[1].
Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari
manusia dengan belajar[2].
Jadi, kebudayaan mengarah kepada berbagai aspek kehidupan, yang meliputi cara
berlaku, kepecayaan dan sikap-sikap, serta hasil dari kegiatan manusia yang
khas yang dipelajari untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian warisan
sosial dan pada giliran nya bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan
perubahan-perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi
berikutnya.[3] Setiap
Individu mewujudkan kebudayaan tersebut dengan berbagai cara, baik itu berupa
ide atau gagasan, suatu tindakan atau aktivitas interaksi yang terpola, ataupun
berupa benda peninggalan seperti artefak atau semacam nya.[4]
Tindakan berinteraksi menurut pola-pola tertentu yang
dilakukan oleh manusia secara turun temurun juga disebut Tradisi. Suatu
aktivitas berpola tersebut dalam setiap individu memiliki batasan aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh adat masyarakatnya kedalam tingkat-tingkat tertentu.
Tingkat-tingkat hidup individu (stages along the life-cycle) meliputi masa masa
bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa purbertas, masa
sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan sebagainya. Pada saat peralihan, waktu
para individu beralih dari satu tingkat hidup ketingkat yang lain, biasanya
diadakan upacara yang merayakan saat peralihan itu dan diatur oleh adat
masyarakat setempat. Peralihan tingkat hidup manusia menunjukkan bahwa makin
luasnya lingkungan sosial yang dia hadapi, oleh sebab itu upacara peralihan
(rites de passage) dimaksudkan untuk menolak bahaya gaib yang mengancam
individu tersebut. Namun, suatu kebudayaan antara suatu tempat dengan tempat
lainnya memiliki perbedaan. Walau upacara pada saat peralihan bersifat universal
atau menyeluruh dalam hampir semua kebudayaan di seluruh dunia, hanya saja
tidak semua peralihan dianggap sama pentingnya dalam semua kebudayaan.
Suatu peralihan yang sangat penting pada life cycle dari semua manusia di seluruh
dunia adalah masa peralihan dari tingkat hidup remaja ketingkat berkeluarga,
yaitu perkawinan.[5] Perkawinan
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan
bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua
individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan
sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang,
baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat bahkan kesaksian dari seluruh
masyarakat yang ada di lingkungannya. Dalam Islam perkawinan merupakan
sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia,
hewan maupun tumbuh-tumbuhan[6].
Jadi dapat disimpulkan bahwa Perkawinan merupakan hal yang disakralkan sehingga
hampir dalam tiap masyarakat membatasi jodoh dalam perkawinan.
Di beberapa Negara bagian Amerika Serikat ada larangan
untuk menikah dengan saudara sekandung, bahkan undang-undang melarang menikah
dengan sepupu tingkat pertama baik dari pihak ayah ataupun ibu, dan dilarang
menikah dengan orang yang memiliki darah Afrika atau Negro.[7] Di
Indonesia pada masyarakat Using Banyuwangi proses pernikahan biasanya hanya
terjadi dalam desa nya sendiri atau sesama suku using. Tradisi perjodohanpun
dilakukan dengan berbagai cara dan telah menjadi tradisi serta warisan dari
nenekmoyangnya. Salah satu tradisi perjodohan di Banyuwangi adalah Gredoan yang
merupakan salah satu budaya lokal masyarakat Using tentang mekanisme
perjodohan. Gredoan yang terjadi sekarang menjadi peristiwa adat yang
berdampingan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pada peringatan Maulud
Nabi yang terdapat berbagai macam kegiatan-kegiatan khususnya pada kegiatan
karnaval, selalu mengundang banyak perhatian dari banyak orang. Hal tersebut
yang kemudian dimanfaatkan oleh para lelaki untuk melakukan gredo atau menggoda
para gadis pada saat melihat karnaval baik yang ada di teras rumah maupun di
jalan-jalan. Namun Tradisi ini hanya dilakukan pada suku Using di Banyuwangi.[8]
Pada masyarakat Batak Karo di Indonesia ada namanya Perjodohan antar impal,[9] Awal
sejarah dari perjodohan antar impal sendiri adalah pembagian harta warisan. Di
masyarakat Karo tradisional dahulu, seoranng anak dikawinkan dengan impalnya
supaya harta keluarganya tidak jatuh ke tangan orang lain. Tradisi perjodohan
antar impal ini masih bertahan hingga sekarang. Namun sesuai dengan
perkembangan zaman, tujuan perjodohan antar impal itu sudah tidak lagi seputar
persoalan harta warisan. Saat ini, tujuan perjodohan antar impal itu sering
kali demi menjaga kekerabatan di dalam sebuah keluarga besar. Karena tidak
jarang ada kekhawatiran akan longgarnya hubungan kekerabatan di dalam keluarga
besar jika anak di dalam keluarga tersebut menikah dengan orang yang tidak
dekat dengan keluarganya. Khawatir akan adanya perubahan hubungan kekerabatan
di dalam keluarga.[10]
Pada dasarnya dalam tiap masyarakat memiliki dua
istilah dalam pembatasan perjodohan, yaitu exogami
dan endogami.[11]
Masyarakat yang melarang nikah dengan orang yang semarga disebut Exogami marga,
sedangkan yang melarang menikah dalam satu desa disebut Exogami desa. Begitu
pula sebaliknya, seperti yang terjadi di India . Masyarakat India menganut paham Endogami,
sebab disana masyarakat harus menikah dengan batas kastanya sendiri. Maka hal
itu disebut dengan Endogami Kasta.[12]
Begitu pula yang terjadi pada masyarakat Kota Jambi di Indonesia, tepatnya di
Desa penyengat senaung kecamatan Jambi Luar Kota, biasanya pertemuan
muda-mudinya dimulai dari perkenalan diwaktu masa berselang disawah pada saat
mereka gotong royong bertanam padi. Atau menyiang padi atau menuai padi. Sambil
bekerja membantu mengerjakan sawah keluarganya tetangga sekampung. Muda-mudi diberi
kesempatan berkenalan dengan muda-mudi di waktu bekerja sambil membalas pantun.
Namun dalam pengawasan orang tua yang sama-sama bekerja disawah tersebut. Dalam
perkembangannya sekarang, komunikasi muda-mudi tidak lagi melalui balas pantun
melainkan melalui alat komunikasi moderen seperti Hand phone.[13]
Selanjutnya jika telah merasa telah cocok biasanya pihak laki-laki terlebih
dahulu untuk melamar kepada orang tua sigadis. Proses pelamaran dijambi sering
disebut dengan antar tando, proses
ini akan diawali dengan bertandang
atau bersilaturahmi kerumah pihak sigadis. Sebelum diadakan acara lamaran,
biasanya akan ada utusan dari pihak laki-laki yang akan bertanya ataupun
bersilahturahmi ke-keluarga sigadis. Utusan ini akan mencari tau, apakah gadis
tersebut sudah ada yang melamar.
Setelah itu, baru akan dilakukan prosesi lamaran. Lamaran ini biasanya
dihadiri tuo tengganai dari kedua
belah pihak keluarga. Pada saat lamaran, keluarga laki laki akan membawa syarat
adat, diantaranya:
·
Cincin pengikat. Cincin ini hanya untuk dipakai
wanita, bukan satu pasang. Sebab tukar cincin baru akan dilakukan saat akad
nikah nanti.
·
Pakaian sepelulusan. Berupa bahan kebaya untuk
akad, dan kain bawahan, bisa berupa batik atau songket. Terkadang juga
dilengkapi selop dan dompet.
·
Sirih dan Pinang .
Berupa perlengkapan untuk makan sirih, yaitu daun sirih, kapur sirih, tembakau,
serta pinang, yang diletakkan di tempat sirih khusus.
Semua persyaratan di bebankan ke pihak laki-laki. Selain
persyaratan diatas, pihak laki-laki juga mempersiapkan bahan-bahan dapur,
perlengkapan dapur, hingga ke perlengkapan tempat tidur. Bila pihak laki-laki
telah menyiapkan bahan-bahan tersebut, maka berlangsunglah acara pelamaran yang
dilanjuti dengan pesta perkawinan. Namun jika pihak laki-laki tidak mampu
mempersiapkan proses pelamaran, maka acara perkawinan dibatalkan dengan catatan
pasangan tersebut tidak ada yang mengganggu hubungannya. [14]
Gambaran perkawinan yang terjadi di Desa penyengat senaung kecamatan Jambi Luar
Kota ini merupakan contoh perkawinan Endogami Desa, sebab masyarakat hanya
mengambil jodoh dari satu Desa yaitu Desa Penyengat senaung.
Pada umumnya, tahapan pernikahan adat Jambi mirip
dengan adat-adat melayu pada umumnya. Karena mereka masih serumpun.. Akan
tetapi di- Jambipun adat yang berlaku tidak semuanya sama.
Bertolak belakang dari semua kejadian diatas, fenomena
sosial yang terjadi saat ini merupakan hasil dari akulturasi budaya, sehingga
aktivitas masyarakat tidak lagi terpola dan mengikuti kebiasaan nenek moyang,
tidak lagi memandang kesakralan budaya lama khusus nya pada perkawinan,
Masyarakat tidak lagi menemukan makna yang terkandung dalam perkawinan sehingga
menghasilkan pengertian baru terhadap perkawinan tersebut. Perkembangan zaman
yang ditandai dengan majunya tekhnologi khusus nya dibidang komunikasi membuka
peluang kepada masyarakat semakin mudah terjadinya hubungan antar sesama
manusia, antar suku bangsa dan antar Negara dalam segala aspek kehidupan.
Interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku Bangsa dan Negara
dalam berbagai bidang akan berpengaruh kepada pola pikir individu itu sendiri. Era-globalisasi[15] dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan
menghapuskan batas-batas geografis yang memisahkan antara negara satu dengan
lainnya. Tentunya didukung adanya kebebasan mengakses informasi melalui
berbagai media informasi dan telekomunikasi, internet khususnya. Di masa
kini, internet adalah media interaksi yang dominan. Maka wajar jika banyak
interaksi dunia nyata yang berpindah tempat kedunia maya. Teknologi bukan hanya
mengubah cara manusia membeli benda-benda, tapi juga mengubah cara manusia
mencari jodoh.
Di sini teknologi berperan mendorong evolusi
interaksi. Dulu orang menikah lewat perjodohan yang diatur oleh keluarga, tanpa
melewati proses psikologis yang kita kenal sebagai “jatuh cinta” lebih dulu.
Kini ketika hubungan anak-orang tua dan pria-wanita makin setara, orang yang
akan berjodoh memiliki lebih banyak pilihan mandiri. Contoh situs jejaringan
sosial yang sangat diminati dalam berinteraksi didunia maya diantaranya Facebook, Friendster, Twitter dan masih
banyak lagi. Teori globalisasi menandai dan menguji munculnya suatu sistem budaya
global terjadi karena berbagai perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya
sistem satelit dunia, penggalian gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola konsumsi
dan konsumerisme global, pengakuan tentang terjadinya krisis-krisis lingkungan
dunia, berkembangnya problem-problem kesehatan berskala dunia (seperti AIDS),
perluasan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan interaksi rumit antara
berbagai agama dunia.[16]
Bahkan lebih dari sekedar
proses-proses di atas, globalisasi menyangkut kesadaran bahwa dunia ini adalah
satu tempat milik bersama umat manusia. Karena itu, globalisasi yang
didefinisikan sebagai kesadaran yang tumbuh pada tingkat global bahwa dunia ini
adalah sebuah lingkungan yang terbangun secara berkelanjutan, atau sebagai suatu
proses sosial di mana hambatan-hambatan geografis berkaitan dengan
pengaturan-pengaturan sosial dan budaya semakin surut.[17]
Akibatnya berdampak pada perkembangan kebudayaan tradisional yang semakin lama
semakin pudar.
Permasalahan yang muncul
seiring perkembangan zaman yang membawa nama globalisasi ini, menyebabkan masyarakat tidak lagi mengindahkan
batas-batas perjodohan untuk mencapai suatu perkawinan. Bahkan perkawinan yang
terjadi di Negara-negara maju tidak lagi memiliki makna yang sakral, sebab mereka
telah melanggar makna Incest. Incest atau yang sering disebut sumbang
muncul ketika suatu adat tidak lagi dilaksanakan atau dalam artian telah
melanggar adat.[18]
Faktanya diindonesia, banyak yang tidak lagi memandang
makna sebuah perkawinan, sehingga tingginya tingkat perceraian yang muncul
akibat melencengnya nilai budaya masyarakat yang sudah membuka penghalang atau
hijab antara laki-laki dan perempuan.
Untuk membatasi meningkatnya tingkat perceraian, maka
pemerintah juga membuat peraturan tentang perkawinan dalam undang-undang nomor
1 tahun 1994 lembaran negara RI. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon
suami itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan,
agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian. [19]
Manusia tidak segan-segan lagi melakukan hubungan seks
bebas dengan siapapun atau yang lebih dikenal dengan nama Kumpul kebo.[20] Belum
lagi banyaknya perkawinan yang tidak lagi mempertimbangkan perbedaan agama atau
kepercayaan, padahal dalam Islam telah jelas hadits Nabi berbunyi :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ
لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“ nikahilah
perempuan karena empat perkara,yaitu karna hartanya, keturunannya, kecantikannya,
dan karena agamanya”(H.R Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits ini Nabi Muhammad SAW menganjurkan
bahwa hendaklah pertimbangan agama dan akhlak merupakan tujuan utama dalam
perkawinan.[21]
Menurut
sebuah penelitian yang dialakukan oleh Zakiah Drajat, perilaku manusia 83%
dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar, dan 6 % sisanya
oleh berbagai stimulus campuran. Dilihat dari perspektif ini, nasihat orang tua
yang hanya memiliki efektivitas 11%, dan hanya contoh teladan orang tua saja
yang memiliki efektivitas tinggi.[22]
Berangkat dari penelitian
Zakiah Drajat tersebut maka bisa dibayangkan, dengan kecanggihan alat
komunikasi yang canggih sebagai produk moderen, kebudayaan dari berbagai manca
daerah dapat dengan mudah masuk ke dalam aliran darah dan denyut nadi
kebudayaan lokal yang tidak jarang akan menggeser nilai-nilai moral dan agama
yang telah tertanam di dalamnya. Budaya global akan diserap dengan mudah oleh
masyarakat dunia. Budaya dalam suatu masyarakat akan sangat berpengaruh pada
pembentukan karakter keluarga. Pengaruh ini meliputi perilaku, gaya hidup dan aspek-aspek
lain. Budaya global sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi untuk
berekspresi, dan ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat Timur yang masih
menjunjung nilai-nilai moral.[23]
Dalam era globalisasi yang
mengiming-iming masyarakat akan majunya sistem tekhnologi untuk meninggalkan
tradisi lama ternyata tidak mempengaruhi pandangan Masyarakat Desa Tangkit Baru
dalam memaknai pembatasan jodoh yang masih dipertahankan disana. Daerah
yang terletak di Kota Jambi ini, tepatnya Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai
Gelam Kabupaten Muaro Jambi, dalam pemilihan jodoh haruslah sesuai dengan
pilihan orang tua baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Biasanya
pemuda-pemudi dipertemukan dalam suatu acara keluarga. Dalam acara tersebut,
orang tua akan mencari tahu bagaimana latar belakang anak yang akan dijodohkan
kepada anaknya. Jika dianggap cocok maka pihak laki-laki biasanya mencari waktu lain untuk bersilaturahmi kerumah pihak
wanita dengan tujuan memperjodohkan anaknya.
Kebiasaan ini dalam masyarakat Tangkit baru disebut
tradisi Mattiro. [24] Tradisi
yang membatasi masyarakat dengan ketentuan harus menikah dengan satu sukunya
ini merupakan Perkawinan Endogami Suku.
Dari fenomena sosial yang terjadi di Desa Tangkit Baru
seiring dengan berkembangnya sistem tekhnologi secara global setidak nya
menimbulkan tiga permasalahan, yaitu yang pertama, Apa yang dimaksud dengan
Tradisi Mattiro di Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro
Jambi ?
Kedua, Apa makna yang terkandung didalam tradisi
mattiro sehingga masyarakat Desa tangkit baru masih mempertahankan Tradisi
tersebut. Sedangkan fakta yang terlihat di zaman moderen seperti saat ini
mayoritas masyarakat hanya terfokus untuk mencari
kesenangan dalam kehidupan perkawinan dari pada berpikir tentang tanggung
jawab. Beberapa pasangan menikah apabila mereka sepakat untuk mencari
kesenangan dan kenikmatan saja. Jadi apabila kehidupan perkawinan itu tidak
dapat lagi memberikan apa yang mereka cari, maka mereka akan memilih jalan mereka
sendiri-sendiri. Sehingga perceraian sebagai konsekuensinya menjadi suatu hal
yang biasa. Dan kemajuan tekhnologi informasi juga sudah menjamur hingga
kepelosok desa termasuk Desa Tangkit Baru. Globalisasi
tekhnologi telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui
proses liberalisasi (swastanisasi) pasar dan perdagangan luas di banyak negara
berkembang. Distribusi luas produk budaya barat seperti film, literatur, gaya hidup, nilai-nilai
baru melalui media elektronik, siaran satelit, internet, koran-koran dan
majalah telah mempengaruhi budaya lokal. Bukan hanya itu, dengan tayangan dalam
media-media ini juga tidak menutup kemungkinan akan mengubah pola pikir
masyarakat desa tangkit baru untuk meninggalkan tradisi peninggalan orang-orang
tua nya dahulu.
Ketiga, Bagaimana pandangan Islam
terhadap tradisi mattiro di Desa Tangkit Baru ?. Perkembangan pola pikir
manusia saat ini lebih mengarah pada kebebasan hak asasi yang dimiliki oleh
manusia. Demokrasi yang melahirkan kebebasan secara global tidak memungkinkan
seseorang untuk memperjuangkan haknya terutama dalam perjodohan. Oleh sebab itu
muncul pertanyaan bagaimana Islam memandang Tradisi Mattiro di Desa Tangkit
Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi ini ditengah kemajuan zaman.
Dari Persoalan-persoalan
inilah yang menarik saya sebagai penulis untuk mengangkat tradisi Mattiro ini
sebagai karya ilmiah yang diterangkan dalam bentuk tulisan skripsi yang
berjudul “Tradisi Mattiro di Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten
Muaro Jambi”.
[1]
T.O Ihromi, pokok-pokok antropologi
budaya, (Jakarta : PT Gramedia, 1980) hlm. 18
[2] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta,
2009) Hlm. 144
[3]
T.O Ihromi, loc. cit.
[4]
Koentjaraningrat, Pengantar ilmu
Antropologi, op. cit., hlm. 150.
[5]
Koentjaraningrat, Beberapa pokok
antropologi sosial, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 92
[6]
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat,
(Bandung : Pustaka Setia, 1999) hlm. 9
[7]
Koentjaraningrat, Beberapa pokok
antropologi sosial, op. cit., hlm. 94
[9]
Perjodohan antar Impal adalah Perjodohan antar sepupu yang ada pada masyarakat
Batak Karo dengan tujuan mempertahankan kekerabatan masyarakat karo.
[10] http://lacapitale.wordpress.com/2008/04/11/perjodohan-antar-impal
(di akses pada tgl 05-05-2011)
[11]
Exogami adalah suatu larangan menikah pada luar batas suatu lingkungan
tertentu. Sedangkan Endogami adalah suatu pembatasan jodoh yang mengharuskan
menikah dalam batas lingkungan tertentu.
[12]
Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi
sosial, op. cit., hlm 95.
[13]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pola
Pengasuhan Anak Secara Tradisional di Desa Penyengat Senaung Kecamatan Jambi
Luar Kota Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi, (Jambi Balai Pustaka, 1990)
hlm 22
[14] Ibid, Hlm 23
[15]
Era globalisasi adalah zaman dimana tidak ada lagi pembatas antar negara yang
ditandai dengan majunya tekhnologi disegala bidang. Globalisasi juga diartikan Paham kebijakan nasional yang memperlakukan
seluruh dunia sebagai lingkungan yang pantas untuk pengaruh politik.
[16] M. Atho Mudzhar, "Masyarakat Indonesia Baru dalam Perspektif
Global" dalam jurnal Mukaddimah, No. 8 Tahun. V 1999. (Yogyakarta:
Kopertais. 1999) hlm. 43.
[17] Ibid.
[18]
Koentjaraningrat, Beberapa pokok
antropologi sosial, loc. cit.
[19]Sudarsono, S.H, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta :
Rineka Cipta, 1994) hlm 8.
[20] Kumpul kebo adalah suatu aktivitas hubungan
seks bebas yang tidak lagi memandang aqidah agama.
[21]
Drs. Slamet Abidin, op. cit., hlm 12.
[22] Said Husin al-Munawwar, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar
Membangun Masyarakat Madani. (Jakarta: Pena Madani, 2003). hlm 66.
[23] Muhammad Bahrul Ulum. "Masyakil al-Usrah al-Muslimah fi al-Gharb"
dalam jurnal al-Jami’ah al-Islamiyah, Vol 1, No. 2 April-Juni 1994.
London: International Collegs of Islamic Science. hlm. 119.
[24]
Observasi Penulis di Desa Tangkit baru kecamatan Sungai gelam (17-02-2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar