KONFLIK ISLAM DAN YAHUDI DI MADINAH
Ditulis oleh : Asep Saiful Zulfikar (Mahasiswa Pasca UIN Suka)
Ditulis oleh : Asep Saiful Zulfikar (Mahasiswa Pasca UIN Suka)
I.
PENDAHULUAN
Kerukunan antar umat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh
bangsa yang majemuk dalam hal agama. Jika toleransi beragama tidak ditegakkan,
bangsa atau Negara tersebut akan menghadapi berbagai konflik antarpemeluk
masing-masing agama dan dapat menyebabkan disintegrasi nasional. Untuk itu
diperlukan perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus
diupayakan pemahaman yang benar dan ditemukan cara untuk menciptakan kerukunan
tersebut.
Melekatkan agama sebagai suatu varian potensial pemicu kekerasan
adalah hal yang tidak mudah. Demikian ini karena agama dianggap sebagai ajaran
yang selalu diasosiasikan dengan ajaran penuh dengan nilai kedamaian dan
keselamatan. Sementara dalam kasus-kasus tertentu seringkali agama dapat
menimbulkan kekerasan yang kemudian dapat menimbulkan kerusakan, kehancuran
bahkan kematian. Meskipun wajah sejuk agama sangat tidak mungkin dilekatkan
dengan wajah panas kekerasan. Dan pemeluk agamalah yang dapat menjadikan
doktrin-doktrin agama sebagai sebuah landasan kekerasan yang mereka lakukan.
Konflik yang terjadi antara Islam dan Yahudi di Madinah misalnya
beberapa cendekiawan Muslim menyebutkan bahwa terjadinya diakibatkan kepada system
of belief dari keduanya yang sangat bertentangan di antara keduanya.[1]
Namun penulis sendiri kurang sepakat dengan pendapat ini, karena menurut
penulis meskipun system of belief merupakan akar permasalahan. Namun,
fakta adanya konflik antara Islam dan Yahudi yang terjadi di Madinah adalah
setelah kemenangan Islam pada perang Badr yang secara politis akan mengukuhkan
kedudukan Islam di Arabia.
II.
PEMBAHASAN
Struktur
masyarakat di Madinah sebelum datangnya
Islam ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal,
ia ditandai oleh keadaan geografis dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan
sosial berdasarkan perbedaan bangsa dan Agama. Sementara secara vertikal,
ditandai dengan adanya stratifikasi sosial, yakni perbedaan-perbedaan vertikal
antara lapisan atas dan bawah; seperti perbedaan ekonomi, ideology politik, dan
ketidakadilan struktur.
Pluralitas
horizontal yang ada di Madinah di tandai dengan perbedaan suku dan agama.
Madinah sebelum kedatangan Islam terdapat lima suku yaitu suku Aus dan Khazraj
berasal dari bangsa Arab yang tatanan keagamaannya mengikuti kaum Quraisy yaitu
sebagai penyembah berhala (Paganisme), kemudian suku Qainuqa’, an-Nadhir, dan
Quraizhah dari bangsa Yahudi yang
beragama Yahudi sebagai agama yang monoteis.
Adapun dimensi vertical struktur masyarakat
Madinah dapat dilihat dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi sosial
berdasarkan politik dan kekayaan. Orang Yahudi di Madinah memiliki kekayaan
yang banyak, mereka menjalankan praktek pinjaman dan pergadaian. Bangsa Arab
yang sebagian besar adalah petani sering kali meminjam uang kepada orang-orang
Yahudi sambil menunggu hasil panen dan dengan praktek bunga pinjaman tentunya.
Ini juga seringkali menimbulkan konflik karena pada prakteknya orang-orang
Yahudi mensyaratkan jika tidak ada barang yang dapat digadaikan maka seseorang
dapat menggadaikan salah seorang dari keluarganya, ini jelas berpotensi
menimbulkan konflik. Selain itu pada dimensi politik juga adanya persekutuan,
suku Aus bersekutu dengan Yahudi Qainuqa’, sedangkan suku Khazraj bersekutu
dengan suku Yahudi an-Nadhir dan Quraizhah.
Namun setelah
Islam datang ke Madinah, pluralitas horizontal di bidang agama semakin komplek,
menjadi tiga agama yaitu Yahudi, Islam, dan Paganisme. Pada tulisan ini penulis
hanya akan membahas konflik yang terjadi antara Islam dan Yahudi, karena
Paganisme ketika Islam datang sedikit demi sedikit pudar dan hanya sedikit
konflik yang terjadi dengan Islam.
Islam adalah
agama yang universal. Ia menerima dengan terbuka bagi setiap orang yang ingin
memeluknya. Semua orang Islam, tanpa membeda-bedakan asal-usul etnis, warna
kulit, rasa tau bangsa, mutlak sama. Semua orang diajak masuk Islam, dan semua
orang diperlakukan sama secara mutlak manakala mereka telah menjadi Muslim.
Berikut riwayat yang menunjukkan tentang keuniversalan Islam adalah ketika Nabi
Muhammad SAW mengajak kaum Yahudi untuk masuk Islam:
“Hai seluruh
orang-orang Yahudi, takutlah Allah SWT menurunkan hukuman seperti yang Dia
turunkan kepada orang-orang Quraisy dan masuk Islamlah kalian, karena kalian
telah mengetahui bahwa aku Nabi yang diutus. Ini dan perjanjian Allah kepada
kalian telah kalian dapati di Kitab kalian”.[2]
Sementara
orang-orang Yahudi dengan ajaran Yudaismenya menganggap diri mereka orang-orang
pilihan Tuhan. Karenannya mereka menganggap diri mereka lebih utama dari
seluruh umat manusia. Mereka mengetahui akan datang seorang Nabi, bahkan mereka
memilih tinggal di Madinah dikarenakan dalam kitab suci mereka disebutkan bahwa
seorang Nabi terakhir akan hijrah ke Madinah. Namun mereka tidak menerimanya
karena Nabi SAW bukan dari golongan kaum Yahudi. Berikut sebuah riwayat yang
menunjukkan keeksklusifan kaum Yahudi:
“Aku adalah
anak kesayangan ayahku, dan aku juga kesayangan pamanku, Abu Yasir. Mereka
tidak pernah melihatku bersama anak mereka yang lain tanpa mengangakatku lebih
dulu dari anak yang lain. Ketika Rasulullah tiba di Madinah dan singgah di
Quba’, ayahku, Huyai ibn Akhtab dan pamanku, Abu Yasir, pergi menemuinya
setelah matahari terbit. Mereka tidak kembali ke rumah sebelum matahari
tenggelam. Mereka begitu lelah ketika pulang ke rumah sehingga mereka
terhuyung-huyung. Wajahku berseri-seri dengan sebuah senyuman pada saat menuju
kearah mereka. Namun, mereka tidak memperhatikanku sama sekali, karena mereka
tampak sangat tertekan. Aku mendenganr pamanku Abu Yasir berkatakepada ayahku,
Huyai benarkah dia?. Ayahku menjawab, Ya sungguh demi Allah dialah orangnya.
Pamanku berkata: apakah engkau benar-benar mengakuinya? Ayahku menjawab dengan
tegas. Kemudian pamanku bertanya: Apa yang akan engkau lakukan?. Ayahku
menjawab: Demi Allah, aku akan menjadi musuhnya seumur hidupku,”[3]
Dari riwayat di
atas, dapat dilihat bahwa orang-orang Yahudi pada dasarnya percaya bahwa Nabi
Muhammad adalah Rasullullah SAW, namun karena mereka tidak mengakui Nabi selain
dari Bani Israil, mereka kemudian memusuhinya. Maka dari itu, kedua system
of belief yang dimiliki oleh Yahudi dan Islam di atas jelas memiliki
peranan penting dalam terjadinya konflik
di antara keduanya, sekalipun system of belief tersebut tidak
selalu berposisi sebagai sebab utamanya terjadi konflik, melainkan sebagai
sebuah hal yang dapat mempercepat konflik. Sebagai contoh lagi ketika Abu Bakr
mengajak seorang Yahudi yang bernama Finhas (Pinehas) untuk masuk Islam. Ia
malah mengejek dan menghinanya dengan mengatakan bahwa bukan kita yang
memerlukan Tuhan, tetapi Tuhan yang memerlukan kita. Sehingga Abu Bakr marah dan
menamparnya.
Meski demikian
ketika awal Rasulullah SAW di Madinah hubungannya dengan kaum Yahudi terjalin
dengan baik. Ini terlihat dari beberapa riwayat yang ada, seperti sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Abd Razaq:
“Diriwayatkan
dari Abd Rozaq ia berkata: dari al-Auza’I dari Ibnu ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah
dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ashi berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Sampaikanlah apa2 dariku walau satu ayat, dan berbicaralah sekehendakmu kepada
Bani Israil, maka barang siapa yang berbohong dengan sengaja atas namaku maka
akan diberikan tempat di neraka”[4]
Dari hadits ini
dapat dilihat bahwa Rasulullah SAW tidak melarang umat Islam Madinah untuk
bergaul dengan Yahudi sekehendaknya dengan tetap memegang teguh ajarana Islam
dan tidak berbohong atas nama Nabi SAW. Oleh karenanya konflik yang terjadi
antara umat Islam dan Yahudi di Madinah terjadi setelah kemenangan Islam dalam
perang Badr.
Beberapa
riwayat yang ada menyebutkan bahwa awal mula terjadinya perang dengan Bani
Qainuqa’ adalah ketika Rasulullah kembali dari Badr. Awal mulanya adalah adanya
hasutan dari orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’:
“Hai seluruh
orang-orang Yahudi, takutlah Allah SWT menurunkan hukuman seperti yang Dia
turunkan kepada orang-orang Quraisy dan masuk Islamlah kalian, karena kalian
telah mengetahui bahwa aku Nabi yang diutus. Ini dan perjanjian Allah kepada
kalian telah kalian dapati di Kitab kalian. Orang-orang Yahudi berkata: Hai
Muhammad apakah kira kami lemah hingga engkau dapat mengalahkan kami dengan
mudah? Engkau jangan sok kuat! Engkau hanya menghadapi kaum yang tidak
mempunyai pengetahuan tentang perang sedikit pun. Oeh karena itu, tidak heran
kalau engkau menang atas mereka. Demi Allah, jika kami memerangimu, engkau
pasti tahu bahwa kami manusia terkuat”.[5]
Apa yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi dengan hasutan tersebut yang memulai
perpecahan antara kaum Islam dan Madinah adalah merupakan sebuah sikap dari
mobilisasi sosial umat Islam. Umat Islam ketika datang ke Madinah adalah dalam
keadaan yang masih baru dalam membangun sebuah peraaban Islam dan dianggap oleh
orang-orang Yahudi bukan sebagai sebuah musuh utama sehingga dapat hidup
berdampingan dengan damai.
Namun dengan
semakin banyaknya orang masuk Islam dan kedudukan Nabi sebagai pemimpin agama
menjadi semakin kuat, apalagi setelah kemenangan kaum Muslimin pada perang Badr
yang memperlihatkan eksistensi dan kekuatan Islam di Madinah. keadaan mulai
berubah. Orang Yahudi menjadi khawatir atas kekuasaan dan kekuatan Nabi yang
semakin besar dan dianggap sebagai ancaman potensial terhadap kedudukannya yang
dominan di daerah tersebut. Oleh karena itu, mereka memikirkan kembali posisi
mereka dalam hubungannya dengan Nabi dan para sahabatnya.
Maka ketika
mereka merasa eksistensinya terancam oleh Islam yang semakin kuat di
Madinah, mereka mulai menyerang Nabi dan
Islam secara terbuka. Sejak saat itu, kegiatan permusuhanya berubah menjadi
persekongkolan dengan musuh Muslim dan mulailah mereka menghasut suku Arab
untuk menyerang Madinah dan menghancurkannya. Mereka secara terbuka malah
berkata bahwa kepercayaan kaum penyembah berhala di Makkah adalah lebih baik
dibandingkan dengan kepercayaan Nabi dan para pengikutnya. Mereka juga mulai
melakukan usaha provokasi untuk memecah belah kaum Muslimin.[6]
Oleh karenanya
tidaklah heran jika ketika terjadi perang Parit yaitu serangan besar kaum
Quraisy kepada penduduk Islam di Madinah dan terjadi pengepungan, kaum Yahudi
Bani Quraizah yang terhasut oleh bujukan Huyai bin Akhtab sehingga mereka balik berkhianat kepada Islam dan telah
melanggar perjanjian yang tertuang dalam Piagam Madinah.[7]
Dari penjelasan
di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa gejala mobilisasi sosial yaitu dengan
kedatangan Islam ke Madinah dan berkembang dengan cepat sehingga menciptakan
gejala kecemburuan sosial di kalangan orang-orang Yahudi dan membuat
orang-orang Yahudi menciptakan permusuhan dengan orang-orang Islam. Dengan
permusuhan ini, maka jelaslah bahwa mereka telah melanggar perjanjian
konstitusional di Madinah yang nantinya secara terbuka mereka lakukan dengan
rencana pembunuhan mereka terhadap Nabi SAW serta pengkhianatan mereka terhadap
kaum Muslim di perang Parit.
Selanjutnya,
orang-orang Yahudi di Madinah sebagian besar merupakan orang-orang yang kaya,
mereka menguasai ekonomi di Madinah. Mereka mengusai pasar-pasar di Madinah,
bahkan memiliki rumah-rumah gadai yang dalam Islam biasa disebut dengan riba’.
Sementara orang-orang Islam di Madinah sebagian besar adalah petani yang
kehidupannya mengandalkan alam dan tentunya memiliki penghasilan yang tak
tentu. Maka dari itu, dapat dikatakan juga bahwa konflik yang terjadi antara
orang Islam dan Yahudi di Madinah merupakan sebuah kesenjangan sosial yang akan
mengakibatkan intimidasi dari lapisan atas yang kaya ke lapisan bawah yang
miskin. Konflik yang terjadi antara Islam dan Yahudi Bani Qainuqa’ adalah
contohnya, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam:
“Sebab
terjadinya perang Bani Qainuqa’ adalah ketika seorang wanita Arab datang
membawa barang untuk dijual di pasar Bani Qainuqa’ dan duduk bersebelahan
dengan tukang emas dan perak. Orang-orang Yahudi tersebut meminta wanita itu
untuk membuka wajahnya, tetapi ia bersikukuh menolak mengabulkan permintaan
mereka. Tukang emas dan perak mendekat kepada wanita tersebut dan
mengikatkannya ke punggung wanita tersebut. Ketika wanita Arab tersebut
berdiri, terbukalah auratnya dan orang-orang Yahudi pun tertawa
terpingkal-pingkal karenanya. Mendapat perlakuan seperti itu, wanita Arab
tersebut berteriak keras, kemudian salah seorang dari kaum Muslimin meloncat ke
tukang emas dan perak yang Yahudi itu dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi
lainnya tidak tinggal diam, mereka kemudian membunuh orang Muslim tersebut.
Karena kejadian tersebut, keluarga orang Muslim yang terbunuh berteriak
memanggil kaum Muslimin sembari menyebutkan ulah orang-orang Yahudi. Kaum
Muslimin pun marah besar kemudian terjadilah perang antara mereka melawan
orang-orang Yahudi[8].
Dari riwayat di
atas dapat dilihat bahwa kejadian yang menyebabkan konflik antara Islam dan
Yahudi Bani Qainuqa’ terjadi di pasar yang merupakan bagian dari pusat ekonomi.
Maka dari itu, di sini kita dapat menyimpulkan bahwa orang Yahudi tersebut
tidak akan melakukan pelecehan kepada seorang wanita Muslim tersebut jika
wanita tersebut memiliki kekayaan yang lebih dari orang Yahudi tersebut. Hal
ini wajar melihat dari struktur sosial masyarakat Yahudi pada waktu itu yang
berorientasi pada ekonomi dan tentunya berimplikasi pada kehoramatan kepada
orang yang kaya. Maka konflik yang terjadi tersebut pada dasarnya merupakan
adanya kesenjangan sosial yang ada, sehingga menyebabkan terjadinya pelecehan
kaum lapisan atas yang kaya dan lapisan bawah yang miskin.
III.
KESIMPULAN
Dari beberapa
penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi antara
Islam dan Yahudi di Madinah meskipun memiliki unsur kultural yang mempercepat
terjadinya konflik, namun adanya kesenjangan sosial dalam bidang ekonomi maupun
adanya mobilisasi sosial di bidang politiklah yang menjadi penyebab utamanya.
IV.
PENUTUP
Tiada kata yang terucap dari dari mulut dan hati penulis kecuali syukur Kepada Allah SWT. Apa yang penulis lakukan tidak akan berarti dan tidak akan
terlaksana tanpa campur tangan Allah SWT sabagai sang pencipta. Dan tiada yang diharapkan kecuali
ridho-Nya. Karena ridho inilah yang akan menghantarkan penulis meniti jalan
kehidupan di hari ini khususnya dan hari yang akan datang. Ini semua adalah
anugerah Allah SWT yang setiap orang pasti memilikinya. Untuk itu
kritik dan saran dan masukan dari semua pihak adalah yang penulis harapkan dan
semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi para
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
At-Thabary, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, 2003, Tarikhu
at-Thabary (Tarikh al-Umam wal Muluk), Jilid I, Beirut: Dar AL-Fikr
As-Shan’ani, Abi Bakr ‘Abdi ar-Razaq bin Hammam, tt, al-Mushannaf,
Jilid X, Beirut: Mansyurotil Majlisil Ilmu
Atsir, Ibnu, 1979, al-Kamil fi at-Tharikh, Jilid II, Beirut:
Dar al-Fikr
Hisyam, Ibnu. 2006. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyan Jilid II,
terj. Fadhli Bahri, Lc. Bekasi: PT. Darul Falah
Wafi, Marzuki Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Wacana
Masyarakat Madani: Analisis Isi Piagam Madinah dan Relevansinya bagi Indonesia.
(makalah yang diposting di www.madani.com).
[1]
Marzuki Wafi, Kerukunan
Antar Umat Beragama dalam Wacana Masyarakat Madani: Analisis Isi Piagam Madinah
dan Relevansinya bagi Indonesia. (makalah yang diposting di www.madani.com), hal. 10
[2]
Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir at-Thabary, Tarikhu at-Thabary (Tarikh al-Umam wal Muluk),
Jilid I, (Beirut: Dar Shader, 2003), hal. 382-383
[3]
Ibnu Hisyam, Sirah
Nabawiyah Ibnu Hisyan Jilid I, terj. Fadhli Bahri, Lc. (Bekasi: PT.
Darul Falah, 2006), hal. 606
[4]
Abi Bakr ‘Abdi
ar-Razaq bin Hammam as-Shan’ani, al-Mushannaf, Jilid X, (Beirut:
Mansyurotil Majlisil Ilmu, tt), hal. 312
[5]
Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir at-Thabary, Tarikhu at-Thabary (Tarikh al-Umam wal Muluk,..,
hal. 382-383
[6]
Ibnu Atsir, al-Kamil
fi at-Tharikh, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hal. 137-138
[7]
Abi Bakr ‘Abdi
ar-Razaq bin Hammam as-Shan’ani, al-Mushannaf,.., 357
[8]
Ibnu Hisyam, Sirah
Nabawiyah Ibnu Hisyan Jilid II, terj. Fadhli Bahri, Lc., hal. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar