Selasa, 15 November 2011

Review Buku


Nama   : Hendra Gunawan (1120510077)
Tugas Review

Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni.

A.    Ulasan Buku
Buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni yang ditulis oleh Rudolf Mrazek ini merupakan buku Sejarah yang menggunakan pendekatan berbeda dari sejarawan biasanya. Kalau Voltaire pernah berkata bahwa fakta-fakta sejarah yang bersifat mikro dan yang tidak membawa kepada suatu tujuan, merupakan beban rintangan belaka bagi sejarah bagaimana barang akut merupakan beban bagi tentara. Namun, pandangan kini berubah fakta-fakta kecil yang dipandang dari sudut pandang sejarah yang luas bukanlah hal yang palsu dan kabur justru sejarah kecil ini lebih dekat dengan kehidupan. Jarak yang tipis itulah membuat sejarah mudah untuk dipahami dan menjadi bagian dalam kehidupan manusia keseharian. Micro history menjadi catatan yang penting dalam sejarah. Bahkan hal yang nampak remeh bisa menjadi catatan sejarah yang sangat berarti. Dari catatan yang kecil-kecil seperti yang ditulis Rudolf Mrazek ternyata mampu membentuk nasionalisme, dan memepengaruhi perubahan sosial.
Pada bab pertama MRazek melihat Pembangunan jalan aspal antara 1808 dan 1818, sebuah proyek raksasa untuk melawan Inggris. Jalan Raya Pos Daendels menembus dari Barat sampai ke Timur Jawa digunakan sejak awal abad kesembilan belas.  Selain proyek ‘Napoleonik” menggenai pengaspalan baja-baja mulai dirakit dengan skrup-skrup menjadi jalur-jalur kereta api menembus Jawa. Tidak ada kesulitan dalam proyek ini, Mrazek melihat dari keterangan majalah Kopiist majalah pertama yang terbit di Hindia Belanda, keterangan yang didapat bahwa penduduk dapat melakukan pekerjaan pemindahan tanah dan pemecahan batu untuk pembangunan jalan tanpa biaya atau dibayar dengan beras dan garam. Untuk membangun jalur rel-rel utama, Kopiist menghitung menelan biaya hanya 8.704.080 gulden, dan jalur-jalur samping 3.215.520 gulden, untuk total 11.919.600 gulden, 2 juta gulden untuk kendaraan dan gudang, satu juta untuk membayar bunga. Yang menarik kala itu disimpulkan bahwa penduduk bumiputra yang dianggap kelas bawah lebih berantusias naik kereta api dari pada kelas bangsawan yang lebih suka berdiam diri di rumah. Menurut catatan disepanjang jalur kereta api inilah partai-partai komunis berkembang, tentulah kita inggat pada tahun 1923 timbul pemogokan pekerja kereta api di Semarang, pemogokan terbesar sepanjang sejarah penjajahan Belanda. Dari kelancaran jalan, makin meningkatlah jumlah kendaraan dan meningkatkan kemacetan serta kecelakaan. Berawal dari sinilah berkembang semacam pengenalan diri, kepercayaan diri dan harga diri dengan membentuk nasionalisme yang bergerak dari jalan-jalan modern dengan lahirnya perserikatan sopir-sopir dengan angota terbanyak dari orang bumiputra.
Pada Bab II MRazek lebih melihat perkembangan pemukiman penduduk dimana kepadatan merupakan masalah besar di Hindia Belanda. Banyaknya bangunan-bangunan megah berdiri ditengah kota dan bangunan ini di ibaratkan sebagai bangunan yang telah berjangkar dan menetap disuatu tempat, sehingga kepadatan tidak bisa dibendung lagi. Kesadaran akan perlunya inovasi baru untuk menanggulangi kepadatan dilakukan oleh penguasa kolonial dengan melirik sebuah bangunan yang mampu berpindah-pindah. Kemudian terciptalah suatu rumah diatas roda-roda, termotivasi dengan budaya yang suka berpindah dan merupakan makna hidup yang luas, sebuah gaya hidup yang disebut het lelijke tijd (zaman wagu).
Dari perkembangan arsitektur bangunan ini, Penduduk pribumi khususnya jawa juga banyak mengikuti bangunan eropa hindia belanda. Sehingga perkembangannya tercipta kota-kota besar yang lebih melihat bangunan dari keteraturan dan kesempurnaannya yang melihat perlunya perairan yang sempurna. Sebab akibat urbanisasi, pemukiman rakyat awalnya tidak lagi melihat keteraturan, dimana hanya membangun bangunan tempat berdiam dan tidak ada kamar mandi, toilet (WC) dan kamar keperluan lainnya.
Diabad-abad berikutnya, sewaktu belanda mulai merasa lebih betah bermukim, maka berkembanglah gaya-gaya kolonial yang membangun bangunan-bangunan dengan pekarangan luas, pengaturan air yang teratur deegan cadangan air bertekanan udara yang memungkinkan pemilik rumah untuk merancang sebuah kamar mandi dan WC dengan cadangan dan tataletak air yang menakjubkan. Dalam sistem cadangan air bertekanan udara itu, air bersih dipompa dari sumur dipaksa masuk kepenampungan air dan kemudian didistribusikan untuk seluruh rumah.
Pada Bab III MRazek melihat perkembangan daerah dari kegelapan menuju kota yang terang benderang. Bab ini mengulas teknologi yang membantu kerja indra penglihatan manusia. Teknologi optik dan kaca, juga fotografi dan daktiloskop, serta perluasan jaringan lampu listerik, semua ini tak cuma menawarkan keluasan penglihatan, tapi juga kedalaman penyelidikan. Kegelapan dan kekaburan yang dulunya abadi, mulai terusir bersama datangnya perspektif dan sudut pandang baru. Keinginan untuk melihat secara lebih tajam dan terang benderang ini, dibuka dengan kupasan empat buah buku yang terbit di Hindia Belanda.

Buku pertama adalah karya R.A. van Sandick, In het Rijk van Vulcaan: de uitbarsting van Krakatau en hare gevolgen, “Di Kekaisaran Vulkan: Ledakan Krakatau dan Akibat-akibatnya.” Dari bestseller yang bercerita tentang kegelapan dan bencana yang menyelimuti Nusantara akibat letusan gunung vuklanik itu, Mrazek masuk ke bestseller lain karya F. Wiggers, Fatima. Thriller ini mengisahkan pembunuhan seorang janda kembang, tetapi Mrazek lebih banyak memumpunkan perhatian pada kehadiran cahaya dalam pencegahan kejahatan dan pengungkapan kasus pembunuhan tersebut. Dua buku lain yang bukan bestseller tapi dianggap gema dari jaman yang menjelang tiba, diangkat Mrazek selanjutnya. Buku-buku itu adalah novel Louis Couperus, De Stille Kracht, “Daya yang Sembunyi” dan buku Kartini, Door duisternis tot licht, yang lebih terkenal sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Harapan dan obsesi terhadap cahaya, memperlihatkan perwujudan yang ganjil dalam masyarakat kulit putih di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memang membangun jaringan tenaga listerik. Tetapi karena ditata menurut standar Eropa yang paling sempurna dan mewah untuk membentengi kenyamanan kaum kulit putih, dan tidak disesuaikan dengan kondisi demografis koloni itu, harga tarif listerik di Hindia Belanda menjadi yang paling mahal di seluruh planit Bumi.

Bukan hanya cahaya yang memperjelas penglihatan manusia, tapi juga binokuler, teleskop dan teodolit. Dengan perangkat-perangkat optik ini, orang-orang di Hindia Belanda melihat dunia dan dirinya, sekaligus mengukur dan memetakannya. Kadang-kadang mereka memetakan dunia secara surealistik, mendahului kaum pembaharu di Benua Eropa. Sejumlah orang di Hindia Belanda, karena terpukau oleh kekuatan teknologi optik, mencoba juga menjangkau kekuatan itu dengan cara yang lucu. Mereka memasang di parasnya kaca mata palsu yang justeru bisa merusak mata. Tetapi yang paling layak catat adalah digunakannya teknologi optik bersama berbagai teknik perekaman untuk tak hanya memperluas penglihatan, tetapi terutama memperkuat pengawasan. Hindia Belanda pun berubah jadi sebuah Rumah Kaca, dimana penguasa bahkan bisa menyidik dan mengintip masuk ke palung sukma kaum pribumi.
Pada Bab IV dengan tema para pesolek Indonesia, MRazek memulai penulisannya dengan melihat Boneka yang akan dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Bab ini menyajikan kajian segar tentang bagaimana penduduk Hindia Belanda mendandani dirinya; menyatakan diri sekaligus membedakan diri dari yang lain. Pernyataan diri itu mula-mula dikaji Mrazek lewat boneka. Sebuah koleksi yang terdiri dari sekitar 150 boneka orang-orang pribumi yang dibuat oleh perempuan-perempuan terhormat di Hindia Belanda, dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Koleksi ini menghadirkan berbagai kelompok etnik dan lapisan sosial. Mula-mula kaum pribumi, dalam hal ini senimannya, perlu dibantu dalam merepresentasikan diri dan kaumnya. Seniman pribumi ini piawai membentuk wayang: boneka berdimensi dua. Tetapi mereka tak terbiasa membuat boneka realistis berdimensi tiga. Bantuan kaum kolonialis terhadap representasi kaum pribumi itu berjalan bersamaan dengan miniaturiasai, inventarisasi dan pengawasan, yang akhirnya diikuti oleh pendisiplinan Foucauldian kaum pribumi.
Dari realisme boneka, Mrazek bergerak ke realitas berbusana kaum kulit putih yang selain mempertegas ketidaknyamanan mereka di koloni ini, juga mempertegas keinginan mereka untuk membedakan diri. Jika kaum pribumi berpakaian serba longgar dan tampak acak-acakan, bahkan nyaris telanjang, kaum kolonial berbusana dengan ketat, formal dan serba putih seakan siap untuk berperang. Mereka selalu tampak siaga atas ancaman, baik dari wabah, maupun pemberontakan. Busana kaum kulit putih adalah busana yang menciptakan jarak dan hirarki.
Mode, kesadaran busana yang sangat sadar-waktu sebagai bentuk pernyataan diri, mungkin memang berkerabat dekat dengan modernitas. Di Hindia Belanda, kesadaran berbusana itu sangat rapat dengan bangkitnya nasionalisme, dengan hasrat untuk sejajar dengan kaum kulit putih sekaligus lepas dari cengkramannya. Busana tokoh awal pergerakan seperti Mas Marco dan tokoh-tokoh utama angkatan 28 seperti Bung Karno dan Syahrir menghadirkan semangat itu. Dengan berubahnya dinamika politik kolonial dan naik turunnya pergerakan kebangsaan, busana dan penampilan para tokoh juga berubah. Mrazek mengikuti perubahan itu dan menghadirkan banyak cerita tentang tubuh, aspirasi dan pernyataan diri.
Pada Bab V Mrazek lebih fokus terhadap perkembangan telekomunikasi. Bab berjudul “Mari Jadi Mekanik Radio” ini, bergerak dari sejumlah hal yang berkait dengan penyebaran suara, masuk ke bentuk-bentuk teknologi komunikasi kabel dan nirkabel, hingga kerinduan akan hening ketika udara dibuat sesak dan cemar oleh suara-suara bising. Memang, pada mulanya ada semacam kebutuhan untuk menjadi saling dekat dengan dunia luar, dengan Eropa. Hindia Belanda, betapapun memandang dan menyimak Barat  sebagai sumber modernitas sekaligus kecemasan mereka. Sementara itu, Barat, khususnya Belanda, mengawasi dan memerintah Timur, termasuk pulau-pulau di Nusantara, sebagai penjamin kejayaan sekaligus sumber rasa tak nyaman mereka.
Kemunculan kolonial tak terelakkan menjadi medan pertarungan aspirasi kolonial dan aspirasi kebangsaan. Seperti halnya rasa revolusi yang mulai menggumpal, harapan dan luka dari pergerakan kebangsaan tak hanya terkonsentrasi pada jalan beraspal dan rel kereta, tapi juga terlantun lewat jaringan nir kabel. Kemunculan kolonial itu sekaligus juga jadi medan pertarungan antara kekuatan-kekuatan yang berhadapan di Eropa.
Bab ke-5 ditutup dengan dua kutipan dari dua jurnal milik kaum pergerakan: Kebudayaan dan Masyarakat, dan Soeloeh Indonesia Moeda. Kutipan pertama berisi ajakan untuk menjadi ahli mekanik radio agar bisa, dengan fasih, menyatakan diri ke kancah dunia. Kutipan kedua berisi ramalan akan datangnya revolusi kemerdekaan dimana imperialis terakhir dibayangkan “tampak” bukan lagi dalam radio tapi benar-benar terlihat dalam televisi tengah menggulung kejayaan kolonialnya.
Bab terakhir berjudul “Hanya Si Tuli yang Bisa Mendengar Jernih.” Bab ini berpusar pada tokoh yang tak jelas riwayatnya sebagai insinyur tetapi sangat lantang menggemakan modernitas dan nasionalisme. Tokoh ini membangun kebangsaan Indonesia bukan dengan perangkat mekanik tapi dengan piranti linguistik: dengan novel, cerita pendek, telaah dan surat-surat. Pramoedya Ananta Tour jelas bukan insiyur dalam pengertian akademik. Ia memang pernah bercita-cita jadi insinyur teknik, tetapi pendidikannya mentok hanya sebagai siswa Sekolah Teknik Radio di Surabaya.
Dalam riwayat Pram, dan kejadian-kejadian yang menimpanya di pembuangan, Mrazek menghadirkan contoh hidup pergulatan sebuah bangsa yang luka parah meraih kemerdekaannya. Kebesaran Pram memang tak tumbuh dari keadaannya sebagai korban yang inosen, dengan ingatan yang selektif, kepala yang mengeras dan telinga yang rusak ditumbuk popor. Epilog ini membawa pembaca “melompat” ke masa kini, ke masa senja Pram yang merenungkan gerak waktu; dan dengan itu menerawang kembali seluruh bab sebelumnya, dari konsolidasi kolonial hingga terbitnya kemerdekaan. Kali ini kemerdekaan spiritual.
Akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang paling penting bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka dan penuh martabat. Teknologi tentu tak bisa langsung merekayasa jiwa manusia, tetapi ia bisa membantu jiwa yang merdeka itu: menjadi ekstensi dari indra, otot dan ingatan. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya menelurkan banyak hal yang menggelikan, juga menyedihkan, cerminan pikiran dan sukma pemakainya. Rasa tak aman sekaligus tak nyaman sebagian besar orang Eropa di Hindia Belanda membuahkan banyak arsitektur, tatabusana atau jaringan lampu penembak cahaya yang terlihat ganjil.
Kegamangan dan konservatisme kolonial, seperti halnya kegamangan dan konservatisme politik-kultural sebagian besar mereka yang telah merasakan kemerdekaan, membuat kemungkinan-kemungkinan teknologis sungguh tak bisa sepenuhnya memerdekakan manusia. Penjajah Belanda dan Jepang barangkali sudah hengkang, sudah gulung tikar. Tetapi, ketaknyamanan, kegelisahan dan ilusi penguasa pribumi, kegagapannya mengelola transformasi dan kekerdilannya mengurus organisasi besar berskala, mereka menyebutnya “Indonesia Raya”. Sehingga membuat represi, diskriminasi dan perilaku fasis-otoriter yang dulu dikembangkan Belanda dan Jepang, kembali tampil di era kemerdekaan.

B.     Teori Perubahan Sosial
Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Adapun teori yang digunakan dalam tulisan Mrazek untuk menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah Teori Evolusi. Dimana Teori Evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat, pertama, yaitu teori evolusi mengganggap bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah seperti garis lurus. Masyarakatnya berkembang dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Kedua, teori evolusi membaurkan antara pandangan subjektif tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial. Perubahan menuju bentuk masyarakat modern, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Oleh kerena itu masyarakat modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita-citakan.
Tulisan Rudolf Mrazek dalam bukunya Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi di Sebuah Koloni. Tulisan Mrazek ini ingin menunjukan adanya penanda modernisasi dalam masyarakat Hindia Belanda. Kata-kata teknologi yang digunakan lebih mengacu pada sekumpulan budaya, identitas dan bangsa. Orang-orang di Hindia Belanda, baik orang Indonesia maupun orang Belanda yang ada di Indonesia merasa canggung dengan teknologi-teknologi baru. Ketika menjumpai teknologi-teknologi yang tidak seperti biasanya, orang-orang Hindia Belanda seringkali bergerak, berbicara, dan menulis dengan cara memasuki perilaku dan bahasa mereka.
Penanda-penanda yang digunakan oleh Mrazek dalam menangkap modernisasi di Hindia Belanda adalah dengan adanya penggunaan (pemaksaan masuknya) teknologi baru. Pada bagian pertama diawali dengan dibukanya jalur-jalurjalan yang menghubungkan daerah penghasil ekonomi dengan transit-transit barang. Jaringan jalan terutama darat menjadi penanda penting dimulainya penguasaan wilayah. Kemudian bagian berikutnya dibahas tentang gedung-gedung dengan fungsinya masing-masing. Secara radikal, ini merupakan hal yang baru dalam bentuk arsitektur di Hindia Belanda. Pada bagian ini ingin menunjukkan adanya teknologi baru dalam hal arsitektur, perencanaan kota, tempat tinggal maupun tempat usaha.
Bagian ketiga memuat tentang bagaimana teknologi optik menjadi sebuah budaya baru dalam merekam peristiwa. Foto-foto kemudian menjadi barang yang mulai digemari untuk menjadi bahan kenangan. Kemudian bagian berikutnya membahas tentang masuknya teknologi pleasure untuk kenyamanan sehari-hari berupa penggunaan alat-alat elektronik yakni rado, telepon, dan alat-alat komunikasi lainnya. Sedangkan pada bagian akhir ditutup dengan epilog dari serangkaian masuknya teknoloogi-teknologi baru tersebut bagi masyarakat. Sebuah tindakan budaya yang kemudian akan mencerminkan tindakan-tindakan manusia modern. Pada akhirnya keberadaan teknologi baru ini akan mebuat semangat baru bagi masyarakat Indonesia. Gagasan dan gerakan nasionalisme muncul kepermukaan dalam bentuknya sendiri.

Hendra Gunawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar