Senin, 13 Februari 2012

KONFLIK ISLAM DAN YAHUDI DI MADINAH



KONFLIK ISLAM DAN YAHUDI DI MADINAH
Ditulis oleh : Asep Saiful Zulfikar (Mahasiswa Pasca UIN Suka)

                        I.                    PENDAHULUAN
Kerukunan antar umat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh bangsa yang majemuk dalam hal agama. Jika toleransi beragama tidak ditegakkan, bangsa atau Negara tersebut akan menghadapi berbagai konflik antarpemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan disintegrasi nasional. Untuk itu diperlukan perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus diupayakan pemahaman yang benar dan ditemukan cara untuk menciptakan kerukunan tersebut.
Melekatkan agama sebagai suatu varian potensial pemicu kekerasan adalah hal yang tidak mudah. Demikian ini karena agama dianggap sebagai ajaran yang selalu diasosiasikan dengan ajaran penuh dengan nilai kedamaian dan keselamatan. Sementara dalam kasus-kasus tertentu seringkali agama dapat menimbulkan kekerasan yang kemudian dapat menimbulkan kerusakan, kehancuran bahkan kematian. Meskipun wajah sejuk agama sangat tidak mungkin dilekatkan dengan wajah panas kekerasan. Dan pemeluk agamalah yang dapat menjadikan doktrin-doktrin agama sebagai sebuah landasan kekerasan yang mereka lakukan.
Konflik yang terjadi antara Islam dan Yahudi di Madinah misalnya beberapa cendekiawan Muslim menyebutkan bahwa terjadinya diakibatkan kepada system of belief dari keduanya yang sangat bertentangan di antara keduanya.[1] Namun penulis sendiri kurang sepakat dengan pendapat ini, karena menurut penulis meskipun system of belief merupakan akar permasalahan. Namun, fakta adanya konflik antara Islam dan Yahudi yang terjadi di Madinah adalah setelah kemenangan Islam pada perang Badr yang secara politis akan mengukuhkan kedudukan Islam di Arabia.
                     II.                    PEMBAHASAN
Struktur masyarakat di Madinah sebelum datangnya  Islam ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh keadaan geografis dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan bangsa dan Agama. Sementara secara vertikal, ditandai dengan adanya stratifikasi sosial, yakni perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan bawah; seperti perbedaan ekonomi, ideology politik, dan ketidakadilan struktur.
Pluralitas horizontal yang ada di Madinah di tandai dengan perbedaan suku dan agama. Madinah sebelum kedatangan Islam terdapat lima suku yaitu suku Aus dan Khazraj berasal dari bangsa Arab yang tatanan keagamaannya mengikuti kaum Quraisy yaitu sebagai penyembah berhala (Paganisme), kemudian suku Qainuqa’, an-Nadhir, dan Quraizhah dari bangsa Yahudi yang  beragama Yahudi sebagai agama yang monoteis.
 Adapun dimensi vertical struktur masyarakat Madinah dapat dilihat dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi sosial berdasarkan politik dan kekayaan. Orang Yahudi di Madinah memiliki kekayaan yang banyak, mereka menjalankan praktek pinjaman dan pergadaian. Bangsa Arab yang sebagian besar adalah petani sering kali meminjam uang kepada orang-orang Yahudi sambil menunggu hasil panen dan dengan praktek bunga pinjaman tentunya. Ini juga seringkali menimbulkan konflik karena pada prakteknya orang-orang Yahudi mensyaratkan jika tidak ada barang yang dapat digadaikan maka seseorang dapat menggadaikan salah seorang dari keluarganya, ini jelas berpotensi menimbulkan konflik. Selain itu pada dimensi politik juga adanya persekutuan, suku Aus bersekutu dengan Yahudi Qainuqa’, sedangkan suku Khazraj bersekutu dengan suku Yahudi an-Nadhir dan Quraizhah.
Namun setelah Islam datang ke Madinah, pluralitas horizontal di bidang agama semakin komplek, menjadi tiga agama yaitu Yahudi, Islam, dan Paganisme. Pada tulisan ini penulis hanya akan membahas konflik yang terjadi antara Islam dan Yahudi, karena Paganisme ketika Islam datang sedikit demi sedikit pudar dan hanya sedikit konflik yang terjadi dengan Islam.
Islam adalah agama yang universal. Ia menerima dengan terbuka bagi setiap orang yang ingin memeluknya. Semua orang Islam, tanpa membeda-bedakan asal-usul etnis, warna kulit, rasa tau bangsa, mutlak sama. Semua orang diajak masuk Islam, dan semua orang diperlakukan sama secara mutlak manakala mereka telah menjadi Muslim. Berikut riwayat yang menunjukkan tentang keuniversalan Islam adalah ketika Nabi Muhammad SAW mengajak kaum Yahudi untuk masuk Islam:
“Hai seluruh orang-orang Yahudi, takutlah Allah SWT menurunkan hukuman seperti yang Dia turunkan kepada orang-orang Quraisy dan masuk Islamlah kalian, karena kalian telah mengetahui bahwa aku Nabi yang diutus. Ini dan perjanjian Allah kepada kalian telah kalian dapati di Kitab kalian”.[2]

Sementara orang-orang Yahudi dengan ajaran Yudaismenya menganggap diri mereka orang-orang pilihan Tuhan. Karenannya mereka menganggap diri mereka lebih utama dari seluruh umat manusia. Mereka mengetahui akan datang seorang Nabi, bahkan mereka memilih tinggal di Madinah dikarenakan dalam kitab suci mereka disebutkan bahwa seorang Nabi terakhir akan hijrah ke Madinah. Namun mereka tidak menerimanya karena Nabi SAW bukan dari golongan kaum Yahudi. Berikut sebuah riwayat yang menunjukkan keeksklusifan kaum Yahudi:
“Aku adalah anak kesayangan ayahku, dan aku juga kesayangan pamanku, Abu Yasir. Mereka tidak pernah melihatku bersama anak mereka yang lain tanpa mengangakatku lebih dulu dari anak yang lain. Ketika Rasulullah tiba di Madinah dan singgah di Quba’, ayahku, Huyai ibn Akhtab dan pamanku, Abu Yasir, pergi menemuinya setelah matahari terbit. Mereka tidak kembali ke rumah sebelum matahari tenggelam. Mereka begitu lelah ketika pulang ke rumah sehingga mereka terhuyung-huyung. Wajahku berseri-seri dengan sebuah senyuman pada saat menuju kearah mereka. Namun, mereka tidak memperhatikanku sama sekali, karena mereka tampak sangat tertekan. Aku mendenganr pamanku Abu Yasir berkatakepada ayahku, Huyai benarkah dia?. Ayahku menjawab, Ya sungguh demi Allah dialah orangnya. Pamanku berkata: apakah engkau benar-benar mengakuinya? Ayahku menjawab dengan tegas. Kemudian pamanku bertanya: Apa yang akan engkau lakukan?. Ayahku menjawab: Demi Allah, aku akan menjadi musuhnya seumur hidupku,”[3]

Dari riwayat di atas, dapat dilihat bahwa orang-orang Yahudi pada dasarnya percaya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasullullah SAW, namun karena mereka tidak mengakui Nabi selain dari Bani Israil, mereka kemudian memusuhinya. Maka dari itu, kedua system of belief yang dimiliki oleh Yahudi dan Islam di atas jelas memiliki peranan penting dalam terjadinya konflik  di antara keduanya, sekalipun system of belief tersebut tidak selalu berposisi sebagai sebab utamanya terjadi konflik, melainkan sebagai sebuah hal yang dapat mempercepat konflik. Sebagai contoh lagi ketika Abu Bakr mengajak seorang Yahudi yang bernama Finhas (Pinehas) untuk masuk Islam. Ia malah mengejek dan menghinanya dengan mengatakan bahwa bukan kita yang memerlukan Tuhan, tetapi Tuhan yang memerlukan kita. Sehingga Abu Bakr marah dan menamparnya.
Meski demikian ketika awal Rasulullah SAW di Madinah hubungannya dengan kaum Yahudi terjalin dengan baik. Ini terlihat dari beberapa riwayat yang ada, seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abd Razaq:
“Diriwayatkan dari Abd Rozaq ia berkata: dari al-Auza’I dari Ibnu ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ashi berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sampaikanlah apa2 dariku walau satu ayat, dan berbicaralah sekehendakmu kepada Bani Israil, maka barang siapa yang berbohong dengan sengaja atas namaku maka akan diberikan tempat di neraka”[4]

Dari hadits ini dapat dilihat bahwa Rasulullah SAW tidak melarang umat Islam Madinah untuk bergaul dengan Yahudi sekehendaknya dengan tetap memegang teguh ajarana Islam dan tidak berbohong atas nama Nabi SAW. Oleh karenanya konflik yang terjadi antara umat Islam dan Yahudi di Madinah terjadi setelah kemenangan Islam dalam perang Badr.
Beberapa riwayat yang ada menyebutkan bahwa awal mula terjadinya perang dengan Bani Qainuqa’ adalah ketika Rasulullah kembali dari Badr. Awal mulanya adalah adanya hasutan dari orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’:
“Hai seluruh orang-orang Yahudi, takutlah Allah SWT menurunkan hukuman seperti yang Dia turunkan kepada orang-orang Quraisy dan masuk Islamlah kalian, karena kalian telah mengetahui bahwa aku Nabi yang diutus. Ini dan perjanjian Allah kepada kalian telah kalian dapati di Kitab kalian. Orang-orang Yahudi berkata: Hai Muhammad apakah kira kami lemah hingga engkau dapat mengalahkan kami dengan mudah? Engkau jangan sok kuat! Engkau hanya menghadapi kaum yang tidak mempunyai pengetahuan tentang perang sedikit pun. Oeh karena itu, tidak heran kalau engkau menang atas mereka. Demi Allah, jika kami memerangimu, engkau pasti tahu bahwa kami manusia terkuat”.[5]

Apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dengan hasutan tersebut yang memulai perpecahan antara kaum Islam dan Madinah adalah merupakan sebuah sikap dari mobilisasi sosial umat Islam. Umat Islam ketika datang ke Madinah adalah dalam keadaan yang masih baru dalam membangun sebuah peraaban Islam dan dianggap oleh orang-orang Yahudi bukan sebagai sebuah musuh utama sehingga dapat hidup berdampingan dengan damai.
Namun dengan semakin banyaknya orang masuk Islam dan kedudukan Nabi sebagai pemimpin agama menjadi semakin kuat, apalagi setelah kemenangan kaum Muslimin pada perang Badr yang memperlihatkan eksistensi dan kekuatan Islam di Madinah. keadaan mulai berubah. Orang Yahudi menjadi khawatir atas kekuasaan dan kekuatan Nabi yang semakin besar dan dianggap sebagai ancaman potensial terhadap kedudukannya yang dominan di daerah tersebut. Oleh karena itu, mereka memikirkan kembali posisi mereka dalam hubungannya dengan Nabi dan para sahabatnya.
Maka ketika mereka merasa eksistensinya terancam oleh Islam yang semakin kuat di Madinah,  mereka mulai menyerang Nabi dan Islam secara terbuka. Sejak saat itu, kegiatan permusuhanya berubah menjadi persekongkolan dengan musuh Muslim dan mulailah mereka menghasut suku Arab untuk menyerang Madinah dan menghancurkannya. Mereka secara terbuka malah berkata bahwa kepercayaan kaum penyembah berhala di Makkah adalah lebih baik dibandingkan dengan kepercayaan Nabi dan para pengikutnya. Mereka juga mulai melakukan usaha provokasi untuk memecah belah kaum Muslimin.[6]
Oleh karenanya tidaklah heran jika ketika terjadi perang Parit yaitu serangan besar kaum Quraisy kepada penduduk Islam di Madinah dan terjadi pengepungan, kaum Yahudi Bani Quraizah yang terhasut oleh bujukan Huyai bin Akhtab sehingga  mereka balik berkhianat kepada Islam dan telah melanggar perjanjian yang tertuang dalam Piagam Madinah.[7]
Dari penjelasan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa gejala mobilisasi sosial yaitu dengan kedatangan Islam ke Madinah dan berkembang dengan cepat sehingga menciptakan gejala kecemburuan sosial di kalangan orang-orang Yahudi dan membuat orang-orang Yahudi menciptakan permusuhan dengan orang-orang Islam. Dengan permusuhan ini, maka jelaslah bahwa mereka telah melanggar perjanjian konstitusional di Madinah yang nantinya secara terbuka mereka lakukan dengan rencana pembunuhan mereka terhadap Nabi SAW serta pengkhianatan mereka terhadap kaum Muslim di perang Parit.
Selanjutnya, orang-orang Yahudi di Madinah sebagian besar merupakan orang-orang yang kaya, mereka menguasai ekonomi di Madinah. Mereka mengusai pasar-pasar di Madinah, bahkan memiliki rumah-rumah gadai yang dalam Islam biasa disebut dengan riba’. Sementara orang-orang Islam di Madinah sebagian besar adalah petani yang kehidupannya mengandalkan alam dan tentunya memiliki penghasilan yang tak tentu. Maka dari itu, dapat dikatakan juga bahwa konflik yang terjadi antara orang Islam dan Yahudi di Madinah merupakan sebuah kesenjangan sosial yang akan mengakibatkan intimidasi dari lapisan atas yang kaya ke lapisan bawah yang miskin. Konflik yang terjadi antara Islam dan Yahudi Bani Qainuqa’ adalah contohnya, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam:
“Sebab terjadinya perang Bani Qainuqa’ adalah ketika seorang wanita Arab datang membawa barang untuk dijual di pasar Bani Qainuqa’ dan duduk bersebelahan dengan tukang emas dan perak. Orang-orang Yahudi tersebut meminta wanita itu untuk membuka wajahnya, tetapi ia bersikukuh menolak mengabulkan permintaan mereka. Tukang emas dan perak mendekat kepada wanita tersebut dan mengikatkannya ke punggung wanita tersebut. Ketika wanita Arab tersebut berdiri, terbukalah auratnya dan orang-orang Yahudi pun tertawa terpingkal-pingkal karenanya. Mendapat perlakuan seperti itu, wanita Arab tersebut berteriak keras, kemudian salah seorang dari kaum Muslimin meloncat ke tukang emas dan perak yang Yahudi itu dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi lainnya tidak tinggal diam, mereka kemudian membunuh orang Muslim tersebut. Karena kejadian tersebut, keluarga orang Muslim yang terbunuh berteriak memanggil kaum Muslimin sembari menyebutkan ulah orang-orang Yahudi. Kaum Muslimin pun marah besar kemudian terjadilah perang antara mereka melawan orang-orang Yahudi[8].

Dari riwayat di atas dapat dilihat bahwa kejadian yang menyebabkan konflik antara Islam dan Yahudi Bani Qainuqa’ terjadi di pasar yang merupakan bagian dari pusat ekonomi. Maka dari itu, di sini kita dapat menyimpulkan bahwa orang Yahudi tersebut tidak akan melakukan pelecehan kepada seorang wanita Muslim tersebut jika wanita tersebut memiliki kekayaan yang lebih dari orang Yahudi tersebut. Hal ini wajar melihat dari struktur sosial masyarakat Yahudi pada waktu itu yang berorientasi pada ekonomi dan tentunya berimplikasi pada kehoramatan kepada orang yang kaya. Maka konflik yang terjadi tersebut pada dasarnya merupakan adanya kesenjangan sosial yang ada, sehingga menyebabkan terjadinya pelecehan kaum lapisan atas yang kaya dan lapisan bawah yang miskin.
                  III.                    KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi antara Islam dan Yahudi di Madinah meskipun memiliki unsur kultural yang mempercepat terjadinya konflik, namun adanya kesenjangan sosial dalam bidang ekonomi maupun adanya mobilisasi sosial di bidang politiklah yang menjadi penyebab utamanya.
                  IV.                    PENUTUP
Tiada kata yang terucap dari dari mulut dan hati penulis kecuali syukur Kepada Allah SWT. Apa yang penulis lakukan tidak akan berarti dan tidak akan terlaksana tanpa campur tangan Allah SWT sabagai sang pencipta. Dan tiada yang diharapkan kecuali ridho-Nya. Karena ridho inilah yang akan menghantarkan penulis meniti jalan kehidupan di hari ini khususnya dan hari yang akan datang. Ini semua adalah anugerah Allah SWT yang setiap orang pasti memilikinya. Untuk itu kritik dan saran dan masukan dari semua pihak adalah yang penulis harapkan dan semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi para pembaca.













DAFTAR PUSTAKA
At-Thabary, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, 2003, Tarikhu at-Thabary (Tarikh al-Umam wal Muluk), Jilid I, Beirut: Dar AL-Fikr
As-Shan’ani, Abi Bakr ‘Abdi ar-Razaq bin Hammam, tt, al-Mushannaf, Jilid X, Beirut: Mansyurotil Majlisil Ilmu
Atsir, Ibnu, 1979, al-Kamil fi at-Tharikh, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr
Hisyam, Ibnu. 2006. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyan Jilid II, terj. Fadhli Bahri, Lc. Bekasi: PT. Darul Falah
Wafi, Marzuki Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Wacana Masyarakat Madani: Analisis Isi Piagam Madinah dan Relevansinya bagi Indonesia. (makalah yang diposting di www.madani.com).



[1] Marzuki Wafi, Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Wacana Masyarakat Madani: Analisis Isi Piagam Madinah dan Relevansinya bagi Indonesia. (makalah yang diposting di www.madani.com), hal. 10
[2] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabary, Tarikhu at-Thabary (Tarikh al-Umam wal Muluk), Jilid I, (Beirut: Dar Shader, 2003), hal. 382-383
[3] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyan Jilid I, terj. Fadhli Bahri, Lc. (Bekasi: PT. Darul Falah, 2006), hal. 606
[4] Abi Bakr ‘Abdi ar-Razaq bin Hammam as-Shan’ani, al-Mushannaf, Jilid X, (Beirut: Mansyurotil Majlisil Ilmu, tt), hal. 312
[5] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabary, Tarikhu at-Thabary (Tarikh al-Umam wal Muluk,.., hal. 382-383
[6] Ibnu Atsir, al-Kamil fi at-Tharikh, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hal. 137-138
[7] Abi Bakr ‘Abdi ar-Razaq bin Hammam as-Shan’ani, al-Mushannaf,.., 357
[8] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyan Jilid II, terj. Fadhli Bahri, Lc., hal. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar