Nama
: Hendra Gunawan (1120510077)
Tugas Review
Rudolf Mrazek, Engineers of Happy
Land: Perkembangan
Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni.
A. Ulasan Buku
Buku Engineers
of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di Sebuah Koloni yang ditulis oleh Rudolf Mrazek ini merupakan
buku Sejarah yang menggunakan pendekatan berbeda dari sejarawan biasanya. Kalau
Voltaire pernah berkata bahwa fakta-fakta sejarah yang bersifat mikro dan yang
tidak membawa kepada suatu tujuan, merupakan beban rintangan belaka bagi
sejarah bagaimana barang akut merupakan beban bagi tentara. Namun, pandangan
kini berubah fakta-fakta kecil yang dipandang dari sudut pandang sejarah yang
luas bukanlah hal yang palsu dan kabur justru sejarah kecil ini lebih dekat
dengan kehidupan. Jarak yang tipis itulah membuat sejarah mudah untuk dipahami
dan menjadi bagian dalam kehidupan manusia keseharian. Micro history
menjadi catatan yang penting dalam sejarah. Bahkan hal yang nampak remeh bisa
menjadi catatan sejarah yang sangat berarti. Dari catatan yang kecil-kecil
seperti yang ditulis Rudolf Mrazek ternyata mampu membentuk nasionalisme, dan
memepengaruhi perubahan sosial.
Pada bab
pertama MRazek melihat Pembangunan jalan aspal antara 1808 dan 1818, sebuah
proyek raksasa untuk melawan Inggris. Jalan Raya Pos Daendels menembus dari
Barat sampai ke Timur Jawa digunakan sejak awal abad kesembilan belas.
Selain proyek ‘Napoleonik” menggenai pengaspalan baja-baja mulai dirakit dengan
skrup-skrup menjadi jalur-jalur kereta api menembus Jawa. Tidak ada kesulitan
dalam proyek ini, Mrazek melihat dari keterangan majalah Kopiist
majalah pertama yang terbit di Hindia Belanda, keterangan yang didapat bahwa
penduduk dapat melakukan pekerjaan pemindahan tanah dan pemecahan batu untuk
pembangunan jalan tanpa biaya atau dibayar dengan beras dan garam. Untuk
membangun jalur rel-rel utama, Kopiist menghitung menelan biaya hanya 8.704.080
gulden, dan jalur-jalur samping 3.215.520 gulden, untuk total 11.919.600
gulden, 2 juta gulden untuk kendaraan dan gudang, satu juta untuk membayar
bunga. Yang menarik kala itu disimpulkan bahwa penduduk bumiputra yang dianggap
kelas bawah lebih berantusias naik kereta api dari pada kelas bangsawan yang
lebih suka berdiam diri di rumah. Menurut catatan disepanjang jalur kereta api
inilah partai-partai komunis berkembang, tentulah kita inggat pada tahun 1923
timbul pemogokan pekerja kereta api di Semarang, pemogokan terbesar sepanjang
sejarah penjajahan Belanda. Dari kelancaran jalan, makin meningkatlah jumlah
kendaraan dan meningkatkan kemacetan serta kecelakaan. Berawal dari sinilah
berkembang semacam pengenalan diri, kepercayaan diri dan harga diri dengan
membentuk nasionalisme yang bergerak dari jalan-jalan modern dengan lahirnya
perserikatan sopir-sopir dengan angota terbanyak dari orang bumiputra.
Pada Bab II
MRazek lebih melihat perkembangan pemukiman penduduk dimana kepadatan merupakan
masalah besar di Hindia Belanda. Banyaknya bangunan-bangunan megah berdiri
ditengah kota
dan bangunan ini di ibaratkan sebagai bangunan yang telah berjangkar dan
menetap disuatu tempat, sehingga kepadatan tidak bisa dibendung lagi. Kesadaran
akan perlunya inovasi baru untuk menanggulangi kepadatan dilakukan oleh
penguasa kolonial dengan melirik sebuah bangunan yang mampu berpindah-pindah.
Kemudian terciptalah suatu rumah diatas roda-roda, termotivasi dengan budaya
yang suka berpindah dan merupakan makna hidup yang luas, sebuah gaya hidup yang disebut het lelijke tijd (zaman wagu).
Dari
perkembangan arsitektur bangunan ini, Penduduk pribumi khususnya jawa juga
banyak mengikuti bangunan eropa hindia belanda. Sehingga perkembangannya
tercipta kota-kota besar yang lebih melihat bangunan dari keteraturan dan
kesempurnaannya yang melihat perlunya perairan yang sempurna. Sebab akibat
urbanisasi, pemukiman rakyat awalnya tidak lagi melihat keteraturan, dimana
hanya membangun bangunan tempat berdiam dan tidak ada kamar mandi, toilet (WC)
dan kamar keperluan lainnya.
Diabad-abad
berikutnya, sewaktu belanda mulai merasa lebih betah bermukim, maka berkembanglah
gaya-gaya kolonial yang membangun bangunan-bangunan dengan pekarangan luas,
pengaturan air yang teratur deegan cadangan air bertekanan udara yang
memungkinkan pemilik rumah untuk merancang sebuah kamar mandi dan WC dengan
cadangan dan tataletak air yang menakjubkan. Dalam sistem cadangan air
bertekanan udara itu, air bersih dipompa dari sumur dipaksa masuk kepenampungan
air dan kemudian didistribusikan untuk seluruh rumah.
Pada Bab III MRazek melihat perkembangan daerah dari kegelapan menuju kota yang terang
benderang. Bab ini mengulas teknologi yang
membantu kerja indra penglihatan manusia. Teknologi optik dan kaca, juga
fotografi dan daktiloskop, serta perluasan jaringan lampu listerik, semua ini
tak cuma menawarkan keluasan penglihatan, tapi juga kedalaman penyelidikan.
Kegelapan dan kekaburan yang dulunya abadi, mulai terusir bersama datangnya
perspektif dan sudut pandang baru. Keinginan untuk melihat secara lebih tajam
dan terang benderang ini, dibuka dengan kupasan empat buah buku yang terbit di
Hindia Belanda.
Buku pertama adalah karya R.A. van Sandick, In
het Rijk van Vulcaan: de uitbarsting van Krakatau
en hare gevolgen, “Di Kekaisaran Vulkan: Ledakan Krakatau dan
Akibat-akibatnya.” Dari bestseller yang bercerita tentang kegelapan dan bencana
yang menyelimuti Nusantara akibat letusan gunung vuklanik itu, Mrazek masuk ke
bestseller lain karya F. Wiggers, Fatima.
Thriller ini mengisahkan pembunuhan seorang janda kembang, tetapi Mrazek lebih
banyak memumpunkan perhatian pada kehadiran cahaya dalam pencegahan kejahatan
dan pengungkapan kasus pembunuhan tersebut. Dua buku lain yang bukan bestseller
tapi dianggap gema dari jaman yang menjelang tiba, diangkat Mrazek selanjutnya.
Buku-buku itu adalah novel Louis Couperus, De Stille Kracht, “Daya yang
Sembunyi” dan buku Kartini, Door duisternis tot licht, yang lebih terkenal
sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Harapan dan obsesi terhadap cahaya,
memperlihatkan perwujudan yang ganjil dalam masyarakat kulit putih di Hindia
Belanda. Pemerintah kolonial memang membangun jaringan tenaga listerik. Tetapi
karena ditata menurut standar Eropa yang paling sempurna dan mewah untuk
membentengi kenyamanan kaum kulit putih, dan tidak disesuaikan dengan kondisi
demografis koloni itu, harga tarif listerik di Hindia Belanda menjadi yang
paling mahal di seluruh planit Bumi.
Bukan hanya cahaya yang memperjelas penglihatan manusia,
tapi juga binokuler, teleskop dan teodolit. Dengan perangkat-perangkat optik
ini, orang-orang di Hindia Belanda melihat dunia dan dirinya, sekaligus
mengukur dan memetakannya. Kadang-kadang mereka memetakan dunia secara
surealistik, mendahului kaum pembaharu di Benua Eropa. Sejumlah orang di Hindia
Belanda, karena terpukau oleh kekuatan teknologi optik, mencoba juga menjangkau
kekuatan itu dengan cara yang lucu. Mereka memasang di parasnya kaca mata palsu
yang justeru bisa merusak mata. Tetapi yang paling layak catat adalah
digunakannya teknologi optik bersama berbagai teknik perekaman untuk tak hanya
memperluas penglihatan, tetapi terutama memperkuat pengawasan. Hindia Belanda
pun berubah jadi sebuah Rumah Kaca, dimana penguasa bahkan bisa menyidik dan
mengintip masuk ke palung sukma kaum pribumi.
Pada Bab IV dengan tema para pesolek Indonesia, MRazek memulai
penulisannya dengan melihat Boneka yang akan dipersembahkan kepada Ratu
Belanda. Bab ini menyajikan kajian segar tentang
bagaimana penduduk Hindia Belanda mendandani dirinya; menyatakan diri sekaligus
membedakan diri dari yang lain. Pernyataan diri itu mula-mula dikaji Mrazek
lewat boneka. Sebuah koleksi yang terdiri dari sekitar 150 boneka orang-orang
pribumi yang dibuat oleh perempuan-perempuan terhormat di Hindia Belanda,
dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Koleksi ini menghadirkan berbagai kelompok
etnik dan lapisan sosial. Mula-mula kaum pribumi, dalam hal ini senimannya,
perlu dibantu dalam merepresentasikan diri dan kaumnya. Seniman pribumi ini
piawai membentuk wayang: boneka berdimensi dua. Tetapi mereka tak terbiasa
membuat boneka realistis berdimensi tiga. Bantuan kaum kolonialis terhadap
representasi kaum pribumi itu berjalan bersamaan dengan miniaturiasai,
inventarisasi dan pengawasan, yang akhirnya diikuti oleh pendisiplinan
Foucauldian kaum pribumi.
Dari realisme boneka, Mrazek bergerak ke
realitas berbusana kaum kulit putih yang selain mempertegas ketidaknyamanan
mereka di koloni ini, juga mempertegas keinginan mereka untuk membedakan diri.
Jika kaum pribumi berpakaian serba longgar dan tampak acak-acakan, bahkan
nyaris telanjang, kaum kolonial berbusana dengan ketat, formal dan serba putih
seakan siap untuk berperang. Mereka selalu tampak siaga atas ancaman, baik dari
wabah, maupun pemberontakan. Busana kaum kulit putih adalah busana yang
menciptakan jarak dan hirarki.
Mode, kesadaran busana yang sangat
sadar-waktu sebagai bentuk pernyataan diri, mungkin memang berkerabat dekat
dengan modernitas. Di Hindia Belanda, kesadaran berbusana itu sangat rapat
dengan bangkitnya nasionalisme, dengan hasrat untuk sejajar dengan kaum kulit
putih sekaligus lepas dari cengkramannya. Busana tokoh awal pergerakan seperti
Mas Marco dan tokoh-tokoh utama angkatan 28 seperti Bung Karno dan Syahrir
menghadirkan semangat itu. Dengan berubahnya dinamika politik kolonial dan naik
turunnya pergerakan kebangsaan, busana dan penampilan para tokoh juga berubah.
Mrazek mengikuti perubahan itu dan menghadirkan banyak cerita tentang tubuh,
aspirasi dan pernyataan diri.
Pada Bab V Mrazek lebih fokus terhadap perkembangan telekomunikasi. Bab berjudul “Mari Jadi Mekanik Radio” ini, bergerak
dari sejumlah hal yang berkait dengan penyebaran suara, masuk ke bentuk-bentuk
teknologi komunikasi kabel dan nirkabel, hingga kerinduan akan hening ketika
udara dibuat sesak dan cemar oleh suara-suara bising. Memang, pada mulanya ada
semacam kebutuhan untuk menjadi saling dekat dengan dunia luar, dengan Eropa.
Hindia Belanda, betapapun memandang dan menyimak Barat sebagai sumber modernitas sekaligus kecemasan
mereka. Sementara itu, Barat, khususnya Belanda, mengawasi dan memerintah
Timur, termasuk pulau-pulau di Nusantara, sebagai penjamin kejayaan sekaligus
sumber rasa tak nyaman mereka.
Kemunculan kolonial tak terelakkan menjadi medan pertarungan aspirasi
kolonial dan aspirasi kebangsaan. Seperti halnya rasa revolusi yang mulai
menggumpal, harapan dan luka dari pergerakan kebangsaan tak hanya
terkonsentrasi pada jalan beraspal dan rel kereta, tapi juga terlantun lewat
jaringan nir kabel. Kemunculan kolonial itu sekaligus juga jadi medan pertarungan antara
kekuatan-kekuatan yang berhadapan di Eropa.
Bab ke-5 ditutup dengan dua kutipan dari dua
jurnal milik kaum pergerakan: Kebudayaan dan Masyarakat, dan Soeloeh Indonesia
Moeda. Kutipan pertama berisi ajakan untuk menjadi ahli mekanik radio agar
bisa, dengan fasih, menyatakan diri ke kancah dunia. Kutipan kedua berisi
ramalan akan datangnya revolusi kemerdekaan dimana imperialis terakhir dibayangkan
“tampak” bukan lagi dalam radio tapi benar-benar terlihat dalam televisi tengah
menggulung kejayaan kolonialnya.
Bab terakhir berjudul “Hanya Si Tuli yang
Bisa Mendengar Jernih.” Bab ini berpusar pada tokoh yang tak jelas riwayatnya
sebagai insinyur tetapi sangat lantang menggemakan modernitas dan nasionalisme.
Tokoh ini membangun kebangsaan Indonesia
bukan dengan perangkat mekanik tapi dengan piranti linguistik: dengan novel,
cerita pendek, telaah dan surat-surat. Pramoedya Ananta Tour jelas bukan
insiyur dalam pengertian akademik. Ia memang pernah bercita-cita jadi insinyur
teknik, tetapi pendidikannya mentok hanya sebagai siswa Sekolah Teknik Radio di
Surabaya.
Dalam riwayat Pram, dan kejadian-kejadian
yang menimpanya di pembuangan, Mrazek menghadirkan contoh hidup pergulatan
sebuah bangsa yang luka parah meraih kemerdekaannya. Kebesaran Pram memang tak
tumbuh dari keadaannya sebagai korban yang inosen, dengan ingatan yang selektif,
kepala yang mengeras dan telinga yang rusak ditumbuk popor. Epilog ini membawa
pembaca “melompat” ke masa kini, ke masa senja Pram yang merenungkan gerak
waktu; dan dengan itu menerawang kembali seluruh bab sebelumnya, dari
konsolidasi kolonial hingga terbitnya kemerdekaan. Kali ini kemerdekaan
spiritual.
Akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang
paling penting bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka
dan penuh martabat. Teknologi tentu tak bisa langsung merekayasa jiwa manusia,
tetapi ia bisa membantu jiwa yang merdeka itu: menjadi ekstensi dari indra,
otot dan ingatan. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya menelurkan banyak
hal yang menggelikan, juga menyedihkan, cerminan pikiran dan sukma pemakainya.
Rasa tak aman sekaligus tak nyaman sebagian besar orang Eropa di Hindia Belanda
membuahkan banyak arsitektur, tatabusana atau jaringan lampu penembak cahaya
yang terlihat ganjil.
Kegamangan dan konservatisme kolonial,
seperti halnya kegamangan dan konservatisme politik-kultural sebagian besar
mereka yang telah merasakan kemerdekaan, membuat kemungkinan-kemungkinan
teknologis sungguh tak bisa sepenuhnya memerdekakan manusia. Penjajah Belanda
dan Jepang barangkali sudah hengkang, sudah gulung tikar. Tetapi,
ketaknyamanan, kegelisahan dan ilusi penguasa pribumi, kegagapannya mengelola
transformasi dan kekerdilannya mengurus organisasi besar berskala, mereka
menyebutnya “Indonesia Raya”. Sehingga membuat represi, diskriminasi dan
perilaku fasis-otoriter yang dulu dikembangkan Belanda dan Jepang, kembali
tampil di era kemerdekaan.
B. Teori Perubahan Sosial
Kecenderungan terjadinya
perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari
pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan
terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan
antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam
unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan
dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan.
Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan
zaman yang dinamis. Adapun teori yang digunakan dalam tulisan Mrazek untuk
menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah Teori Evolusi. Dimana Teori Evolusi menggambarkan perkembangan
masyarakat, pertama, yaitu teori evolusi mengganggap bahwa perubahan sosial
merupakan gerakan searah seperti garis lurus. Masyarakatnya berkembang dari masyarakat primitif
menuju masyarakat maju. Kedua, teori evolusi membaurkan antara pandangan
subjektif tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial. Perubahan menuju
bentuk masyarakat modern, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Oleh
kerena itu masyarakat modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita-citakan.
Tulisan Rudolf Mrazek dalam
bukunya Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi di Sebuah Koloni.
Tulisan Mrazek ini ingin menunjukan adanya penanda modernisasi dalam masyarakat
Hindia Belanda. Kata-kata teknologi yang digunakan lebih mengacu pada
sekumpulan budaya, identitas dan bangsa. Orang-orang di Hindia Belanda, baik
orang Indonesia maupun orang
Belanda yang ada di Indonesia
merasa canggung dengan teknologi-teknologi baru. Ketika menjumpai
teknologi-teknologi yang tidak seperti biasanya, orang-orang Hindia Belanda
seringkali bergerak, berbicara, dan menulis dengan cara memasuki perilaku dan
bahasa mereka.
Penanda-penanda yang digunakan
oleh Mrazek dalam menangkap modernisasi di Hindia Belanda adalah dengan adanya
penggunaan (pemaksaan masuknya) teknologi baru. Pada bagian pertama diawali
dengan dibukanya jalur-jalurjalan yang menghubungkan daerah penghasil ekonomi
dengan transit-transit barang. Jaringan jalan terutama darat menjadi penanda
penting dimulainya penguasaan wilayah. Kemudian bagian berikutnya dibahas
tentang gedung-gedung dengan fungsinya masing-masing. Secara radikal, ini
merupakan hal yang baru dalam bentuk arsitektur di Hindia Belanda. Pada bagian
ini ingin menunjukkan adanya teknologi baru dalam hal arsitektur, perencanaan kota, tempat tinggal
maupun tempat usaha.
Bagian ketiga memuat tentang
bagaimana teknologi optik menjadi sebuah budaya baru dalam merekam peristiwa.
Foto-foto kemudian menjadi barang yang mulai digemari untuk menjadi bahan
kenangan. Kemudian bagian berikutnya membahas tentang masuknya teknologi pleasure
untuk kenyamanan sehari-hari berupa penggunaan alat-alat elektronik yakni rado,
telepon, dan alat-alat komunikasi lainnya. Sedangkan pada bagian akhir ditutup
dengan epilog dari serangkaian masuknya teknoloogi-teknologi baru tersebut bagi
masyarakat. Sebuah tindakan budaya yang kemudian akan mencerminkan
tindakan-tindakan manusia modern. Pada akhirnya keberadaan teknologi baru ini
akan mebuat semangat baru bagi masyarakat Indonesia. Gagasan dan gerakan
nasionalisme muncul kepermukaan dalam bentuknya sendiri.
Hendra Gunawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar