Selasa, 15 November 2011

Motivasi

Life Story

Sebuah kehidupan dirasakan seperti pola siklus yang terus berputar dan kita tidak tahu kapan kita berada diatas dan sampai kapan kita tetap diatas. Teori ini sangat populer dengan menjelaskan example yang memang takpernah jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun, apakah dalam tiap kejadian ataupun peristiwa yang dialami, kita sebagai manusia tidak mampu meyadari bahwa kita sedang menaiki tangga kehidupan untuk mengejar cita-cita yang kita inginkan !!!
Andai kita memang mengelilingi siklus kehidupan, mengapa manusia ada yang terjebak dalam kemiskinan dan takmampu untuk berada pada siklus kehidupan yang lebih layak. Kita seolah diposisikan pada ketidakberdayaan, diposisikan pada kepasrahan bahwa kita tidak bisa mengubah siklus kehidupan kita. Siklus kehidupan dimana diartikan hidup bagaikan Roda yang berputar dan kita sebagai objek roda tersebut, ketika kita diatas maka kita akan berjaya dan ketika kita dibawah maka kita akan terpuruk dan menanti tibanya siklus kehidupan yang akan memutar kehidupan kita lagi. Secara Rasio, adakah kemungkinan Manusia mampu memutar siklus kehidupan nya sendiri jika dia hanya mengartikan bahwa hidup bagaikan Roda yang terus berputar. Tentu ada sebuah gerakan perubahan dalam diri manusia untuk memutar siklus tersebut jika memang dia sadar bahwa manusia tidak akan seperti sekarang ini jika bukan karena dirinya sendiri.
Oleh sebab itu saya tekankan bahwa Teori tersebut bisa digunakan dalam kehidupan namun berpikirlah bahwa hidup manusia adalah pilihan bukan tuntutan. Manusia yang miskin bukan berarti dia harus selama nya miskin, karena dia punya hak untuk memilih menjadi manusia yang kaya. Dan Oleh sebab itu sekali lagi saya tekankan, bergeraklah menuju cita-cita kita untuk menjadi lebih baik. Manusia tidak akan berubah jika bukan dia yang mengubah dirinya sendiri, siklus kehidupan tidak bergerak secara sendirinya. Sadarlah bahwa kita bisa mengubah hidup kita untuk menjadi lebih baik.
Jadilah motivator buat diri sendiri, buat keluarga, dan buat orang lain.
Jika bukan anda yang mengubah hidup anda, siapa lagi ?!
Terima, Maafkan, dan bergerak untuk maju kearah yang lebih baik jika kamu sedang ditimpa tantangan.
Terima, Hargai, dan berilah Pujian jika kamu ingin menjadi seorang yang diTuakan dan menjadi Inspirator bagi yang lain.
Akhir kata, Hidup adalah perjuangan, jangan berhenti karna tantangan, terus bergerak walau hanya tertatih, karna hidup adalah perjuangan.
Assalamualaikum Wr. Wb.

Hendra Gunawan

Review Buku


Nama   : Hendra Gunawan (1120510077)
Tugas Review

Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni.

A.    Ulasan Buku
Buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni yang ditulis oleh Rudolf Mrazek ini merupakan buku Sejarah yang menggunakan pendekatan berbeda dari sejarawan biasanya. Kalau Voltaire pernah berkata bahwa fakta-fakta sejarah yang bersifat mikro dan yang tidak membawa kepada suatu tujuan, merupakan beban rintangan belaka bagi sejarah bagaimana barang akut merupakan beban bagi tentara. Namun, pandangan kini berubah fakta-fakta kecil yang dipandang dari sudut pandang sejarah yang luas bukanlah hal yang palsu dan kabur justru sejarah kecil ini lebih dekat dengan kehidupan. Jarak yang tipis itulah membuat sejarah mudah untuk dipahami dan menjadi bagian dalam kehidupan manusia keseharian. Micro history menjadi catatan yang penting dalam sejarah. Bahkan hal yang nampak remeh bisa menjadi catatan sejarah yang sangat berarti. Dari catatan yang kecil-kecil seperti yang ditulis Rudolf Mrazek ternyata mampu membentuk nasionalisme, dan memepengaruhi perubahan sosial.
Pada bab pertama MRazek melihat Pembangunan jalan aspal antara 1808 dan 1818, sebuah proyek raksasa untuk melawan Inggris. Jalan Raya Pos Daendels menembus dari Barat sampai ke Timur Jawa digunakan sejak awal abad kesembilan belas.  Selain proyek ‘Napoleonik” menggenai pengaspalan baja-baja mulai dirakit dengan skrup-skrup menjadi jalur-jalur kereta api menembus Jawa. Tidak ada kesulitan dalam proyek ini, Mrazek melihat dari keterangan majalah Kopiist majalah pertama yang terbit di Hindia Belanda, keterangan yang didapat bahwa penduduk dapat melakukan pekerjaan pemindahan tanah dan pemecahan batu untuk pembangunan jalan tanpa biaya atau dibayar dengan beras dan garam. Untuk membangun jalur rel-rel utama, Kopiist menghitung menelan biaya hanya 8.704.080 gulden, dan jalur-jalur samping 3.215.520 gulden, untuk total 11.919.600 gulden, 2 juta gulden untuk kendaraan dan gudang, satu juta untuk membayar bunga. Yang menarik kala itu disimpulkan bahwa penduduk bumiputra yang dianggap kelas bawah lebih berantusias naik kereta api dari pada kelas bangsawan yang lebih suka berdiam diri di rumah. Menurut catatan disepanjang jalur kereta api inilah partai-partai komunis berkembang, tentulah kita inggat pada tahun 1923 timbul pemogokan pekerja kereta api di Semarang, pemogokan terbesar sepanjang sejarah penjajahan Belanda. Dari kelancaran jalan, makin meningkatlah jumlah kendaraan dan meningkatkan kemacetan serta kecelakaan. Berawal dari sinilah berkembang semacam pengenalan diri, kepercayaan diri dan harga diri dengan membentuk nasionalisme yang bergerak dari jalan-jalan modern dengan lahirnya perserikatan sopir-sopir dengan angota terbanyak dari orang bumiputra.
Pada Bab II MRazek lebih melihat perkembangan pemukiman penduduk dimana kepadatan merupakan masalah besar di Hindia Belanda. Banyaknya bangunan-bangunan megah berdiri ditengah kota dan bangunan ini di ibaratkan sebagai bangunan yang telah berjangkar dan menetap disuatu tempat, sehingga kepadatan tidak bisa dibendung lagi. Kesadaran akan perlunya inovasi baru untuk menanggulangi kepadatan dilakukan oleh penguasa kolonial dengan melirik sebuah bangunan yang mampu berpindah-pindah. Kemudian terciptalah suatu rumah diatas roda-roda, termotivasi dengan budaya yang suka berpindah dan merupakan makna hidup yang luas, sebuah gaya hidup yang disebut het lelijke tijd (zaman wagu).
Dari perkembangan arsitektur bangunan ini, Penduduk pribumi khususnya jawa juga banyak mengikuti bangunan eropa hindia belanda. Sehingga perkembangannya tercipta kota-kota besar yang lebih melihat bangunan dari keteraturan dan kesempurnaannya yang melihat perlunya perairan yang sempurna. Sebab akibat urbanisasi, pemukiman rakyat awalnya tidak lagi melihat keteraturan, dimana hanya membangun bangunan tempat berdiam dan tidak ada kamar mandi, toilet (WC) dan kamar keperluan lainnya.
Diabad-abad berikutnya, sewaktu belanda mulai merasa lebih betah bermukim, maka berkembanglah gaya-gaya kolonial yang membangun bangunan-bangunan dengan pekarangan luas, pengaturan air yang teratur deegan cadangan air bertekanan udara yang memungkinkan pemilik rumah untuk merancang sebuah kamar mandi dan WC dengan cadangan dan tataletak air yang menakjubkan. Dalam sistem cadangan air bertekanan udara itu, air bersih dipompa dari sumur dipaksa masuk kepenampungan air dan kemudian didistribusikan untuk seluruh rumah.
Pada Bab III MRazek melihat perkembangan daerah dari kegelapan menuju kota yang terang benderang. Bab ini mengulas teknologi yang membantu kerja indra penglihatan manusia. Teknologi optik dan kaca, juga fotografi dan daktiloskop, serta perluasan jaringan lampu listerik, semua ini tak cuma menawarkan keluasan penglihatan, tapi juga kedalaman penyelidikan. Kegelapan dan kekaburan yang dulunya abadi, mulai terusir bersama datangnya perspektif dan sudut pandang baru. Keinginan untuk melihat secara lebih tajam dan terang benderang ini, dibuka dengan kupasan empat buah buku yang terbit di Hindia Belanda.

Buku pertama adalah karya R.A. van Sandick, In het Rijk van Vulcaan: de uitbarsting van Krakatau en hare gevolgen, “Di Kekaisaran Vulkan: Ledakan Krakatau dan Akibat-akibatnya.” Dari bestseller yang bercerita tentang kegelapan dan bencana yang menyelimuti Nusantara akibat letusan gunung vuklanik itu, Mrazek masuk ke bestseller lain karya F. Wiggers, Fatima. Thriller ini mengisahkan pembunuhan seorang janda kembang, tetapi Mrazek lebih banyak memumpunkan perhatian pada kehadiran cahaya dalam pencegahan kejahatan dan pengungkapan kasus pembunuhan tersebut. Dua buku lain yang bukan bestseller tapi dianggap gema dari jaman yang menjelang tiba, diangkat Mrazek selanjutnya. Buku-buku itu adalah novel Louis Couperus, De Stille Kracht, “Daya yang Sembunyi” dan buku Kartini, Door duisternis tot licht, yang lebih terkenal sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Harapan dan obsesi terhadap cahaya, memperlihatkan perwujudan yang ganjil dalam masyarakat kulit putih di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memang membangun jaringan tenaga listerik. Tetapi karena ditata menurut standar Eropa yang paling sempurna dan mewah untuk membentengi kenyamanan kaum kulit putih, dan tidak disesuaikan dengan kondisi demografis koloni itu, harga tarif listerik di Hindia Belanda menjadi yang paling mahal di seluruh planit Bumi.

Bukan hanya cahaya yang memperjelas penglihatan manusia, tapi juga binokuler, teleskop dan teodolit. Dengan perangkat-perangkat optik ini, orang-orang di Hindia Belanda melihat dunia dan dirinya, sekaligus mengukur dan memetakannya. Kadang-kadang mereka memetakan dunia secara surealistik, mendahului kaum pembaharu di Benua Eropa. Sejumlah orang di Hindia Belanda, karena terpukau oleh kekuatan teknologi optik, mencoba juga menjangkau kekuatan itu dengan cara yang lucu. Mereka memasang di parasnya kaca mata palsu yang justeru bisa merusak mata. Tetapi yang paling layak catat adalah digunakannya teknologi optik bersama berbagai teknik perekaman untuk tak hanya memperluas penglihatan, tetapi terutama memperkuat pengawasan. Hindia Belanda pun berubah jadi sebuah Rumah Kaca, dimana penguasa bahkan bisa menyidik dan mengintip masuk ke palung sukma kaum pribumi.
Pada Bab IV dengan tema para pesolek Indonesia, MRazek memulai penulisannya dengan melihat Boneka yang akan dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Bab ini menyajikan kajian segar tentang bagaimana penduduk Hindia Belanda mendandani dirinya; menyatakan diri sekaligus membedakan diri dari yang lain. Pernyataan diri itu mula-mula dikaji Mrazek lewat boneka. Sebuah koleksi yang terdiri dari sekitar 150 boneka orang-orang pribumi yang dibuat oleh perempuan-perempuan terhormat di Hindia Belanda, dipersembahkan kepada Ratu Belanda. Koleksi ini menghadirkan berbagai kelompok etnik dan lapisan sosial. Mula-mula kaum pribumi, dalam hal ini senimannya, perlu dibantu dalam merepresentasikan diri dan kaumnya. Seniman pribumi ini piawai membentuk wayang: boneka berdimensi dua. Tetapi mereka tak terbiasa membuat boneka realistis berdimensi tiga. Bantuan kaum kolonialis terhadap representasi kaum pribumi itu berjalan bersamaan dengan miniaturiasai, inventarisasi dan pengawasan, yang akhirnya diikuti oleh pendisiplinan Foucauldian kaum pribumi.
Dari realisme boneka, Mrazek bergerak ke realitas berbusana kaum kulit putih yang selain mempertegas ketidaknyamanan mereka di koloni ini, juga mempertegas keinginan mereka untuk membedakan diri. Jika kaum pribumi berpakaian serba longgar dan tampak acak-acakan, bahkan nyaris telanjang, kaum kolonial berbusana dengan ketat, formal dan serba putih seakan siap untuk berperang. Mereka selalu tampak siaga atas ancaman, baik dari wabah, maupun pemberontakan. Busana kaum kulit putih adalah busana yang menciptakan jarak dan hirarki.
Mode, kesadaran busana yang sangat sadar-waktu sebagai bentuk pernyataan diri, mungkin memang berkerabat dekat dengan modernitas. Di Hindia Belanda, kesadaran berbusana itu sangat rapat dengan bangkitnya nasionalisme, dengan hasrat untuk sejajar dengan kaum kulit putih sekaligus lepas dari cengkramannya. Busana tokoh awal pergerakan seperti Mas Marco dan tokoh-tokoh utama angkatan 28 seperti Bung Karno dan Syahrir menghadirkan semangat itu. Dengan berubahnya dinamika politik kolonial dan naik turunnya pergerakan kebangsaan, busana dan penampilan para tokoh juga berubah. Mrazek mengikuti perubahan itu dan menghadirkan banyak cerita tentang tubuh, aspirasi dan pernyataan diri.
Pada Bab V Mrazek lebih fokus terhadap perkembangan telekomunikasi. Bab berjudul “Mari Jadi Mekanik Radio” ini, bergerak dari sejumlah hal yang berkait dengan penyebaran suara, masuk ke bentuk-bentuk teknologi komunikasi kabel dan nirkabel, hingga kerinduan akan hening ketika udara dibuat sesak dan cemar oleh suara-suara bising. Memang, pada mulanya ada semacam kebutuhan untuk menjadi saling dekat dengan dunia luar, dengan Eropa. Hindia Belanda, betapapun memandang dan menyimak Barat  sebagai sumber modernitas sekaligus kecemasan mereka. Sementara itu, Barat, khususnya Belanda, mengawasi dan memerintah Timur, termasuk pulau-pulau di Nusantara, sebagai penjamin kejayaan sekaligus sumber rasa tak nyaman mereka.
Kemunculan kolonial tak terelakkan menjadi medan pertarungan aspirasi kolonial dan aspirasi kebangsaan. Seperti halnya rasa revolusi yang mulai menggumpal, harapan dan luka dari pergerakan kebangsaan tak hanya terkonsentrasi pada jalan beraspal dan rel kereta, tapi juga terlantun lewat jaringan nir kabel. Kemunculan kolonial itu sekaligus juga jadi medan pertarungan antara kekuatan-kekuatan yang berhadapan di Eropa.
Bab ke-5 ditutup dengan dua kutipan dari dua jurnal milik kaum pergerakan: Kebudayaan dan Masyarakat, dan Soeloeh Indonesia Moeda. Kutipan pertama berisi ajakan untuk menjadi ahli mekanik radio agar bisa, dengan fasih, menyatakan diri ke kancah dunia. Kutipan kedua berisi ramalan akan datangnya revolusi kemerdekaan dimana imperialis terakhir dibayangkan “tampak” bukan lagi dalam radio tapi benar-benar terlihat dalam televisi tengah menggulung kejayaan kolonialnya.
Bab terakhir berjudul “Hanya Si Tuli yang Bisa Mendengar Jernih.” Bab ini berpusar pada tokoh yang tak jelas riwayatnya sebagai insinyur tetapi sangat lantang menggemakan modernitas dan nasionalisme. Tokoh ini membangun kebangsaan Indonesia bukan dengan perangkat mekanik tapi dengan piranti linguistik: dengan novel, cerita pendek, telaah dan surat-surat. Pramoedya Ananta Tour jelas bukan insiyur dalam pengertian akademik. Ia memang pernah bercita-cita jadi insinyur teknik, tetapi pendidikannya mentok hanya sebagai siswa Sekolah Teknik Radio di Surabaya.
Dalam riwayat Pram, dan kejadian-kejadian yang menimpanya di pembuangan, Mrazek menghadirkan contoh hidup pergulatan sebuah bangsa yang luka parah meraih kemerdekaannya. Kebesaran Pram memang tak tumbuh dari keadaannya sebagai korban yang inosen, dengan ingatan yang selektif, kepala yang mengeras dan telinga yang rusak ditumbuk popor. Epilog ini membawa pembaca “melompat” ke masa kini, ke masa senja Pram yang merenungkan gerak waktu; dan dengan itu menerawang kembali seluruh bab sebelumnya, dari konsolidasi kolonial hingga terbitnya kemerdekaan. Kali ini kemerdekaan spiritual.
Akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang paling penting bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka dan penuh martabat. Teknologi tentu tak bisa langsung merekayasa jiwa manusia, tetapi ia bisa membantu jiwa yang merdeka itu: menjadi ekstensi dari indra, otot dan ingatan. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya menelurkan banyak hal yang menggelikan, juga menyedihkan, cerminan pikiran dan sukma pemakainya. Rasa tak aman sekaligus tak nyaman sebagian besar orang Eropa di Hindia Belanda membuahkan banyak arsitektur, tatabusana atau jaringan lampu penembak cahaya yang terlihat ganjil.
Kegamangan dan konservatisme kolonial, seperti halnya kegamangan dan konservatisme politik-kultural sebagian besar mereka yang telah merasakan kemerdekaan, membuat kemungkinan-kemungkinan teknologis sungguh tak bisa sepenuhnya memerdekakan manusia. Penjajah Belanda dan Jepang barangkali sudah hengkang, sudah gulung tikar. Tetapi, ketaknyamanan, kegelisahan dan ilusi penguasa pribumi, kegagapannya mengelola transformasi dan kekerdilannya mengurus organisasi besar berskala, mereka menyebutnya “Indonesia Raya”. Sehingga membuat represi, diskriminasi dan perilaku fasis-otoriter yang dulu dikembangkan Belanda dan Jepang, kembali tampil di era kemerdekaan.

B.     Teori Perubahan Sosial
Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Adapun teori yang digunakan dalam tulisan Mrazek untuk menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah Teori Evolusi. Dimana Teori Evolusi menggambarkan perkembangan masyarakat, pertama, yaitu teori evolusi mengganggap bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah seperti garis lurus. Masyarakatnya berkembang dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Kedua, teori evolusi membaurkan antara pandangan subjektif tentang nilai dan tujuan akhir perubahan sosial. Perubahan menuju bentuk masyarakat modern, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Oleh kerena itu masyarakat modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita-citakan.
Tulisan Rudolf Mrazek dalam bukunya Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi di Sebuah Koloni. Tulisan Mrazek ini ingin menunjukan adanya penanda modernisasi dalam masyarakat Hindia Belanda. Kata-kata teknologi yang digunakan lebih mengacu pada sekumpulan budaya, identitas dan bangsa. Orang-orang di Hindia Belanda, baik orang Indonesia maupun orang Belanda yang ada di Indonesia merasa canggung dengan teknologi-teknologi baru. Ketika menjumpai teknologi-teknologi yang tidak seperti biasanya, orang-orang Hindia Belanda seringkali bergerak, berbicara, dan menulis dengan cara memasuki perilaku dan bahasa mereka.
Penanda-penanda yang digunakan oleh Mrazek dalam menangkap modernisasi di Hindia Belanda adalah dengan adanya penggunaan (pemaksaan masuknya) teknologi baru. Pada bagian pertama diawali dengan dibukanya jalur-jalurjalan yang menghubungkan daerah penghasil ekonomi dengan transit-transit barang. Jaringan jalan terutama darat menjadi penanda penting dimulainya penguasaan wilayah. Kemudian bagian berikutnya dibahas tentang gedung-gedung dengan fungsinya masing-masing. Secara radikal, ini merupakan hal yang baru dalam bentuk arsitektur di Hindia Belanda. Pada bagian ini ingin menunjukkan adanya teknologi baru dalam hal arsitektur, perencanaan kota, tempat tinggal maupun tempat usaha.
Bagian ketiga memuat tentang bagaimana teknologi optik menjadi sebuah budaya baru dalam merekam peristiwa. Foto-foto kemudian menjadi barang yang mulai digemari untuk menjadi bahan kenangan. Kemudian bagian berikutnya membahas tentang masuknya teknologi pleasure untuk kenyamanan sehari-hari berupa penggunaan alat-alat elektronik yakni rado, telepon, dan alat-alat komunikasi lainnya. Sedangkan pada bagian akhir ditutup dengan epilog dari serangkaian masuknya teknoloogi-teknologi baru tersebut bagi masyarakat. Sebuah tindakan budaya yang kemudian akan mencerminkan tindakan-tindakan manusia modern. Pada akhirnya keberadaan teknologi baru ini akan mebuat semangat baru bagi masyarakat Indonesia. Gagasan dan gerakan nasionalisme muncul kepermukaan dalam bentuknya sendiri.

Hendra Gunawan

Minggu, 02 Oktober 2011

The philosophy of history – its origin and aims The new historical sense which we have just characterized explains the reawakening of interest in philosophy of history. Having recognized that his individual destiny is intimately linked to the historical evolution of the group to which he belongs, man, in the middle of the twentieth century, seeks to understand history in its wholeness, the principles by which it is governed and the meaning it may conceal. The totality of the endeavors to understand history and to integrate it into the wholeness of human existence is what – according to a term coined by Voltaire – is called philosophy of history. We have seen that it is by virtue of his sufferings that man grasps historical reality. “I am suffering from it or I have suffered from it; consequently there is a historical reality”, says the man of our epoch to himself. Thus, he refutes the idea of certain teorists that all history is history of the past and that historical reality is comprehensible only in the form of historical knowledge. By the sufferings it imposes upon man, history reveals itself as a present reality, neatly distinct from the sadow it throws behind itself in the form of historical knowledge. Historical reality is experienced history. The suffering imposed upon individuals by the collective tragedies called “historical” have been, in all epochs, the main motives for the development of a philosophy of history. The first fully conscious attempt to create such a philosophy – saint agustine’s city of god – was motivated by the conquest of rome by alaric’s Visigoths. The triumph of these hordes, their atrocities and, especially, “the outrages suffered by Christian women on the part of the barbarian soldiers” – all these events concerning the collectivity posed a grave problem which, of necessity, aroused a philosophical mind like saint agustine’s. what had that city, considered eternal, done to deserve such a cruel fate? Thus, the fall of the capital of the civilized world led Augustine to meditate on the caducity of secular civilizations and to seek the salvation of mankind in its supernatural vocation. The result of these meditations was the first great treatise on philosophy of history. The intimate relation between saint augustine’s philosophy of history and the pillage of rome by the goths in 410 A.D. becomes obvious from the beginning of the city of god. In its first book, the author rises up Agains the pagans who ascribed to the cristian religion, because it prohibits the worship of the gods, the disasters of the world and especially the recent pillage of rome by the Goths (maximeque romanae urbis recentem a ghotis vasta tionem). The invasions of italy in the sixteenth century and the moral sufferings they imposed on his patriotism and national pride had a decisive influence on the philosophy of history of niccolo Machiavelli. The final chapter of his prince has the title esortazione a libarer I’italia da barbari, exhortation to liberate italy from the barbarians. The greatest attempt at a philosophy of history in modern times - hegel’s – was partly conceived under the thunder of napoleon’s cannons. Hegel was a young professor in the University of jena, when the victorious French troops took the city. The night before the battle of jena, hegel saw through the windows of his room the fires of the French battalions camping in the market place. During this historical night he revised the last pages of the manuscript of his phenomenology of the spirit. The next day the Prussian troops were beaten, and hegel’s apartment wrecked, so that the minister of state, Goethe, had to grant him a subsidy. On the eve of the battle of jena hegel saw napoleon and wrote to a friend : I have seen the emperor – that world soul – riding on horseback through the city . . . .it is indeed a sublime feeling to see such an individual, who, concentrated on one point, on horseback, spread over the world and dominates it. The whole of hegel’s philosophy of history was to bear the stamp of these individual experiences of a collective destiny. His ideas on the stabilization of history, on great statesmen as “managers” of the universal spirit, on their passions and sacrifices, on their right to place themselves above morals, etc. – all these were intimately linked with hegel’s personal experience of the battle of jena and its hero, Bonaparte, an experience at the same time distressing and sublime. The most sensational book on philosophy of history in the twentieth century, Oswald spengler’s decline of the west, was published in 1917, during the third year of world war 1. in his preface spengler wrote: “this war is one of the conditions from which the ultimate features of the new image of the world could be conceived.” Finally, the latest sensation in the domain of philosophy of history, toynbee’s a study of history, underwent the influence of two world wars. Referring to the first of these disasters, Toynbee wrote: “... my mind was . . . not yet set hard when history took my generation by the throat in 1914. . .” event the most static, antihistorical, supratemporal philosopher of our century – Edmund husserl – had to re-interpret his doctrine in a new, historical sense, when the historical catastrophe of hitler’s so-called “national revolution” took him by the throat, almost in a literal sense. The new vigor of philosophy of history we have been noticing since the days of world war 2 is thus well explained by the personal sufferings of so many individuals, undergoing a cruel collective destiny which befell their time, their generation. From the standpoint of their psychological motives, philosophical systems may be divided into “theorogone” and “pathogone”. Theorogone philosophy is motivated by observing the world: the antique +++ was the observer who attended public games in an official capacity. On the contrary, pathogone philoshopy is motivated by the sufferings, the +++, which our human existence imposes on us. If epistemology is, in general, theorogone, we may affirm that in most cases philosophy of history is pathogone. In my book on the philosophical foundation of truth, reality and value, I outlined the differences between philoshophy and science by stating: philosophy examines the relationships between determining thought and the objects determined, that is between man as a subject and the world. The sciences, on the contrary, examine the mutual relationships among the objects determined which constitute the world. Many people do not consider history as a science. What it has in common with science is, the characteristic feature of examining the mutual relationships among its objects. For history, these objects in a logical sense are very frequently psycological subjects. On the other hand, philosophy of history tries to find out how determining thought can determine the concept of history as distinc from the concept of nature; how it succeeds in determining the logical. Epistemological, psychological and axiological conditions of historical knowledge; if and how it ends up by determining historical laws and by conceiving the concepts of meaning and value of history. In the present volume, we are especially concerned with the axiological implications of history or, expressed in a more general way, with the relations between philosophy of history and philosophy of values or axiology. But before going deeper into this subject, we have to clarify a bit more the concept of philosophy of history by examining its origins and its aims. Having determined the psychological origins and the logical character of philosophy of history, let us examine now its historical origins. What are these origins? The opinions answering this question vary. But, in general, the authors agree on the fact that the greeks, although they where the creators of occidental philosophy and of historiography, did not develop a philosophy of history properly speaking. In spite of having produced men like Herodotus, thucidides, polybius, and Plutarch, the greeks were not very history – minded. Greek methapyshics was composed of extra-temporal entities, whitout birth, development and decay – be it the uncreated, indestructible and immobile sphere of Parmenides, the platonic ideas, aristotle’s foms or the natural laws of the stoics. To be sure, in its immense wealth and variety, greek philosophy also produced a heraclitus who discovered the dynamic mobilism of our universe and dialectical movement of all things. He showed us that “+++” that war, in the sense of the strife of opposites, is the father and king of all things. By showing us that +++ (Everything is flowing), that we cannot descend twice into the same river because new waters flow towards us; by showing that being is inseparable from this continuous movement of development and decay, from this endless alternation of creation and destruction, and that the opposites can maintain themselves only by the unity which envelops them and limits theme mutually; by theaching us all this, heraclitus gave modern philoshopy of history its most precious ideas and impulses. Hegel and marx were to draw from heraclitus’ thought into a philoshopy of history was only achieved twenty-three centuries after his death. In examining the reasons for the absence of a philosophy of history among the greeks, many thinkers ascribe the blame to the idea of the cycle, which dominated greek thought, even that of heraclitus. According to an ancient tradition – Sumerian and greek – there is a regularity in the changes of time which, after an always identical cycle, produces a recurrence of the same days, month, years and, with them, of the same events. This idea of an eternal return deprives event of their individual character. “aimez ce que jamaiz on ne verra deux fois” said Alfred de Vigny – love that which one will never see twice. The greek historian had this love, and therefore, there was greek history. But being under the domination of the idea of an eternal return, the greek philosopher din not believe in event which one whould never see twice. Therefore he did not create a philosophy of history. The idea of an eternal return deprives history of all significance and transforms it into a mechanical, unchangeable repetition of confused images of that which really exists: the one and the permanent which, as a typical feature of greek thought, is even to be found in heraclitus. However, the idea of the cycle alone does not explaint the absence of a philosophy of history among the greeks, for that idea is to be found also in some philosophers of history of the cristian era and of modern times, such as vico, croce, spengler, Toynbee. There is a difference between the greeks, on the one hand, and the cristians and moderns, on the other: for the majority of greek thinkers, matter was eternal, uncreated, whitout beginning or end, and the universe was without progress. Thus, time was for them free from any direction, from any privileged dimension, from any evolution towards an end. All this changed with the adoption by medieval philosophers of the Hebrew genesis. For the christian thinker, time is linear. It has a beginning: the creation of the world and adam. It has a central date: the birth of Christ. It moves towards an end: the last judgment. Since time is thus finite, all nation have to achieve their destiny between the creation of adam and the last judgment. With this, time acquires a one-way direction; it becomes irreversible and, therefore, precious, for, being finite, it must be used before it passes. With this idea of finiteness, the value of time is established – in other words, its historicity. Lucius annaeas Seneca, that great forerunner of Christianity, had already written to his friend Lucilius: “Omnia, Lucili, aliena sunt, tempus tantum nostrum est . . . . . . dum differtur, vita transcurrit . . . facergo, . . . quod facere te scribes, omnes horas complectere.” All things, lucilius, are foreign; time alone belongs to us . . . while you are postponing things, life flows away . . . therefore, do what you write you are doing: use every hour. As for modern thinkers, it was cannot-clausius’ second principle of thermodynamics which taught them the irreversibility of time. If entropy tends toward a maximum, if the amount of free energy diminishes constantly, there is a difference between “earlier” and “later”, and the historicity of time likewise becomes obvious. This argument has, however, sometimes been criticized. Some thinkers insisted that the second principle of thermodynamics is only valid for certain parts of the universe considered as closed systems. Consequently, it does not state anything about the unique character of the history of the world in its totality nor about the history of one of its parts, since neither of them is a closed system. It has also been objected that it is not possible to use the entropy law to define the forward direction of time, for, if we declare that, of two given entropy states, the state of greater entropy will be said to be “later” than the state of smaller entropy, then we have only stated a tautology. It would be wrong to suppose that modern science favors a linear conception of time which is opposed to the cyclic conception of the greeks. Professor godel has shown that there exist solutions of einstein’s field equations which yield closed time-like world lines, thus making time cyclic in the large. A recent hypothesis seems to accentuate the cyclic character of cosmic time. According to this assumption, the unverse is comparable to a breathing organism: the expanding universe in which we live would be followed by a phase of contraction, and this alternation of expansion and contraction would go on and on. Time would thus run in alternating cycles. But even if this hypotesis is valid – it is in fact, rejected by some leading astrophysicists – the cyclic character of cosmic time which it implies will not affect the linear character of our historical time. The reason is that our historical, telluric time will have ended long before the beginning of the hypotetical opposite time sector of a contracting universe. History means to us only the evolution of mankind on this earth or in its immediate neighborhood – if we take into account the possibility of space flight. According to recent computations, the end of this history must occur in about six billion years. At that time twelve percent off the sun’s hydrogen supply will have been converted into helium, and astrophysicists know that beyond this limit a star must lose its stability. The sun will then expand, brighten, and drive the earth’s temperature first above the boiling point of water, then beyond the melting point of lead, up to 800 degrees centigrade. At is maximum size, the ageing sun will have thirty times its present radius, burn up its fuel at a tremendous rate and rapidly exhaust its hydrogen supply. But, to man, this will be no longer of any practical consequence, because, a long time before, organic life will have ended on earth, the oceans will have boiled away, and our civilizations, with all their treasures, will have been turned into ashes. This end of history will look quite different from the picture painted in saint augustine’s description of the “eternal Sunday”. It will much more resemble the greek myth of phaeton, son of helios, who yoked his father’s sun-chariot and, unable to drive it along the course taken by his father, scorched and burned up everything which was on the earth. Thus, contemporary astrophysics makes us realize the finiteness of our telluric, historical time, and its linear character. To be sure, the irreversibility of thermodynamic processes which gives time its direction depends on an interpretation of statistics and, therefore, is in the realm of probability. It is only extremely probable that energy will run down toward a state of uniform temperature, and it is not impossible that, from a certaint moment on, energy will run up again. Such a shift would also mean a change in the direction of time to the other way round. But, although this is a theoretical possibility, envisaged by boltzmann, its probability is so small that the philosophy of history may ignore it. Tulisan ini Saya kutip langsung dari Buku Dosen Saya dalam study Filsafat Sejarah.

Rabu, 14 September 2011

Go Revolusi


Pentingnya Suatu Sejarah
Go Revolusi in Islam
Sebuah kebenaran Alqur’an merupakan kitab suci umat muslim yang memberi penjelasan akan semua kehidupan manusia. Kitab Suci yang sangat komprehensif ini juga banyak menjelaskan sejarah umat terdahulu. Kisah yang dimaknai akan mengarahkan manusia pada kebenaran dan akan membuat terang akan kekaburan suatu fakta sosial yang terjadi. Oleh sebab itu pentingnya suatu sejarah tidak dapat dipungkiri, dan kaitan nya dengan sejarah islam adalah posisi dimana umat islam kontemporer berada dalam keadaan yang memprihatinkan.
The golden of age dalam islam dapat dipelajari dan diraih kembali oleh kaum muslimin dengan semangat yang tinggi dan pola pikir yang mampu mengikuti perkembangan zaman. Umat Islam hendaknya tidak lagi memperdebatkan kebenaran akan suatu agama, tetapi berpikir bagaimana suatu Revolusi terjadi dalam diri agama Islam.
Kemajuan suatu koloni masyarakat tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan, gebrakan baru dari hasil pola pikir yang moderen mampu menaikkan derajat masyarakat ketingkat lebih tinggi, dan Islampun mengajarkan demikian. Fakta sejarah pada masa Dinasty Abbasiyah yang menjunjung tinggi Ilmu pengetahuan, perkembangan umat islam mencapai tingkat The Golden dengan melahirkan para ilmuan-ilmuan yang ahli diberbagai bidang.
Oleh sebab itu untuk menuju Go Revolusi dalam Islam harus adanya perkembangan pola pikir dimana tertanam dalam diri kaum muslimin bahwa Pengetahuan adalah kunci perkembangan.

Sabtu, 13 Agustus 2011

the history of Islam

no entri

... tulisan akan tertuang setelah saya menjelajahi peninggalan peradaban islam di Jogja ...