Rabu, 15 Februari 2012

Bab I penelitian s1


BAB I
PENDAHULUAN
                                                                                    
A.     Latar Belakang
Keragaman adat, senibudaya dan tradisi telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan berbagai bentuk ekspresi budaya dan pengetahuan tradisional, seperti seni rupa, seni pertunjukan, seni media, cerita rakyat, permainan tradisional, tekstil tradisional, pasar tradisional, dan upacara tradisional. Keragaman seni, budaya, dan tradisi yang merupakan hasil karya budaya ini perlu untuk dipelihara, dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Pengembangan seni, budaya, dan tradisi memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan apresiasi masyarakat dari generasi ke generasi terhadap keragaman budaya, yang adaptif terhadap pengaruh budaya global yang positif untuk kemajuan bangsa.
Dalam pengertiannya, Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang di pelajari, serta tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis[1]. Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar[2]. Jadi, kebudayaan mengarah kepada berbagai aspek kehidupan, yang meliputi cara berlaku, kepecayaan dan sikap-sikap, serta hasil dari kegiatan manusia yang khas yang dipelajari untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian warisan sosial dan pada giliran nya bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi berikutnya.[3] Setiap Individu mewujudkan kebudayaan tersebut dengan berbagai cara, baik itu berupa ide atau gagasan, suatu tindakan atau aktivitas interaksi yang terpola, ataupun berupa benda peninggalan seperti artefak atau semacam nya.[4]
Tindakan berinteraksi menurut pola-pola tertentu yang dilakukan oleh manusia secara turun temurun juga disebut Tradisi. Suatu aktivitas berpola tersebut dalam setiap individu memiliki batasan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh adat masyarakatnya kedalam tingkat-tingkat tertentu. Tingkat-tingkat hidup individu (stages along the life-cycle) meliputi masa masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa purbertas, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan sebagainya. Pada saat peralihan, waktu para individu beralih dari satu tingkat hidup ketingkat yang lain, biasanya diadakan upacara yang merayakan saat peralihan itu dan diatur oleh adat masyarakat setempat. Peralihan tingkat hidup manusia menunjukkan bahwa makin luasnya lingkungan sosial yang dia hadapi, oleh sebab itu upacara peralihan (rites de passage) dimaksudkan untuk menolak bahaya gaib yang mengancam individu tersebut. Namun, suatu kebudayaan antara suatu tempat dengan tempat lainnya memiliki perbedaan. Walau upacara pada saat peralihan bersifat universal atau menyeluruh dalam hampir semua kebudayaan di seluruh dunia, hanya saja tidak semua peralihan dianggap sama pentingnya dalam semua kebudayaan.
Suatu peralihan yang sangat penting pada life cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah masa peralihan dari tingkat hidup remaja ketingkat berkeluarga, yaitu perkawinan.[5] Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada di lingkungannya. Dalam Islam perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan[6]. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perkawinan merupakan hal yang disakralkan sehingga hampir dalam tiap masyarakat membatasi jodoh dalam perkawinan.
Di beberapa Negara bagian Amerika Serikat ada larangan untuk menikah dengan saudara sekandung, bahkan undang-undang melarang menikah dengan sepupu tingkat pertama baik dari pihak ayah ataupun ibu, dan dilarang menikah dengan orang yang memiliki darah Afrika atau Negro.[7] Di Indonesia pada masyarakat Using Banyuwangi proses pernikahan biasanya hanya terjadi dalam desa nya sendiri atau sesama suku using. Tradisi perjodohanpun dilakukan dengan berbagai cara dan telah menjadi tradisi serta warisan dari nenekmoyangnya. Salah satu tradisi perjodohan di Banyuwangi adalah Gredoan yang merupakan salah satu budaya lokal masyarakat Using tentang mekanisme perjodohan. Gredoan yang terjadi sekarang menjadi peristiwa adat yang berdampingan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pada peringatan Maulud Nabi yang terdapat berbagai macam kegiatan-kegiatan khususnya pada kegiatan karnaval, selalu mengundang banyak perhatian dari banyak orang. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan oleh para lelaki untuk melakukan gredo atau menggoda para gadis pada saat melihat karnaval baik yang ada di teras rumah maupun di jalan-jalan. Namun Tradisi ini hanya dilakukan pada suku Using di Banyuwangi.[8]
Pada masyarakat Batak Karo di Indonesia ada namanya Perjodohan antar impal,[9] Awal sejarah dari perjodohan antar impal sendiri adalah pembagian harta warisan. Di masyarakat Karo tradisional dahulu, seoranng anak dikawinkan dengan impalnya supaya harta keluarganya tidak jatuh ke tangan orang lain. Tradisi perjodohan antar impal ini masih bertahan hingga sekarang. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan perjodohan antar impal itu sudah tidak lagi seputar persoalan harta warisan. Saat ini, tujuan perjodohan antar impal itu sering kali demi menjaga kekerabatan di dalam sebuah keluarga besar. Karena tidak jarang ada kekhawatiran akan longgarnya hubungan kekerabatan di dalam keluarga besar jika anak di dalam keluarga tersebut menikah dengan orang yang tidak dekat dengan keluarganya. Khawatir akan adanya perubahan hubungan kekerabatan di dalam keluarga.[10]
Pada dasarnya dalam tiap masyarakat memiliki dua istilah dalam pembatasan perjodohan, yaitu exogami dan endogami.[11] Masyarakat yang melarang nikah dengan orang yang semarga disebut Exogami marga, sedangkan yang melarang menikah dalam satu desa disebut Exogami desa. Begitu pula sebaliknya, seperti yang terjadi di India. Masyarakat India menganut paham Endogami, sebab disana masyarakat harus menikah dengan batas kastanya sendiri. Maka hal itu disebut dengan Endogami Kasta.[12] Begitu pula yang terjadi pada masyarakat Kota Jambi di Indonesia, tepatnya di Desa penyengat senaung kecamatan Jambi Luar Kota, biasanya pertemuan muda-mudinya dimulai dari perkenalan diwaktu masa berselang disawah pada saat mereka gotong royong bertanam padi. Atau menyiang padi atau menuai padi. Sambil bekerja membantu mengerjakan sawah keluarganya tetangga sekampung. Muda-mudi diberi kesempatan berkenalan dengan muda-mudi di waktu bekerja sambil membalas pantun. Namun dalam pengawasan orang tua yang sama-sama bekerja disawah tersebut. Dalam perkembangannya sekarang, komunikasi muda-mudi tidak lagi melalui balas pantun melainkan melalui alat komunikasi moderen seperti Hand phone.[13]
Selanjutnya jika telah merasa telah cocok biasanya pihak laki-laki terlebih dahulu untuk melamar kepada orang tua sigadis. Proses pelamaran dijambi sering disebut dengan antar tando, proses ini akan diawali dengan bertandang atau bersilaturahmi kerumah pihak sigadis. Sebelum diadakan acara lamaran, biasanya akan ada utusan dari pihak laki-laki yang akan bertanya ataupun bersilahturahmi ke-keluarga sigadis. Utusan ini akan mencari tau, apakah gadis tersebut sudah ada yang melamar.
Setelah itu, baru akan dilakukan prosesi lamaran. Lamaran ini biasanya dihadiri tuo tengganai dari kedua belah pihak keluarga. Pada saat lamaran, keluarga laki laki akan membawa syarat adat, diantaranya:
·   Cincin pengikat. Cincin ini hanya untuk dipakai wanita, bukan satu pasang. Sebab tukar cincin baru akan dilakukan saat akad nikah nanti.
·   Pakaian sepelulusan. Berupa bahan kebaya untuk akad, dan kain bawahan, bisa berupa batik atau songket. Terkadang juga dilengkapi selop dan dompet.
·   Sirih dan Pinang. Berupa perlengkapan untuk makan sirih, yaitu daun sirih, kapur sirih, tembakau, serta pinang, yang diletakkan di tempat sirih khusus.
Semua persyaratan di bebankan ke pihak laki-laki. Selain persyaratan diatas, pihak laki-laki juga mempersiapkan bahan-bahan dapur, perlengkapan dapur, hingga ke perlengkapan tempat tidur. Bila pihak laki-laki telah menyiapkan bahan-bahan tersebut, maka berlangsunglah acara pelamaran yang dilanjuti dengan pesta perkawinan. Namun jika pihak laki-laki tidak mampu mempersiapkan proses pelamaran, maka acara perkawinan dibatalkan dengan catatan pasangan tersebut tidak ada yang mengganggu hubungannya. [14] Gambaran perkawinan yang terjadi di Desa penyengat senaung kecamatan Jambi Luar Kota ini merupakan contoh perkawinan Endogami Desa, sebab masyarakat hanya mengambil jodoh dari satu Desa yaitu Desa Penyengat senaung.
Pada umumnya, tahapan pernikahan adat Jambi mirip dengan adat-adat melayu pada umumnya. Karena mereka masih serumpun.. Akan tetapi di- Jambipun adat yang berlaku tidak semuanya sama.
Bertolak belakang dari semua kejadian diatas, fenomena sosial yang terjadi saat ini merupakan hasil dari akulturasi budaya, sehingga aktivitas masyarakat tidak lagi terpola dan mengikuti kebiasaan nenek moyang, tidak lagi memandang kesakralan budaya lama khusus nya pada perkawinan, Masyarakat tidak lagi menemukan makna yang terkandung dalam perkawinan sehingga menghasilkan pengertian baru terhadap perkawinan tersebut. Perkembangan zaman yang ditandai dengan majunya tekhnologi khusus nya dibidang komunikasi membuka peluang kepada masyarakat semakin mudah terjadinya hubungan antar sesama manusia, antar suku bangsa dan antar Negara dalam segala aspek kehidupan. Interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku Bangsa dan Negara dalam berbagai bidang akan berpengaruh kepada pola pikir individu itu sendiri. Era-globalisasi[15] dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan menghapuskan batas-batas geografis yang memisahkan antara negara satu dengan lainnya. Tentunya didukung adanya kebebasan mengakses informasi melalui berbagai media informasi dan telekomunikasi, internet khususnya. Di masa kini, internet adalah media interaksi yang dominan. Maka wajar jika banyak interaksi dunia nyata yang berpindah tempat kedunia maya. Teknologi bukan hanya mengubah cara manusia membeli benda-benda, tapi juga mengubah cara manusia mencari jodoh.
Di sini teknologi berperan mendorong evolusi interaksi. Dulu orang menikah lewat perjodohan yang diatur oleh keluarga, tanpa melewati proses psikologis yang kita kenal sebagai “jatuh cinta” lebih dulu. Kini ketika hubungan anak-orang tua dan pria-wanita makin setara, orang yang akan berjodoh memiliki lebih banyak pilihan mandiri. Contoh situs jejaringan sosial yang sangat diminati dalam berinteraksi didunia maya diantaranya Facebook, Friendster, Twitter dan masih banyak lagi. Teori globalisasi menandai dan menguji munculnya suatu sistem budaya global terjadi karena berbagai perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya sistem satelit dunia, penggalian gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola konsumsi dan konsumerisme global, pengakuan tentang terjadinya krisis-krisis lingkungan dunia, berkembangnya problem-problem kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), perluasan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan interaksi rumit antara berbagai agama dunia.[16]
Bahkan lebih dari sekedar proses-proses di atas, globalisasi menyangkut kesadaran bahwa dunia ini adalah satu tempat milik bersama umat manusia. Karena itu, globalisasi yang didefinisikan sebagai kesadaran yang tumbuh pada tingkat global bahwa dunia ini adalah sebuah lingkungan yang terbangun secara berkelanjutan, atau sebagai suatu proses sosial di mana hambatan-hambatan geografis berkaitan dengan pengaturan-pengaturan sosial dan budaya semakin surut.[17] Akibatnya berdampak pada perkembangan kebudayaan tradisional yang semakin lama semakin pudar.
Permasalahan yang muncul seiring perkembangan zaman yang membawa nama globalisasi ini, menyebabkan masyarakat tidak lagi mengindahkan batas-batas perjodohan untuk mencapai suatu perkawinan. Bahkan perkawinan yang terjadi di Negara-negara maju tidak lagi memiliki makna yang sakral, sebab mereka telah melanggar makna Incest. Incest atau yang sering disebut sumbang muncul ketika suatu adat tidak lagi dilaksanakan atau dalam artian telah melanggar adat.[18]
Faktanya diindonesia, banyak yang tidak lagi memandang makna sebuah perkawinan, sehingga tingginya tingkat perceraian yang muncul akibat melencengnya nilai budaya masyarakat yang sudah membuka penghalang atau hijab antara laki-laki dan perempuan.
Untuk membatasi meningkatnya tingkat perceraian, maka pemerintah juga membuat peraturan tentang perkawinan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1994 lembaran negara RI. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian. [19]
Manusia tidak segan-segan lagi melakukan hubungan seks bebas dengan siapapun atau yang lebih dikenal dengan nama Kumpul kebo.[20] Belum lagi banyaknya perkawinan yang tidak lagi mempertimbangkan perbedaan agama atau kepercayaan, padahal dalam Islam telah jelas hadits Nabi berbunyi :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
nikahilah perempuan karena empat perkara,yaitu karna hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya”(H.R Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits ini Nabi Muhammad SAW menganjurkan bahwa hendaklah pertimbangan agama dan akhlak merupakan tujuan utama dalam perkawinan.[21]
Menurut sebuah penelitian yang dialakukan oleh Zakiah Drajat, perilaku manusia 83% dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar, dan 6 % sisanya oleh berbagai stimulus campuran. Dilihat dari perspektif ini, nasihat orang tua yang hanya memiliki efektivitas 11%, dan hanya contoh teladan orang tua saja yang memiliki efektivitas tinggi.[22]
Berangkat dari penelitian Zakiah Drajat tersebut maka bisa dibayangkan, dengan kecanggihan alat komunikasi yang canggih sebagai produk moderen, kebudayaan dari berbagai manca daerah dapat dengan mudah masuk ke dalam aliran darah dan denyut nadi kebudayaan lokal yang tidak jarang akan menggeser nilai-nilai moral dan agama yang telah tertanam di dalamnya. Budaya global akan diserap dengan mudah oleh masyarakat dunia. Budaya dalam suatu masyarakat akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter keluarga. Pengaruh ini meliputi perilaku, gaya hidup dan aspek-aspek lain. Budaya global sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi untuk berekspresi, dan ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat Timur yang masih menjunjung nilai-nilai moral.[23]
Dalam era globalisasi yang mengiming-iming masyarakat akan majunya sistem tekhnologi untuk meninggalkan tradisi lama ternyata tidak mempengaruhi pandangan Masyarakat Desa Tangkit Baru dalam memaknai pembatasan jodoh yang masih dipertahankan disana. Daerah yang terletak di Kota Jambi ini, tepatnya Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi, dalam pemilihan jodoh haruslah sesuai dengan pilihan orang tua baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Biasanya pemuda-pemudi dipertemukan dalam suatu acara keluarga. Dalam acara tersebut, orang tua akan mencari tahu bagaimana latar belakang anak yang akan dijodohkan kepada anaknya. Jika dianggap cocok maka pihak laki-laki biasanya mencari  waktu lain untuk bersilaturahmi kerumah pihak wanita dengan tujuan memperjodohkan anaknya.
Kebiasaan ini dalam masyarakat Tangkit baru disebut tradisi Mattiro. [24] Tradisi yang membatasi masyarakat dengan ketentuan harus menikah dengan satu sukunya ini merupakan Perkawinan Endogami Suku.
Dari fenomena sosial yang terjadi di Desa Tangkit Baru seiring dengan berkembangnya sistem tekhnologi secara global setidak nya menimbulkan tiga permasalahan, yaitu yang pertama, Apa yang dimaksud dengan Tradisi Mattiro di Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi ?
Kedua, Apa makna yang terkandung didalam tradisi mattiro sehingga masyarakat Desa tangkit baru masih mempertahankan Tradisi tersebut. Sedangkan fakta yang terlihat di zaman moderen seperti saat ini mayoritas masyarakat hanya terfokus untuk mencari kesenangan dalam kehidupan perkawinan dari pada berpikir tentang tanggung jawab. Beberapa pasangan menikah apabila mereka sepakat untuk mencari kesenangan dan kenikmatan saja. Jadi apabila kehidupan perkawinan itu tidak dapat lagi memberikan apa yang mereka cari, maka mereka akan memilih jalan mereka sendiri-sendiri. Sehingga perceraian sebagai konsekuensinya menjadi suatu hal yang biasa. Dan kemajuan tekhnologi informasi juga sudah menjamur hingga kepelosok desa termasuk Desa Tangkit Baru. Globalisasi tekhnologi telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi (swastanisasi) pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Distribusi luas produk budaya barat seperti film, literatur, gaya hidup, nilai-nilai baru melalui media elektronik, siaran satelit, internet, koran-koran dan majalah telah mempengaruhi budaya lokal. Bukan hanya itu, dengan tayangan dalam media-media ini juga tidak menutup kemungkinan akan mengubah pola pikir masyarakat desa tangkit baru untuk meninggalkan tradisi peninggalan orang-orang tua nya dahulu.
Ketiga, Bagaimana pandangan Islam terhadap tradisi mattiro di Desa Tangkit Baru ?. Perkembangan pola pikir manusia saat ini lebih mengarah pada kebebasan hak asasi yang dimiliki oleh manusia. Demokrasi yang melahirkan kebebasan secara global tidak memungkinkan seseorang untuk memperjuangkan haknya terutama dalam perjodohan. Oleh sebab itu muncul pertanyaan bagaimana Islam memandang Tradisi Mattiro di Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi ini ditengah kemajuan zaman.
Dari Persoalan-persoalan inilah yang menarik saya sebagai penulis untuk mengangkat tradisi Mattiro ini sebagai karya ilmiah yang diterangkan dalam bentuk tulisan skripsi yang berjudul “Tradisi Mattiro di Desa Tangkit Baru Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi”.


[1] T.O Ihromi, pokok-pokok antropologi budaya, (Jakarta : PT Gramedia, 1980) hlm. 18
[2] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009) Hlm. 144

[3] T.O Ihromi, loc. cit.
[4] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, op. cit., hlm. 150.
[5] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 92
[6] Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung : Pustaka Setia, 1999) hlm.  9
[7] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, op. cit., hlm. 94
[9] Perjodohan antar Impal adalah Perjodohan antar sepupu yang ada pada masyarakat Batak Karo dengan tujuan mempertahankan kekerabatan masyarakat karo.
[11] Exogami adalah suatu larangan menikah pada luar batas suatu lingkungan tertentu. Sedangkan Endogami adalah suatu pembatasan jodoh yang mengharuskan menikah dalam batas lingkungan tertentu.
[12] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, op. cit., hlm 95.
[13] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pola Pengasuhan Anak Secara Tradisional di Desa Penyengat Senaung Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi, (Jambi Balai Pustaka, 1990) hlm 22
[14] Ibid, Hlm 23
[15] Era globalisasi adalah zaman dimana tidak ada lagi pembatas antar negara yang ditandai dengan majunya tekhnologi disegala bidang. Globalisasi juga diartikan Paham kebijakan nasional yang memperlakukan seluruh dunia sebagai lingkungan yang pantas untuk pengaruh politik.

[16] M. Atho Mudzhar, "Masyarakat Indonesia Baru dalam Perspektif Global" dalam jurnal Mukaddimah, No. 8 Tahun. V 1999. (Yogyakarta: Kopertais. 1999) hlm. 43.
[17] Ibid.
[18] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, loc. cit.
[19]Sudarsono, S.H, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994) hlm 8.
[20] Kumpul kebo adalah suatu aktivitas hubungan seks bebas yang tidak lagi memandang aqidah agama.
[21] Drs. Slamet Abidin, op. cit., hlm 12.
[22] Said Husin al-Munawwar,  Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani. (Jakarta: Pena Madani, 2003). hlm 66.
[23] Muhammad Bahrul Ulum. "Masyakil al-Usrah al-Muslimah fi al-Gharb" dalam jurnal al-Jami’ah al-Islamiyah, Vol 1, No. 2 April-Juni 1994. London: International Collegs of Islamic Science. hlm. 119.
[24] Observasi Penulis di Desa Tangkit baru kecamatan Sungai gelam (17-02-2011). 

Teori Evolusi di Desa Tangkit Baru


Teori Evolusi dalam masyarakat desa tangkit baru Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi.

Desa tangkit menjadi desa definitif pada tahun 1996, Desa yang merupakan salah satu desa yang berada di wilayah hukum Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi ini kemudian mengalami pemekaran menjadi Desa Tangkit Lama dan Desa Tangkit Baru. Yang menjadi perbatasan desa adalah parit – parit yang membelah desa. Setiap RT di Desa Tangkit Baru juga dibatasi oleh parit.
Masyarakat Desa Tangkit Baru dapat dikatakan sebagai Masyarakat yang Homogen, dimana mayoritas Masyarakat adalah Suku Bugis. Sifat kebersamaan masih terlihat jelas pada masyarakat Desa Tangkit Baru, dalam tiap individu yang berdomisili disana sudah dianggap sebagai satu keluarga. Awalnya perkembangan ekonomi masyarakat desa masih tergolong sangat lambat. Hal ini juga dipengaruhi oleh jalan menuju desa tersebut yang mengalami kerusakan. Namun dalam perkembangan desa, jalur transportasi tidak menjadi penghambat untuk masyarakat mencari nafkah dengan menjual hasil alam yang diperoleh dari desanya tersebut. Setiap pagi masyarakat berbondong-bondong menjajahkan dagangannya kepasar tradisional yang ada dikota jambi. Kesadaran akan pentingnya mata pencaharian membuat masyarakat semakin kreatif dalam mengemas hasil alam mereka dan memasarkannya.
Dari semangat masyarakat yang tinggi inilah mendorong popularitas Desa sehingga pada Tahun 1998 dan Tahun 2000 Desa ini menjadi Desa Teladan. Desa yang selalu mendapat penghargaan dari pemerintah kabupaten untuk prestasinya sebagai desa yang pembayaran PBB 100% ini juga merupakan satu-satunya penghasil Buah Nenas di Provinsi Jambi, yang dikenal dengan "Nenas Varitas Tangkit" dari Menteri Pertanian RI Tahun 1998, dan dari tahun 2000 kawasan ini juga menjadi penghasil Ikan Patin terbesar di Provinsi Jambi.
 Selain itu kaum wanita yang ada di Desa Tangkit Baru juga merupakan wanita yang penuh kreatifitas, terbukti dengan banyaknya Home Industri yang memproduksi hasil olahan buah yang banyak dihasilkan di Desa Tangkit.
Perkembangan jaman di era globalisasi ini memaksa masyarakat untuk meningkatkan lagi perekonomian terutama dibidang pemasaran, tidak hanya memperkenalkan hasil alam kepasar tradisional, tetapi masyarakat telah mampu memperkenalkan hasil olahan mereka kepada konsumen diluar Kota Jambi bahkan telah mencapai mancanegara. Bahkan perkembangannya lagi, telah ada rencana untuk menjadikan Desa Tangkit Baru sebagai Desa Pariwisata yang memiliki keunikan khas budaya dan hasil alam yang melimpah.
Dalam teori evolusi budaya bahwa pada dasarnya perkembangan suatu masyarakat dipengaruhi oleh tantangan alam, baik itu berupa persaingan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sebagainya, demi meneruskan eksistensi kelangsungan hidup.

Senin, 13 Februari 2012

Tradisi Perkawinan dan Perubahan Sosial


Tradisi Perkawinan dan Perubahan Sosial

A.                     Pendahuluan
Keragaman adat, senibudaya dan tradisi telah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan berbagai bentuk ekspresi budaya dan pengetahuan tradisional. Dalam pengertiannya sendiri, Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang di pelajari, serta tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis[1]. Menurut ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar[2]. Jadi, kebudayaan mengarah kepada berbagai aspek kehidupan, yang meliputi cara berlaku, kepecayaan dan sikap-sikap, serta hasil dari kegiatan manusia yang khas yang dipelajari untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian warisan sosial dan pada giliran nya bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi berikutnya.[3] Setiap Individu mewujudkan kebudayaan tersebut dengan berbagai cara, baik itu berupa ide atau gagasan, suatu tindakan atau aktivitas interaksi yang terpola, ataupun berupa benda peninggalan seperti artefak atau semacam nya.[4]
Tindakan berinteraksi menurut pola-pola tertentu yang dilakukan oleh manusia secara turun-temurun juga disebut Tradisi. Suatu aktivitas berpola tersebut dalam setiap individu memiliki batasan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh adat masyarakatnya kedalam tingkat-tingkat tertentu (stages along the life-cycle). Dan Suatu peralihan yang sangat penting pada stages along the life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah masa peralihan dari tingkat hidup remaja ketingkat berkeluarga, yaitu perkawinan.[5] Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan merupakan hal yang disakralkan sehingga hampir dalam tiap masyarakat membatasi Jodoh dalam perkawinan.
Namun tradisi perkawinan mengalami perubahan seiring perkembangan era globalisasi yang dimaknai masyarakat secara berbeda, sehingga tradisi perkawinan memiliki pemaknaan yang berbeda disetiap daerah.

B.                      Tradisi Perkawinan
Tradisi merupakan Wujud Kebudayaan yang kedua, yaitu wujud suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, atau sering disebut dengan sistem sosial. Sedangkan perkawinan adalah akad perkawinan yang shahih atau akad yang mengakibatkan halalnya hubungan suami istri. Dan dasar hukum nikah adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma'.[6]
Di beberapa daerah yang ada di Indonesia khususnya, tradisi perkawinan masih membatasi dalam hal perjodohan. pada masyarakat Using Banyuwangi proses pernikahan biasanya hanya terjadi dalam desa nya sendiri atau sesama suku using. Tradisi perjodohanpun dilakukan dengan berbagai cara dan telah menjadi tradisi serta warisan dari nenekmoyangnya. Salah satu tradisi perjodohan di Banyuwangi adalah Gredoan yang merupakan salah satu budaya lokal masyarakat Using tentang mekanisme perjodohan. Gredoan yang terjadi sekarang menjadi peristiwa adat yang berdampingan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pada peringatan Maulud Nabi yang terdapat berbagai macam kegiatan-kegiatan khususnya pada kegiatan karnaval, selalu mengundang banyak perhatian dari banyak orang. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan oleh para lelaki untuk melakukan gredo atau menggoda para gadis pada saat melihat karnaval baik yang ada di teras rumah maupun di jalan-jalan. Namun Tradisi ini hanya dilakukan pada suku Using di Banyuwangi.[7]
Pada masyarakat Batak Karo di Indonesia ada namanya Perjodohan antar impal,[8] Awal sejarah dari perjodohan antar impal sendiri adalah pembagian harta warisan. Di masyarakat Karo tradisional dahulu, seoranng anak dikawinkan dengan impalnya supaya harta keluarganya tidak jatuh ke tangan orang lain. Tradisi perjodohan antar impal ini masih bertahan hingga sekarang. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan perjodohan antar impal itu sudah tidak lagi seputar persoalan harta warisan. Saat ini, tujuan perjodohan antar impal itu sering kali demi menjaga kekerabatan di dalam sebuah keluarga besar. Karena tidak jarang ada kekhawatiran akan longgarnya hubungan kekerabatan di dalam keluarga besar jika anak di dalam keluarga tersebut menikah dengan orang yang tidak dekat dengan keluarganya. Khawatir akan adanya perubahan hubungan kekerabatan di dalam keluarga.[9]
Pada dasarnya dalam tiap masyarakat memiliki dua istilah dalam pembatasan perjodohan, yaitu exogami dan endogami.[10] Masyarakat yang melarang nikah dengan orang yang semarga disebut Exogami marga, sedangkan yang melarang menikah dalam satu desa disebut Exogami desa. Begitu pula sebaliknya, seperti yang terjadi di India. Masyarakat India menganut paham Endogami, sebab disana masyarakat harus menikah dengan batas kastanya sendiri. Maka hal itu disebut dengan Endogami Kasta.[11] Pembatasan Jodoh tersebut terus berjalan seiring keberadaan tradisi perkawinan yang masih eksis ditengah masyarakat yang mempertahankannya.

C.                      Perubahan Sosial
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Wilbert moore mengartikan Perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial.[12] Moore mengartikan perubahan sosial secara luas, perubahan dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, serta setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar perilaku.
Dalam kasus perkawinan, perubahan sosial yang terjadi seiring berkembangnya pemahaman masyarakat sebagai Zoon Politicon. Kebutuhan masyarakat dengan masyarakat lainnya semakin luas seiring perkembangan zaman yang ditandai dengan perkembangan ekonomi untuk mempertahankan kehidupan. Perkembangan pemikiran mengenai pentingnya ekonomi mempengaruhi tradisi perkawinan, perkawinan lebih diukur dari segi materi, sesuai pendapat Karl Marx bahwa segala sesuatu hanya terukur dengan materi dan ekonomi.[13]
Seiring berkembangnya zaman, pelaksanaan perkawinan lebih diukur dari materi dan tidak lagi mengindahkan pembatasan perjodohan yang lebih mengukur suku, agama, ras atau suatu golongan tertentu. Sesuai pendapat william J Goode di tuliskan bahwa pada dasarnya, proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi, sistem ini berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya, bagaimana peraturan pertukarannya, serta penilaian yang relatif mengenai berbagai macam kwalitas. Maksudnya adalah jika pihak keluarga kaya maka akan dinilai dengan harga yang tinggi dan tawar- menawarpun dilakukan dari pihak keluarga yang kaya juga. Sehingga tercipta suatu proses pernikahan. Bagitupun sebaliknya, keluarga yang ekonomi menengah juga terjadi proses seperti itu. [14] Sehingga proses tradisi perkawinan yang lebih mempertahankan kesukuan seperti di Banyuwangi, Batak Sumatera Utara, maupun diluar Indonesia seperti India lama-kelamaan semakin pudar.
D.                     Kesimpulan
Tradisi merupakan Wujud Kebudayaan yang kedua, yaitu wujud suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, atau sering disebut dengan sistem sosial. Sedangkan perkawinan adalah akad perkawinan yang shahih atau akad yang mengakibatkan halalnya hubungan suami istri. Dan dasar hukum nikah adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma'. Pada dasarnya, tradisi perkawinan masih membatasi dalam hal perjodohan. Salah satu tolak ukur perjodohan adalah sistem kekerabatan atau dengan kata lain perkawinan dilakukan sebagai sarana mempertahankan kekerabatan. Namun perkembangan nya, tradisi perkawinan mengalami pergeseran yang ditandai dengan berkembangnya kebutuhan ekonomi masyarakat. Dan sejak itulah perkawinan lebih diukur dari materi atau ekonomi, walaupun ada sebagian masyarakat yang masih mempertahankan tradisi perkawinan lama, baik itu endogami maupun exogami.
Fakta sosial yang menjunjung tinggi materialisme merupakan adopsi salah satu teori Marxisme.

  

Daftar Pustaka

Abidin, Slamet, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999
Goode, Wiliam J,  Sosiologi Keluarga,  Jakarta : Bumi Aksara, 2007
Ihromi, T.O,  pokok-pokok antropologi budaya, Jakarta : PT Gramedia, 1980
Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, Jakarta : Dian Rakyat, 1992
............................Pengantar ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 2009
Lauer, Robert H, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993
Warrington, Marnie Hughes, 50 Tokoh Penting Dalam Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008




[1] T.O Ihromi, pokok-pokok antropologi budaya, (Jakarta : PT Gramedia, 1980) hlm. 18
[2] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009) Hlm. 144

[3] T.O Ihromi, loc. cit.
[4] Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, op. cit., hlm. 150.
[5] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, (Jakarta : Dian Rakyat, 1992), hlm. 92
[6] Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung : Pustaka Setia, 1999) hlm.  9
[8] Perjodohan antar Impal adalah Perjodohan antar sepupu yang ada pada masyarakat Batak Karo dengan tujuan mempertahankan kekerabatan masyarakat karo.
[10] Exogami adalah suatu larangan menikah pada luar batas suatu lingkungan tertentu. Sedangkan Endogami adalah suatu pembatasan jodoh yang mengharuskan menikah dalam batas lingkungan tertentu.
[11] Koentjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, op. cit., hlm 95.
[12] Robert H Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hlm. 4.
[13] Marnie Hughes-Warrington, 50 Tokoh Penting Dalam Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm.413
[14] Wiliam J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007) hlm. 65

Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni



Review Buku Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni.

A.                     Biografi Rudolf Mrazek
Rudolf Mrazek adalah pakar sejarah modern di Asia Tenggara, khusus nya di Indonesia yang lahir di Ceko. Mrazek mulai menelisik Indonesia pada masa-masa akhir penjajahan Belanda. Berbagai dokumen yang merekam pemikiran dan pengorbanan sejumlah tokoh telah ia telisik. Mulai dari Mas Marco Martodikromo, jurnalis sekaligus penulis modern pertama di Indonesia, yang merupakan intelektual muda yang cemerlang.
Mrazek menghasilkan karya yang sangat kaya dan kompleks. Mrazek menyumbang banyak kajian berharga tentang gerakan pembebasan sekaligus pergulatan bangsa-bangsa yang ada di Asia Tenggara
B.                      Ulasan Buku
Buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni yang ditulis oleh Rudolf Mrazek ini merupakan buku Sejarah yang menggunakan pendekatan berbeda dari sejarawan biasanya. Kalau Voltaire pernah berkata bahwa fakta-fakta sejarah yang bersifat mikro dan yang tidak membawa kepada suatu tujuan, merupakan beban rintangan belaka bagi sejarah bagaimana barang akut merupakan beban bagi tentara. Namun, pandangan kini berubah fakta-fakta kecil yang dipandang dari sudut pandang sejarah yang luas bukanlah hal yang palsu dan kabur justru sejarah kecil ini lebih dekat dengan kehidupan. Jarak yang tipis itulah membuat sejarah mudah untuk dipahami dan menjadi bagian dalam kehidupan manusia keseharian. Micro history menjadi catatan yang penting dalam sejarah. Bahkan hal yang nampak remeh bisa menjadi catatan sejarah yang sangat berarti. Dari catatan yang kecil-kecil seperti yang ditulis Rudolf Mrazek ternyata mampu membentuk nasionalisme, dan memepengaruhi perubahan sosial.
Pada bab pertama MRazek melihat Pembangunan jalan aspal antara 1808 dan 1818, sebuah proyek raksasa untuk melawan Inggris. Jalan Raya Pos Daendels menembus dari Barat sampai ke Timur Jawa digunakan sejak awal abad kesembilan belas.  Selain proyek ‘Napoleonik” menggenai pengaspalan baja-baja mulai dirakit dengan skrup-skrup menjadi jalur-jalur kereta api menembus Jawa. Tidak ada kesulitan dalam proyek ini, Mrazek melihat dari keterangan majalah Kopiist majalah pertama yang terbit di Hindia Belanda, keterangan yang didapat bahwa penduduk dapat melakukan pekerjaan pemindahan tanah dan pemecahan batu untuk pembangunan jalan tanpa biaya atau dibayar dengan beras dan garam. Untuk membangun jalur rel-rel utama, Kopiist menghitung menelan biaya hanya 8.704.080 gulden, dan jalur-jalur samping 3.215.520 gulden, untuk total 11.919.600 gulden, 2 juta gulden untuk kendaraan dan gudang, satu juta untuk membayar bunga. Yang menarik kala itu disimpulkan bahwa penduduk bumiputra yang dianggap kelas bawah lebih berantusias naik kereta api dari pada kelas bangsawan yang lebih suka berdiam diri di rumah. Menurut catatan disepanjang jalur kereta api inilah partai-partai komunis berkembang, tentulah kita inggat pada tahun 1923 timbul pemogokan pekerja kereta api di Semarang, pemogokan terbesar sepanjang sejarah penjajahan Belanda. Dari kelancaran jalan, makin meningkatlah jumlah kendaraan dan meningkatkan kemacetan serta kecelakaan. Berawal dari sinilah berkembang semacam pengenalan diri, kepercayaan diri dan harga diri dengan membentuk nasionalisme yang bergerak dari jalan-jalan modern dengan lahirnya perserikatan sopir-sopir dengan angota terbanyak dari orang bumiputra.
Pada Bab II MRazek lebih melihat perkembangan pemukiman penduduk dimana kepadatan merupakan masalah besar di Hindia Belanda. Banyaknya bangunan-bangunan megah berdiri ditengah kota dan bangunan ini di ibaratkan sebagai bangunan yang telah berjangkar dan menetap disuatu tempat, sehingga kepadatan tidak bisa dibendung lagi. Kesadaran akan perlunya inovasi baru untuk menanggulangi kepadatan dilakukan oleh penguasa kolonial dengan melirik sebuah bangunan yang mampu berpindah-pindah. Kemudian terciptalah suatu rumah diatas roda-roda, termotivasi dengan budaya yang suka berpindah dan merupakan makna hidup yang luas, sebuah gaya hidup yang disebut het lelijke tijd (zaman wagu).
Dari perkembangan arsitektur bangunan ini, Penduduk pribumi khususnya jawa juga banyak mengikuti bangunan eropa hindia belanda. Sehingga perkembangannya tercipta kota-kota besar yang lebih melihat bangunan dari keteraturan dan kesempurnaannya yang melihat perlunya perairan yang sempurna. Sebab akibat urbanisasi, pemukiman rakyat awalnya tidak lagi melihat keteraturan, dimana hanya membangun bangunan tempat berdiam dan tidak ada kamar mandi, toilet (WC) dan kamar keperluan lainnya.
Diabad-abad berikutnya, sewaktu belanda mulai merasa lebih betah bermukim, maka berkembanglah gaya-gaya kolonial yang membangun bangunan-bangunan dengan pekarangan luas, pengaturan air yang teratur deegan cadangan air bertekanan udara yang memungkinkan pemilik rumah untuk merancang sebuah kamar mandi dan WC dengan cadangan dan tataletak air yang menakjubkan. Dalam sistem cadangan air bertekanan udara itu, air bersih dipompa dari sumur dipaksa masuk kepenampungan air dan kemudian didistribusikan untuk seluruh rumah.
Pada Bab III MRazek melihat perkembangan daerah dari kegelapan menuju kota yang terang benderang. Bab ini mengulas teknologi yang membantu kerja indra penglihatan manusia. Teknologi optik dan kaca, juga fotografi dan daktiloskop, serta perluasan jaringan lampu listerik, semua ini tak cuma menawarkan keluasan penglihatan, tapi juga kedalaman penyelidikan. Kegelapan dan kekaburan yang dulunya abadi, mulai terusir bersama datangnya perspektif dan sudut pandang baru. Keinginan untuk melihat secara lebih tajam dan terang benderang ini, dibuka dengan kupasan empat buah buku yang terbit di Hindia Belanda.

Buku pertama adalah karya R.A. van Sandick, In het Rijk van Vulcaan: de uitbarsting van Krakatau en hare gevolgen, “Di Kekaisaran Vulkan: Ledakan Krakatau dan Akibat-akibatnya.” Dari bestseller yang bercerita tentang kegelapan dan bencana yang menyelimuti Nusantara akibat letusan gunung vuklanik itu, Mrazek masuk ke bestseller lain karya F. Wiggers, Fatima. Thriller ini mengisahkan pembunuhan seorang janda kembang, tetapi Mrazek lebih banyak memumpunkan perhatian pada kehadiran cahaya dalam pencegahan kejahatan dan pengungkapan kasus pembunuhan tersebut. Dua buku lain yang bukan bestseller tapi dianggap gema dari jaman yang menjelang tiba, diangkat Mrazek selanjutnya. Buku-buku itu adalah novel Louis Couperus, De Stille Kracht, “Daya yang Sembunyi” dan buku Kartini, Door duisternis tot licht, yang lebih terkenal sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Harapan dan obsesi terhadap cahaya, memperlihatkan perwujudan yang ganjil dalam masyarakat kulit putih di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memang membangun jaringan tenaga listerik. Tetapi karena ditata menurut standar Eropa yang paling sempurna dan mewah untuk membentengi kenyamanan kaum kulit putih, dan tidak disesuaikan dengan kondisi demografis koloni itu, harga tarif listerik di Hindia Belanda menjadi yang paling mahal di seluruh planit Bumi.

Bukan hanya cahaya yang memperjelas penglihatan manusia, tapi juga binokuler, teleskop dan teodolit. Dengan perangkat-perangkat optik ini, orang-orang di Hindia Belanda melihat dunia dan dirinya, sekaligus mengukur dan memetakannya. Kadang-kadang mereka memetakan dunia secara surealistik, mendahului kaum pembaharu di Benua Eropa. Sejumlah orang di Hindia Belanda, karena terpukau oleh kekuatan teknologi optik, mencoba juga menjangkau kekuatan itu dengan cara yang lucu. Mereka memasang di parasnya kaca mata palsu yang justeru bisa merusak mata. Tetapi yang paling layak catat adalah digunakannya teknologi optik bersama berbagai teknik perekaman untuk tak hanya memperluas penglihatan, tetapi terutama memperkuat pengawasan. Hindia Belanda pun berubah jadi sebuah Rumah Kaca, dimana penguasa bahkan bisa menyidik dan mengintip masuk ke palung sukma kaum pribumi.
Pada Bab IV dengan tema para pesolek Indonesia, MRazek memulai penulisannya dengan melihat Boneka yang akan dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Bab ini menyajikan kajian segar tentang bagaimana penduduk Hindia Belanda mendandani dirinya; menyatakan diri sekaligus membedakan diri dari yang lain. Pernyataan diri itu mula-mula dikaji Mrazek lewat boneka. Sebuah koleksi yang terdiri dari sekitar 150 boneka orang-orang pribumi yang dibuat oleh perempuan-perempuan terhormat di Hindia Belanda, dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Koleksi ini menghadirkan berbagai kelompok etnik dan lapisan sosial. Mula-mula kaum pribumi, dalam hal ini senimannya, perlu dibantu dalam merepresentasikan diri dan kaumnya. Seniman pribumi ini piawai membentuk wayang: boneka berdimensi dua. Tetapi mereka tak terbiasa membuat boneka realistis berdimensi tiga. Bantuan kaum kolonialis terhadap representasi kaum pribumi itu berjalan bersamaan dengan miniaturiasai, inventarisasi dan pengawasan, yang akhirnya diikuti oleh pendisiplinan Foucauldian kaum pribumi.
Dari realisme boneka, Mrazek bergerak ke realitas berbusana kaum kulit putih yang selain mempertegas ketidaknyamanan mereka di koloni ini, juga mempertegas keinginan mereka untuk membedakan diri. Jika kaum pribumi berpakaian serba longgar dan tampak acak-acakan, bahkan nyaris telanjang, kaum kolonial berbusana dengan ketat, formal dan serba putih seakan siap untuk berperang. Mereka selalu tampak siaga atas ancaman, baik dari wabah, maupun pemberontakan. Busana kaum kulit putih adalah busana yang menciptakan jarak dan hirarki.
Mode, kesadaran busana yang sangat sadar-waktu sebagai bentuk pernyataan diri, mungkin memang berkerabat dekat dengan modernitas. Di Hindia Belanda, kesadaran berbusana itu sangat rapat dengan bangkitnya nasionalisme, dengan hasrat untuk sejajar dengan kaum kulit putih sekaligus lepas dari cengkramannya. Busana tokoh awal pergerakan seperti Mas Marco dan tokoh-tokoh utama angkatan 28 seperti Bung Karno dan Syahrir menghadirkan semangat itu. Dengan berubahnya dinamika politik kolonial dan naik turunnya pergerakan kebangsaan, busana dan penampilan para tokoh juga berubah. Mrazek mengikuti perubahan itu dan menghadirkan banyak cerita tentang tubuh, aspirasi dan pernyataan diri.
Pada Bab V Mrazek lebih fokus terhadap perkembangan telekomunikasi. Bab berjudul “Mari Jadi Mekanik Radio” ini, bergerak dari sejumlah hal yang berkait dengan penyebaran suara, masuk ke bentuk-bentuk teknologi komunikasi kabel dan nirkabel, hingga kerinduan akan hening ketika udara dibuat sesak dan cemar oleh suara-suara bising. Memang, pada mulanya ada semacam kebutuhan untuk menjadi saling dekat dengan dunia luar, dengan Eropa. Hindia Belanda, betapapun memandang dan menyimak Barat  sebagai sumber modernitas sekaligus kecemasan mereka. Sementara itu, Barat, khususnya Belanda, mengawasi dan memerintah Timur, termasuk pulau-pulau di Nusantara, sebagai penjamin kejayaan sekaligus sumber rasa tak nyaman mereka.
Kemunculan kolonial tak terelakkan menjadi medan pertarungan aspirasi kolonial dan aspirasi kebangsaan. Seperti halnya rasa revolusi yang mulai menggumpal, harapan dan luka dari pergerakan kebangsaan tak hanya terkonsentrasi pada jalan beraspal dan rel kereta, tapi juga terlantun lewat jaringan nir kabel. Kemunculan kolonial itu sekaligus juga jadi medan pertarungan antara kekuatan-kekuatan yang berhadapan di Eropa.
Bab ke-5 ditutup dengan dua kutipan dari dua jurnal milik kaum pergerakan: Kebudayaan dan Masyarakat, dan Soeloeh Indonesia Moeda. Kutipan pertama berisi ajakan untuk menjadi ahli mekanik radio agar bisa, dengan fasih, menyatakan diri ke kancah dunia. Kutipan kedua berisi ramalan akan datangnya revolusi kemerdekaan dimana imperialis terakhir dibayangkan “tampak” bukan lagi dalam radio tapi benar-benar terlihat dalam televisi tengah menggulung kejayaan kolonialnya.
Bab terakhir berjudul “Hanya Si Tuli yang Bisa Mendengar Jernih.” Bab ini berpusar pada tokoh yang tak jelas riwayatnya sebagai insinyur tetapi sangat lantang menggemakan modernitas dan nasionalisme. Tokoh ini membangun kebangsaan Indonesia bukan dengan perangkat mekanik tapi dengan piranti linguistik: dengan novel, cerita pendek, telaah dan surat-surat. Pramoedya Ananta Tour jelas bukan insiyur dalam pengertian akademik. Ia memang pernah bercita-cita jadi insinyur teknik, tetapi pendidikannya mentok hanya sebagai siswa Sekolah Teknik Radio di Surabaya.
Dalam riwayat Pram, dan kejadian-kejadian yang menimpanya di pembuangan, Mrazek menghadirkan contoh hidup pergulatan sebuah bangsa yang luka parah meraih kemerdekaannya. Kebesaran Pram memang tak tumbuh dari keadaannya sebagai korban yang inosen, dengan ingatan yang selektif, kepala yang mengeras dan telinga yang rusak ditumbuk popor. Epilog ini membawa pembaca “melompat” kemasa kini, kemasa senja Pram yang merenungkan gerak waktu; dan dengan itu menerawang kembali seluruh bab-sebelumnya, dari konsolidasi kolonial hingga terbitnya kemerdekaan. Kali ini kemerdekaan spiritual.
Akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang paling penting bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka dan penuh martabat. Teknologi tentu tak bisa langsung merekayasa jiwa manusia, tetapi ia bisa membantu jiwa yang merdeka itu: menjadi ekstensi dari indra, otot dan ingatan. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya menelurkan banyak hal yang menggelikan, juga menyedihkan, cerminan pikiran dan sukma pemakainya. Rasa tak aman sekaligus tak nyaman sebagian besar orang Eropa di Hindia Belanda membuahkan banyak arsitektur, tatabusana atau jaringan lampu penembak cahaya yang terlihat ganjil.
Konservatisme kolonial, seperti halnya konservatisme politik-kultural sebagian besar mereka yang telah merasakan kemerdekaan, membuat kemungkinan-kemungkinan teknologis sungguh tak bisa sepenuhnya memerdekakan manusia. Penjajah Belanda dan Jepang barangkali sudah hengkang, sudah gulung tikar. Tetapi, ketaknyamanan, kegelisahan dan ilusi penguasa pribumi, kegagapannya mengelola transformasi dan kekerdilannya mengurus organisasi besar berskala, mereka menyebutnya “Indonesia Raya”. Sehingga membuat represi, diskriminasi dan perilaku fasis-otoriter yang dulu dikembangkan Belanda dan Jepang, kembali tampil di era kemerdekaan.

C.                     Analisis Penulis
Dalam menganalisis buku Engineers of happy land, penulis lebih melihat perkembangan modernisasi yang dijelaskan oleh Mrazek. Dalam hal referensi yang digunakan Mrazek, penulis sangat terkesan dengan kelebihan buku ini, sebab Mrazek tidak hanya menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat pribumi namun buku referensi yang digunakan merupakan buku-buku pokok yang berbicara tentang nasionalisme di Indonesia, selain itu Mrazek juga mengutip kejadian-kejadian yang telah dipublikasikan di surat kabar dan majalah, jadi dapat disimpulkan Referensi yang digunakan Mrazek sangat  kuat dalam mengungkap nasionalisme dari perkembangan tekhnologi. Selain itu Mrazek juga tidak melupakan faktor lain dalam berbicara Nasionalisme, surat kabar dan perkembangan informasi yang juga meningkatkan nasionalisme juga disinggung dalam buku nya. Tetapi bagaimana cara masyarakat pribumi dalam menanggapi perkembangan tekhnologi ini hanya dilihat Mrazek sebagai pemicu lahirnya nasionalisme, padahal ada sisi lain yang tidak dituliskan Mrazek ketika masyarakat pribumi hanya mengadopsi tekhnologi barat tanpa ada usaha buat meningkatkan kreatifitas masyarakat pribumi dalam meningkatkan Ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Secara singkat penulis simpulkan bahwa tulisan Mrazek ini ingin menunjukan adanya penanda modernisasi dalam masyarakat Hindia Belanda. Kata-kata teknologi yang digunakan lebih mengacu pada sekumpulan budaya, identitas dan bangsa. Orang-orang di Hindia Belanda, baik orang Indonesia maupun orang Belanda yang ada di Indonesia merasa canggung dengan teknologi-teknologi baru. Ketika menjumpai teknologi-teknologi yang tidak seperti biasanya, orang-orang Hindia Belanda seringkali bergerak, berbicara, dan menulis dengan cara memasuki perilaku dan bahasa mereka.
Penanda-penanda yang digunakan oleh Mrazek dalam menangkap modernisasi di Hindia Belanda adalah dengan adanya penggunaan (pemaksaan masuknya) teknologi baru. Pada bagian pertama diawali dengan dibukanya jalur-jalur jalan yang menghubungkan daerah penghasil ekonomi dengan transit-transit barang. Jaringan jalan terutama darat menjadi penanda penting dimulainya penguasaan wilayah. Kemudian bagian berikutnya dibahas tentang gedung-gedung dengan fungsinya masing-masing. Secara radikal, ini merupakan hal yang baru dalam bentuk arsitektur di Hindia Belanda. Pada bagian ini ingin menunjukkan adanya teknologi baru dalam hal arsitektur, perencanaan kota, tempat tinggal maupun tempat usaha.
Bagian ketiga memuat tentang bagaimana teknologi optik menjadi sebuah budaya baru dalam merekam peristiwa. Foto-foto kemudian menjadi barang yang mulai digemari untuk menjadi bahan kenangan. Kemudian bagian berikutnya membahas tentang masuknya teknologi pleasure untuk kenyamanan sehari-hari berupa penggunaan alat-alat elektronik yakni rado, telepon, dan alat-alat komunikasi lainnya. Sedangkan pada bagian akhir ditutup dengan epilog dari serangkaian masuknya teknoloogi-teknologi baru tersebut bagi masyarakat. Sebuah tindakan budaya yang kemudian akan mencerminkan tindakan-tindakan manusia modern. Pada akhirnya keberadaan teknologi baru ini akan mebuat semangat baru bagi masyarakat Indonesia. Gagasan dan gerakan nasionalisme muncul kepermukaan dalam bentuknya sendiri.

Hendra Gunawan